Bincangperempuan.com- Publik tentunya tahu dengan anggota DPRD Kota Singkawang berinisial HA yang baru saja dilantik hasil Pemilu 2024. Politisi yang berasal dari salah satu partai dengan basis massa Islam menjadi viral di hari pelantikannya lantaran diketahui tersandung kasus kekerasan seksual. Ia diduga melanggar Pasal 81 jo Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 4 Ayat (2) UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Belakangan setelah kasusnya viral, HA dipecat dan tengah diproses Pergantian Antar Waktu (PAW) sebagai anggota DPRD Singkawang oleh partai pengusungnya.
Merespon hal tersebut, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong semua pihak memastikan proses hukum pada kasus-kasus kekerasan seksual, tidak kecuali pada kasus-kasus yang dilakukan oleh HA.
“Sejak kasus ini diketahui publik, Komnas Perempuan telah melakukan komunikasi dan koordinasi dengan berbagai pihak. Kami mengapresiasi dan mendukung upaya pihak korban dan keluarga untuk mencari keadilan dan memperoleh bantuan pemulihan,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam siaran persnya.
Komnas Perempuan, lanjut Andy mendukung langkah Kepolisian Provinsi Kalimantan Barat dan Resort Singkawang untuk mempercepat proses penyidikan, mengingat telah ada penetapan sebagai tersangka. Juga, langkah proaktif dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang terus berkoordinasi bersama untuk memastikan dukungan pemenuhan hak-hak korban.
“Kami juga memantau perkembangan laporan ke Propam, yang kami harapkan prosesnya memantapkan akses hak korban kekerasan seksual,” ungkap Andy.
Baca juga: Menjadi Ketua KUPS Perempuan, Melawan Dominasi Laki-Laki
Kekerasan seksual laporan yang mendomisi di lembaga layanan
Sepanjang tahun 2023, Komnas Perempuan mencatatkan bahwa kekerasan seksual adalah kasus yang mendominasi laporan ke lembaga layanan, yaitu sebanyak 2.363 kasus, sementara juga ada 2.078 kasus TPKS dari 4374 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Pelaku tercatat berasal dari kalangan yang seharusnya menjadi pelindung, teladan, dan panutan masyarakat, selain yang merupakan anggota keluarga dari korban. Sementara korban TPKS yang paling banyak masih berstatus pelajar atau mahasiswa, dengan lapisan kerentanan, baik karena jenis kelamin, usia anak, status sosial-ekonomi dan/atau statusnya sebagai anak yatim.
Kondisi serupa ini pula yang dilaporkan dihadapi korban dalam kasus AH, dimana korban berusia 13 tahun dan berasal dari keluarga yang miskin dengan ibu sebagai orang tua tunggal saat mengalami kekerasan di pertengahan tahun 2023 lalu.
“Tersangka TPKS dilantik sebagai Anggota DPRD tentu akan dirasakan sebagai mencederai keadilan publik, di saat negara sedang mengoptimalkan upaya menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak,”ujar Komisioner Maria Ulfah Anshar.
Karenanya, Komnas Perempuan berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk menunda penyidikan kasus ini, terlebih korban adalah kelompok paling rentan dan anak yatim yang harus dilindungi masyarakat dan negara. Saat ini tersangka telah diberhentikan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sementara penghentian dari posisi di DPRD Kota Singkawang masih menunggu tindak lanjut.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa ada langkah lanjutan yang diperlukan untuk memastikan mandat UU TPKS terkait kewajiban untuk menyelenggarakan pencegahan TPKS secara cepat, terpadu, dan terintegrasi di bidang Pemerintahan dan Tata Kelola Kelembagaan. Pencegahan di bidang ini meliputi kewajiban membangun komitmen anti Kekerasan Seksual sebagai salah satu syarat perekrutan, penempatan dan promosi. Sayangnya ketentuan pada PKPU No 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hanya mensyaratkan calon tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun.
“Ketentuan ini tidak bisa menjangkau kasus TPKS atau Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang masih pada tahap penyelidikan atau penyidikan. Padahal jika calon terpilih, potensi impunitas dan penyalahgunaan kekuasaan untuk menghambat keadilan berpotensi terjadi. Akibatnya korban akan semakin tidak terlindungi,” jelas Komisioner Siti Aminah Tardi.
Oleh karena itu, ada kebutuhan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan partai politik untuk membangun sistem rekrutmen yang menunjukkan komitmen membangun ruang aman dari kekerasan seksual.
Baca juga: Menanti Partisipasi Laki-laki Sadar Kontrasepsi
“Perbaikan persyaratan dalam sistem rekrutmen penting mengingat jabatan anggota legislatif tidak sekedar sebagai pejabat publik tapi negarawan yang seharusnya menjadi teladan yang menjunjung tinggi rasa keadilan publik khususnya korban dan keluarganya,” lanjutnya.
Sementara proses hukum berjalan dan pendampingan bagi korban saat ini dikawal oleh kuasa hukum berkoordinasi dengan lembaga dan instansi terkait, Komnas Perempuan berharap masyarakat sipil dan media massa untuk terus mengawal penanganan kasus ini dengan tetap memenuhi hak korban dan keluarganya atas identitas dan privasinya.