Bincangperempuan.com- Kesetaraan gender menjadi salah satu isu strategis pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, sekaligus menjadi tolak ukur tercapainya visi Indonesia emas 2045: Indonesia Maju. Artinya, Indonesia hanya memiliki waktu sekitar 20 tahun lagi untuk sampai pada target tersebut di tahun 2045.
Indeks Ketimpangan Gender (IKG) adalah salah satu indikator untuk menilai sudah sejauh mana kesetaraan gender dilaksanakan di Indonesia. Nilai IKG berkisar 0 sampai 1, semakin kecil IKG menunjukkan ketimpangan yang semakin rendah yang artinya kesetaraan yang semakin tinggi. Penilaian IKG dihitung berdasarkan dimensi kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.
Badan Pusat Statistik melaporkan dari tahun ke tahun ketimpangan gender di Indonesia semakin menurun, meskipun penurunannya tidak begitu tajam. Terhitung sejak 2018, IKG Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,010 poin per tahun sehingga totalnya mencapai 0,052 poin selama lima tahun terakhir. Tercatat IKG Indonesia di angka 0,499 pada 2018 kemudian menurun menjadi 0,447 di tahun 2023.
Baca juga: Tren ‘Man or Bear’, Ketakutan yang Berakar dari Pengalaman Nyata Perempuan
Dimensi pendidikan menjadi salah satu faktor penting yang menurunkan angka ketimpangan gender di Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir, jumlah laki-laki dan perempuan yang berhasil mengenyam pendidikan SMA ke atas bergerak signifikan, dari awalnya 38,27 persen laki-laki menjadi 42,64 persen laki-laki di tahun 2023. Sedangkan perempuan, dari 30,99 persen di tahun 2018 menjadi 37,60 persen di tahun 2023. Gap antar keduanya juga semakin menyempit dari yang awalnya 7,28 persen menjadi 5,02 persen di tahun 2023.
Selain itu, ketimpangan pada dimensi kesehatan reproduksi juga menunjukkan perbaikan. Dalam 5 tahun terakhir, proporsi perempuan usia 15–49 tahun yang melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan (MTF) mengalami penurunan sebesar 0,088 dari 0,214 persen di tahun 2019 menjadi 0,126 persen di tahun 2023. Sayangnya, proporsi perempuan usia 15–49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun (MHPK20) menunjukkan perubahan yang fluktuatif. Jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu angkanya malah naik, dari 0,241 persen pada tahun 2018 menjadi 0,258 persen di tahun 2023.
Gender Analyst UNDP Indonesia, Agnes Gurning, mengapresiasi perbaikan kesetaraan yang terjadi pada aspek pendidikan dan layanan kesehatan yang dalam dua dekade terakhir menunjukkan ketimpangan yang semakin menurun.
“Artinya kesadaran kita dan kemampuan kita untuk memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan di tingkat dasar untuk laki-laki dan perempuan semakin bisa diakses secara lebih setara,” terangnya.
Namun ironisnya, perbaikan kualitas sumber daya manusia dari sisi pendidikan ini tidak dibarengi oleh kesempatan dan pemanfaatan ilmu dan keterampilan yang dimiliki oleh perempuan. Statistik menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) antara laki-laki dan perempuan di tahun 2023 berbeda cukup jauh, di mana TPAK laki-laki berada di angka 84,26 persen sedangkan perempuan hanya berada di angka 54,52 persen. Jarak timpangnya hampir menyentuh 30 persen, tepatnya di angka 29,74 persen sementara gap pendidikan hanya berkisar di 5,02 persen.
Agnes menilai perbedaan signifikan antara angka ketimpangan pendidikan dan tenaga kerja ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada potensi ekonomi yang dimiliki perempuan namun sayangnya partisipasinya belum dikelola dengan maksimal.
“Ketika di awal memasuki pasar kerja, partisipasi perempuan dan laki cenderung berimbang. Namun, ketika memasuki periode berumah tangga dan memiliki anak, banyak perempuan yang memutuskan untuk keluar dari angkatan kerja untuk berkonsentrasi untuk merawat anak dan keluarga. Hal ini sangat mempengaruhi angka TPAK perempuan yang jadi lebih rendah daripada laki-laki. Kalaupun nantinya perempuan ingin kembali ke masuk ke angkatan kerja setelah anak cukup besar, proses dan kondisinya cenderung lebih sulit dibandingkan dengan mereka yang tetap berada dalam angkatan kerja tanpa terputus. . Para ahli merujuk fenomena ini sebagai ‘motherhood penalty’. Saat ini, pengelolaan care economy atau ekonomi perawatan juga dikembangkan salah satunya untuk mengatasi motherhood penalty dan memastikan kesempatan penuh bagi aktivitas ekonomi perempuan terlepas dari statusnya sebagai ibu ” paparnya
“Bayangkan jika tingkat partisipasi perempuan di perekonomian meningkat. Kajian-kajian menunjukkan jika kesenjangan ini (dalam partisipasi angkatan kerja) dapat diatasi, perempuan bisa setara di dalam partisipasi di angkatan kerja, maka revenue ekonomi yang balik ke masyarakat itu akan multiplier, efeknya sangat signifikan sekali,” tambahnya.
Senada dengan Agnes, Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja bermanfaat dalam membawa keterampilan baru ke tempat kerja, produktivitas dan keuntungan pertumbuhan ekonomi lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Hasil kalibrasi IMF menunjukkan bahwa menutup kesenjangan gender dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) rata-rata sebesar 35 persen. Empat per lima dari keuntungan ini berasal dari penambahan pekerja ke dalam angkatan kerja, namun seperlima dari keuntungan tersebut disebabkan oleh dampak keberagaman gender terhadap produktivitas.
Baca juga: Oligomenorea: Penyebab dan Gejala
Agnes mengatakan jika berkaca dari pola perbaikan ketimpangan Indonesia selama 20 tahun ke belakang, perubahan yang dilakukan belum terlalu signifikan. Jika tetap pada pola yang sama maka sisa waktu 20 tahun ke depan ini akan terlewat tanpa terasa seperti 20 tahun ke belakang dimana ketimpangan gender dimensi ekonomi tersebut akan sulit tertutupi. Padahal kesetaraan gender di bidang ekonomi khususnya partisipasi perempuan dalam pekerjaan akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih signifikan karena dapat memperlancar perputaran ekonomi dan menaikkan pendapatan negara.
““Kalau hanya laki-lakinya saja yang terlibat dan berkesempatan berpartisipasi di ceruk ekonomi sangat disayangkan, karena ini ada populasi perempuan usia produktif yang potensinya juga besar karena sudah mengenyam pendidikan dan juga punya kesehatan yang sama primanya dengan laki-laki tetapi secara ekonomi tidak termanfaatkan, jadi opportunity lost yang signifikan kalau kita tidak memanfaatkan ini,” jelasnya.
Selain potensi ekonomi, menurut Agnes kesetaraan gender juga akan mendorong pemenuhan hak asasi manusia bagi semua orang. Pasalnya, ketimpangan gender akan saling berkaitan dengan ketimpangan yang lain, seperti yang terjadi pada perempuan disabilitas, perempuan di daerah rural, dan masyarakat adat. Selama ini, akses-akses mereka terhadap layanan-layanan publik masih menemui sejumlah tantangan. Oleh karena itu, ia menilai penyelesaian ketimpangan gender juga perlu dibarengi dengan pendekatan inklusivitas.
“Jadi kalau kita bisa menyelesaikan isu ketimpangan gender pendekatan yang maksimal adalah juga mengintegrasikannya dengan pendekatan inklusi sosial yang lebih merangkul kelompok-kelompok yang rentan dan terpinggirkan sehingga angkanya itu makin efektif, jadi itu manfaat lain yg secara akumulatif akan bisa dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan,” pungkasnya.
*)Artikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs (https://jurnalisme.id/womenmediacollabs/) didukung oleh UNDP Indonesia.