Home » Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas Kekerasan Seksual

Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas Kekerasan Seksual

Muhammad Riki Ardianda

News

Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas Kekerasan Seksual

Bincangperempuan.com- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan Radio Republik Indonesia, dan komunitas Rahasia Gadis menyelenggarakan Dialog Interaktif “Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas dari Kekerasan Seksual” pada Jumat (06/10/2023). Dalam dialog tersebut hadir empat narasumber yang selama ini telah aktif melakukan advokasi, edukasi, dan sosialisasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). 

Dosen FISIP Universitas Padjadjaran sekaligus Ketua Satgas PPKS Universitas Padjadjaran Antik Bintari, S.I.P., M.T., mewakili akademisi mengatakan bahwa pihaknya sangat terbantu dengan hadirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 yang mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di setiap perguruan tinggi karena hal tersebut sangat berguna merespon tingkat kekerasan seksual yang cukup tinggi di level universitas. 

“Kalau pengalamannya adalah tentunya pertama kalau dalam sisi positif itu semakin banyak. Kita bisa mengakomodir berbagai keluhan dan laporan yang selama ini mungkin tidak ada kanal nya atau tidak ada SKT  untuk melaporkan,” kata Antik. 

Kekerasan seksual menjadi isu krusial yang mengancam perempuan dan anak, baik di ranah domestic maupun public, tidak terkecuali di lingkungan Pendidikan seperti perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi perempuan untuk pengembangan potensi dan kemampuan diri justru menjadi tempat dengan tingkat kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan. 

Baca juga: Local Media Summit dan Dukungan Untuk Media Perempuan 

Menurut Antik, ada beberapa alasan hal tersebut terjadi, diantaranya masalah prosedur, proses menangani sebuah kasus terkait dengan kekerasan seksual tidak semudah membuat, menangani kasus kejahatan lainnya karena perlu klarifikasi konfirmasi dari semua pihak, terlebih semakin berat jika pada prosesnya tidak dilakukan kerjasama antar pihak.

“Jadi memang perlu kehati-hatian dan yang pasti akan ada keberpihakan pada korban karena memang konsul pertama itu dalam penanganan harus tetap berpihak pada pelapor. Perguruan tinggi atau mahasiswa, tenaga Pendidik dan sebagainya dan dosen dan sebagainya ini akan menjadi Langkah awal menjadi treatment awal di dalam melakukan pencegahan terkait dengan tindakan pidana kekerasan seksual,” ujarnya. 

Dalam pelaksanaannya, Antik mengatakan pihaknya melakukan sejumlah prosedur untuk memastikan perlindungan terhadap terlapor dan memberikan keadilan bagi pelapor dan terlapor. 

“Pada prinsipnya, setiap laporan harus kami terima karena kami belum mengetahui kebenarannya. Kami meyakini bahwa siapapun yang mencari teman untuk berbicara akan mendapatkan tempat untuk berbicara, yang selama ini tidak tersedia. Oleh karena itu, kami memberikan ruang untuk berbicara,” kata Antik Bintari.

Antik juga menjelaskan bahwa apapun yang dilaporkan, baik itu kasus acak atau terstruktur, tidak masalah. Yang terpenting adalah bahwa pelapor merasa dilecehkan atau merasa bahwa ada masalah.

Selanjutnya, ada proses pemeriksaan dan keadilan yang melibatkan pelapor, saksi, dan terlapor. Prioritas tetap pada pelapor, namun terlapor juga berhak mendapatkan dukungan, terutama jika mereka juga memerlukan layanan psikologis.

Selain Antik, turut hadir Adelle Odelia Tanuri dan Dhika Himawan, Co-Founder komunitas perempuan terbesar di Indonesia, Rahasia Gadis. Mereka menceritakan perjalanan rahasia gadis menjadi ruang dengar bagi perempuan di Indonesia. 

Rahasia Gadis membuat confession room sebagai ruang curhat yang awalnya berbentuk form online dan kemudian berkembang menjadi website yang telah diakses lebih dari 50.000 confession. 

Menurut Adelle, terdapat 2 hambatan utama penyelesaian kasus KS, yakni korban takut dihakimi dan ketidakyakinan mereka bahwa laporan tersebut akan diproses dan diselesaikan sehingga mereka memilih untuk diam. 

“Ada 2 hal yang utama adalah takut di judge. So ada life of knowledgenya itu artinya bisa kemana dan apakah itu bisa diatasi kalau dia mereka lebih mending diemin aja yang berdampak sangat negatif terhadap kesehatan mental,” terangnya. 

Baca juga: No Bra Day 2023

Oleh karena itu, Rahasia Gadis selalu berupaya menjadi ruang curhat bagi perempuan di Indonesia sekaligus mengedukasi perempuan dan laki-laki terkait kekerasan seksual. 

“Kami selalu mendengarkan pengalaman yang sering dialami oleh mereka (anggota komunitas Rahasia Gadis). Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering muncul karena ada stigma yang telah tertanam di pikiran mereka. Misalnya, seseorang yang sedang berpacaran mungkin bertanya apakah tindakan seperti menggandeng tangan dianggap kekerasan seksual,” kata Dhika Himawan, Co-Founder Rahasia Gadis.

Dalam dialog tersebut, Kemen PPPA diwakili oleh Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, ia mengajak semua pihak untuk terlibat aktif mensukseskan sosialisasi dan implementasi UU TPKS serta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

“Pasca lahirnya atau diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kita terus secara simultan melengkapi berbagai peraturan yang sangat teknis sesuai dengan konteks atau lokus di mana tindak pidana kekerasan seksual terjadi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS adalah sebagai payung hukum yang komprehensif yang menjadi jawaban dalam memastikan pemenuhan hak korban kekerasan,” ujarnya Ratna.(**)

Call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08-111-129-129 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Suara.com dan Core Indonesia Siap Gelar Youth Economic Summit 2024

Perceraian dan Stigma Negatif tentang Status Janda

HKSR Inklusif untuk Tekan Angka HIV/AIDS

Leave a Comment