Bincangperempuan.com- Sudah lebih dari satu tahun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diberlakukan. Secara substansi terdapat enam elemen kunci yang dimandatkan dalam UU TPKS, yakni pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan dan hukum acara. Regulasi ini seakan menjadi titik terang dalam upaya melindungi korban kekerasan seksual dan memberikan keadilan dalam kasus tersebut.
Di lingkungan Universitas, seruan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) merupakan amanat Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kehadiran UU TPKS semakin melengkapi regulasi yang dapat melindungi korban dan mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Hal ini dirasakan langsung oleh Antik Bintari, S.I.P., M.T., Ketua Satgas PPKS Universitas Padjadjaran sekaligus Dosen FISIP Universitas Padjadjaran.
“Pengalamannya dalam sisi positif semakin banyak ya, kita bisa mengakomodir berbagai keluhan dan laporan yang selama ini mungkin tidak ada kanal nya atau tidak ada SOP untuk melaporkan itu,” terangnya.
Baca juga: Local Media Summit dan Dukungan Untuk Media Perempuan
Namun menurut Antik, dalam praktiknya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan muda, dalam hal ini mahasiswa, masih menemui banyak kesulitan. Pasalnya ada sejumlah hambatan dan tantangan yang dihadapi satgas PPKS dalam memproses kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus hingga tuntas.
Prosedur Pelaporan KS Perlu Kehati-hatian
Dalam menjalankan prosedur pelaporan, Antik mengatakan proses menangani sebuah kasus terkait dengan kekerasan seksual tidak semudah menangani kasus kejahatan lainnya karena memerlukan klarifikasi dan konfirmasi dari semua pihak yang menjadi bagian dari keluarga universitas.
“Apalagi kalau itu terjadi misalnya sesama civitas akademika maka kita juga harus tetap proporsional karena biar bagaimanapun mereka bagian dari keluarga kami di kampus. Jadi memang kesulitannya adalah tindakan kehati-hatiannya ini karena bisa jadi pengalaman kami salah langkah tentunya yang terlapor bisa menuntut,” jelasnya.
Untuk itu Antik mengatakan dalam proses menangani laporan tindak kekerasan pihaknya menggunakan istilah pelapor dan terlapor, bukan korban dan pelaku, untuk menunjukkan ranah kerja satgas PPKS.
“Yang pasti ada keberpihakan terhadap korban karena memang klausul pertama itu kan dalam penanganan harus tetap berpihak pada pelapor atau disebut korban. Kami menyebutnya pelapor dan terlapor karena bukan di ranah pengadilan atau institusi yang resmi ya yang bisa mempidanakan orang,” lanjutnya.
Budayakan Berani Lapor Melalui Hotline Hingga Kerjasama antar Lembaga Kampus
Upaya membangun budaya responsif terhadap kekerasan seksual di kampus memang tidaklah mudah, mengingat kasus kekerasan seksual seringkali dianggap tabu dan aib untuk dibicarakan. Korban maupun pelaku kerap mendapat perundungan setelah kasus terkuak ke publik. Ini masih menjadi tantangan tersendiri bagi satgas PPKS dalam menjalankan tugasnya memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan haknya dan dilindungi.
“Bagaimana civitas akademika berani itu masih tantangan karena akan mengubah sebuah kultur yg tadinya tidak mau bicara, tidak mau menyampaikan itu aib, jadi dikasih ruang gitu ya jadi akan ada perubahan yang signifikan dalam prosesnya,” ujar Anik.
Oleh karena itu, sejumlah upaya dilakukan oleh satgas PPKS Unpad untuk dapat memfasilitasi korban bercerita dengan nyaman tanpa takut dihakimi atau mengalami perundungan. Hal tersebut dilakukan melalui:
- Menyebarkan Hotline Pengaduan yang mudah dijangkau korban
Guna mendorong keberanian korban untuk melapor, Antik mengatakan pihaknya menginformasikan hotline pengaduan di sosial media, dan hal ini terbukti mampu meningkatkan keberanian pelapor karena merasa mengadu kepada pihak yang dapat melindungi dirinya.
“Kalau pengalaman kami di kampus iya (terjadi peningkatan keberanian pelapor), karena di instagram kami itu memposting hotline jadi bisa melapor melalui whatsapp, email, bahkan direct message, dan itu akan langsung kami respon, meskipun nanti dalam prosesnya itu agak lama pemanggilan, kalau meresponnya tentu kita kan cepat ya sebetulnya,” ujar Antik.
- Bekerjasama dengan lembaga internal kampus
Dalam menjalankan tugasnya, Antik menyadari adanya gap antara dosen dan mahasiswa untuk bercerita. Oleh karena itu, sinergi PPKS dan komunitas untuk merespon kecenderungan korban melapor ke circle atau temannya menjadi penting dilakukan. Sinergi ini dilakukan dengan menjalin kerjasama kepada BEM di level fakultas dan universitas, komunitas yang bergerak di isu perempuan, yang dalam hal ini di Unpad ada Girls Up, dan membuat SOP penanganan kekerasan seksual di level lembaga tersebut.
“Biasanya kasus juga dilaporkan kalau mahasiswa ya itu biasanya ke teman-temannya yaitu ke anak-anak BEM dulu gitu. Atau misalnya di kami juga ada organisasi seperti rahasia gadis di kampus yaitu Girls Up. Kami manfaatkan itu menjadi SOP sendiri,” kata Antik.
“BEM buat SOP bermitra dengan satgas, jadi misalnya mereka di level mana nih, apakah menerima pengaduan saja begitu ya, apakah melakukan pendampingan itu udah ada SOP nya juga mereka,” lanjutnya.
Baca juga: Hasil Riset: Perempuan Teliti Memilah Siaran Televisi
Bentuk turunan dari SOP tersebut dijalankan oleh FISIPOL Unpad dengan membentuk Sahabat Fisip yang menjadi jembatan pelaporan kasus kekerasan seksual dari mahasiswa ke pihak kampus.
“Dimana teman teman mahasiswa kalau nggak berani bercerita langsung sama kami itu bisa melalui mereka (Sahabat FISIP) baik tertulis maupun melalui telepon langsung. Jadi nanti baru mereka yang ngomong ke kita. Bisa jadi yang melaporkan itu tidak harus pelapor atau yang dalam hal ini korban, tapi bisa melalui teman-temannya,” jelas Antik.
Layanan Psikologi Hingga Bantuan Hukum Untuk Pelapor dan Terlapor
Dalam proses menangani kasus kekerasan seksual, keberpihakan terhadap korban menjadi yang paling utama. Namun, menurut Antik, dalam prosesnya pihak kampus juga perlu menjalankannya dalam prinsip keadilan dengan menyadari penuh bahwa terlapor merupakan bagian dari civitas akademika yang juga perlu mendapat perhatian.
Karena umumnya, setelah kasus diproses, pihak terlapor juga berkemungkinan mendapat tekanan dari lingkungannya. Oleh karena itu, menurut Antik pihak kampus perlu memberikan layanan psikologi terhadap pelapor dan terlapor untuk memastikan tidak ada masalah lanjutan dari proses penanganan tersebut.
“Jadi kalau misalnya terlapor ini civitas akademika dan ternyata juga membutuhkan layanan psikolog, maka itu harus dilayani juga begitu karena bisa jadi dua duanya itu dapat goncangan gitu, karena biasanya terlapor juga kalau levelnya di kampus mahasiswa kena bullying juga pada akhirnya, kena perundungan lanjutan jadi masalahnya double, ini belum selesai, ini maju, dan artinya semua itu harus kita pikirkan,” jelasnya.
Selain layanan psikolog, dukungan lain yang perlu diberikan pihak kampus adalah bantuan hukum gratis, utamanya bagi pihak yang kurang mampu, sebagai bentuk kepedulian terhadap civitas akademika di kampus tersebut. (**)
Layanan pengaduan kekerasan seksual: Call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08-111-129-129