Bincangperempuan.com- Menjalani hubungan romantis bukan hal yang baru lagi di kalangan anak muda, apalagi untuk usia mahasiswa. Fase ini menjadi bagian alami dari perkembangan emosi dan sosial mereka. Alias, manusiawi untuk dijalani.
Belakangan populer berkembang konsep hubungan “friends with benefits” (FWB). Yakni bentuk relasi dimana dua individu sepakat untuk menjalani hubungan lebih dari sekadar teman. Namun tidak ada ikatan emosional layaknya pacaran atau komitmen untuk ke jenjang yang lebih jauh (menikah, red).
Survei sampel yang dilakukan Bincang Perempuan, periode September hingga Oktober 2024 dengan melibatkan 111 responden, menunjukan sekitar 40,5% mahasiswa di lingkungan kampus pernah dan sedang terlibat hubungan romantis (pacaran atau friends with benefit dan sejenisnya).
Jumlah ini cukup mengejutkan sekaligsu mencerminkan adanya pergeseran nilai dan cara pandang mahasiswa terhadap hubungan non tradisional. Media sosial mempengaruhi bagaimana mahasiswa melihat fenomena hubungan romantis (pacaran atau friends with benefit dan sejenisnya), hal ini diakui 81,1% responden.
Sebanyak 57,5% mengaku lingkungan kampus memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap keputusan untuk memilih pola pergaulan seperti apa yang akan mereka jalani.
Meskipun begitu, responden mengakui jika kampus sendiri sudah mengatur kebijakan atas pergaulan bebas yang dilakukan.
Sayangnya, meski jumlah mahasiswa yang terlibat dalam hubungan romantis (pacaran atau friends with benefit dan sejenisnya) cukup tinggi, pendidikan kesehatan reproduksi (kespro,red), atau edukasi seksual masih dipandang tabu. Mereka (mahasiswa, red) masih enggan membahas isu kespro secara terbuka.
Kondisi ini tentu bisa berdampak dengan banyak mahasiswa yang mengambil risiko tanpa dilengkapi pengetahuan yang cukup. Bahkan dapat mengancam kesehatan fisik hingga mental mereka. Diketahui ada 4,5% responden yang hanya sesekali menggunakan kontrasepsi saat melakukan hubungan fisik. Sedangkan 32,7% mengaku tidak menggunakan kontrasepsi sama sekali. Jumlah yang fantastis bukan?
Kurangnya pendidikan seks yang komprehensif membuat mahasiswa tidak sepenuhnya memahami konsekuensi yang mungkin timbul dari hubungan semacam ini. Ketidaktahuan ini meningkatkan risiko penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak direncanakan, serta dampak psikologis jangka panjang.
Fenomena ini mencerminkan betapa pentingnya pendidikan seks yang terbuka dan menyeluruh untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi para mahasiswa dalam menjalani hubungan romantis, apapun bentuknya.
Persoalan minimnya edukasi kespro dan “tabu” yang ada di kalangan mahasiswa dibenarkan Responden I (23). Pada Bincang Perempuan, ia mengaku menggunakan alat kontrasepsi saat melakukan hubungan intim dengan pasangannya, salah satunya untuk kepentingan kesehatan. Karena saat responden masih duduk di bangku sekolah, ia pernah mendapatkan pengetahuan yang dia dapatkan terkait dampak melakukan “hubungan bebas” saat masih duduk di bangku sekolah.
“Kespro jarang dibahas di kampus, teman-teman juga tidak terbuka membicarakannya, jadi untuk mencari edukasi soal ini (kespro,red) lebih banyak lewat media sosial. Akibatnya pengetahuan saya terkait hal ini minim sekali,”katanya.
Sama halnya disampaikan responden II (20), meskipun tidak terlibat terlibat dalam hubungan romantis (pacaran atau friends with benefit dan sejenisnya), namun untuk mahasiswa di usianya, ia mengaku tidak mendapatkan pendidikan kespro yang memadai.
“Pernah dapat pengetahuan tentang ini (kespro, red) waktu masih SMP,” katanya.
Responden II menambahkan, pendidikan kespro atau membicarakan edukasi seksual di ruang terbuka masih dirasakan sangat tabu. Untuk memenuhi keingintahuannya, Responden II memilih mencari tahu sendiri lewat media sosial dan media digital lainnya.
“Sebenarnya masih diperlukan edukasi berkenaan dengan dampak dari “hubungan bebas” serta alat-alat kontrasepsi, terlebih di lingkungan kampus,” tuturnya.
Baca juga: Rentan Stres, 42,5% Mahasiswa Mengaku Tertekan karena Studi
Stop tabu untuk edukasi seksual
Psikolog Vanika Oktia dari Biro Konsultasi Psikologi Hijau Bengkulu menjelaskan bahwa, dari sudut pandang psikologis, ada dua faktor utama yang memengaruhi perilaku mahasiswa dalam menjalani hubungan romantis seperti pacaran atau friends with benefits (FWB), yaitu faktor internal dan eksternal.
Menurut Vanika, faktor internal terkait dengan kemampuan kontrol diri atau pengendalian diri mahasiswa, yang berperan dalam menentukan seberapa mudah mereka terpengaruh oleh pergaulan di lingkungan sekitar. Sementara itu, faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan sosial serta pengaruh media sosial yang cukup besar, terutama dalam fase pencarian jati diri yang dialami mahasiswa.
Merespons hasil survei sampel yang dilakukan Bincang Perempuan, Vanika menekankan pentingnya edukasi seksual bagi mahasiswa, terutama mengenai kontrasepsi yang perlu dikenalkan sejak dini.
“Pemahaman tentang penggunaan kontrasepsi dan risikonya akan membantu mahasiswa berpikir lebih jernih terkait aktivitas seksual, sehingga tidak ada lagi anggapan tabu terhadap edukasi seksual atau alat kontrasepsi dan pentingnya aktivitas seksual yang aman,” ujarnya.
Vanika menambahkan, pendidikan kesehatan reproduksi yang tepat dapat menjadi pencegah pergaulan bebas serta mengurangi risiko perilaku menyimpang. Edukasi seksual melalui sosialisasi di kampus, seperti melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), merupakan salah satu langkah konkret yang bisa diambil untuk mencegah kekerasan seksual sekaligus mengedukasi mahasiswa tentang hubungan yang sehat.
Selain itu, sosialisasi atau workshop yang melibatkan berbagai pihak dapat menjadi cara efektif untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang kesehatan reproduksi dan penggunaan alat kontrasepsi.
Baca juga: Tiga Periode Pemilihan, Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi
Peranan kampus lewat Pembimbing Akademik
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, FISIP Universitas Bengkulu, Mas Agus Firmansyah, menjelaskan bahwa maraknya fenomena friends with benefits (FWB) di kalangan mahasiswa sebagian besar dipengaruhi oleh penggunaan media sosial. Menurutnya, media sosial mendorong generasi muda, termasuk mahasiswa, untuk meniru tren-tren yang populer, seperti gaya hidup hedonis.
Mas Agus juga menambahkan bahwa hubungan FWB biasanya terbentuk karena adanya kebutuhan saling memberi manfaat, namun tanpa ikatan emosional seperti dalam pacaran. Pola hubungan ini membuka peluang bagi mahasiswa untuk menoleransi pergaulan bebas, yang diperparah dengan lemahnya pemahaman agama, norma, dan etika di kalangan mahasiswa.
“Perilaku FWB ini termasuk dalam fenomena sosial yang tersembunyi. Sanksi sosial dan hukum hanya mungkin berlaku jika ada pelanggaran terhadap kesepakatan. Selama kedua pihak setuju dan tidak ada yang dirugikan, sulit bagi norma sosial atau hukum untuk memberikan sanksi,” katanya.
Mas Agus menyatakan bahwa kampus sebenarnya memiliki peran penting dalam mengedukasi mahasiswa terkait perilaku seksual yang sehat. Salah satu bentuk dukungan adalah melalui Pembimbing Akademik (PA) yang dapat berfungsi sebagai sarana konsultasi bagi mahasiswa yang membutuhkan pemahaman tentang seksualitas dan pergaulan bebas.
“Selain itu, kampus juga diwajibkan memiliki Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), yang turut bertanggung jawab terhadap tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus,” pungkasnya.