Home » News » Penghambat Karier Perempuan Pegiat Konservasi

Penghambat Karier Perempuan Pegiat Konservasi

Bincang Perempuan

News

Bincangperempuan.com- Bidang konservasi alam masih belum inklusif terhadap perempuan. Hal ini turut menghambat upaya mengatasi perubahan iklim dan penurunan biodiversitas (keanekaragaman hayati). Padahal, keterlibatan perempuan terbukti penting untuk memperkuat program pelestarian alam yang berkelanjutan.

Ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.

Hambatan pertama adalah adanya anggapan perempuan tidak cocok memiliki pekerjaan dengan aktivitas yang berat seperti di konservasi yang membutuhkan penelitian lapangan.

Pandangan yang beredar di masyarakat kita cenderung ‘memagari’ perempuan dalam bingkai pernikahan semata, di mana berkeluarga seolah-olah menjadi satu-satunya tujuan hidup.

Kalaupun bekerja, perempuan diharapkan berkegiatan yang membuatnya selalu di dalam ruangan. Ketika ingin beraktivitas di lapangan, perempuan kerap menghadapi hambatan struktural, misalnya: pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga yang lebih dibebankan kepada perempuan. Akhirnya, perempuan pun ‘terpaksa’ memilih pekerjaan kantoran.

Anggapan dan ekspektasi sosial ini menyebabkan perempuan sulit membangun karier di bidang konservasi.

Perempuan menjadi salah satu kelompok dengan risiko stres yang tinggi di sektor konservasi. Perempuan lebih rentan tertekan secara mental akibat pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi terkait status pernikahan dan berkeluarga, serta hal lain yang mungkin tidak sesuai dengan anggapan sosial.

Seperti pertanyaan kenapa belum menikah.

Pertanyaan ini, sayangnya, kerap diajukan bukan untuk memahami pilihan seorang perempuan, melainkan untuk menyalahkan keinginan Ketika ada perempuan yang memutuskan untuk bekerja di hutan untuk kegiatan konservasi. Perempuan cenderung dianggap tidak sukses karena belum menjadi pegawai negeri sipil, dan disarankan mengambil pekerjaan ‘feminin’ – misalnya di bank.

Baca juga: Khatijah dan Kartini, Perempuan yang Luput dari Cerita Konservasi

Hambatan kedua adalah risiko pelecehan seksual.

Keamanan pribadi menjadi perhatian utama bagi perempuan, apalagi ketika masyarakat kerap meminimalkan bahkan menormalkan pelecehan seksual.

Pekerjaan di sektor konservasi kerap mengharuskan pegiatnya untuk berkemah di hutan atau tinggal di tempat terpencil selama berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan. Situasi ini membuat perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual.

Mulai dari godaan (catcalling) hingga candaan yang bernada pelecehan rentan dialami perempuan yang sehari-hari beraktivitas di lapangan.

Masalah tersebut merupakan gunung es dari kerentanan perempuan di sektor konservasi. Tidak adanya ruang aman dan masih kentalnya budaya patriarki di struktur sosial, berisiko mengikis motivasi perempuan untuk terus berkarier di bidang konservasi.

Beberapa lembaga konservasi di Indonesia sudah memiliki kebijakan safeguard yang melek gender. Upaya perumusan strategi konservasi juga mulai inklusif terhadap perempuan seiring meningkatnya kesadaran gender. Walau demikian, kebijakan yang sama justru jarang terdengar untuk praktisi dan peneliti (staf) di internal lembaga konservasi.

Hambatan ketiga adalah kebijakan organisasi yang membatasi keterlibatan perempuan.

Di Indonesia, masih ada sejumlah organisasi yang menerapkan syarat gender tertentu yang menghalangi perempuan mengambil pekerjaan lapangan. Ini terjadi secara formal di lowongan pekerjaan yang mengutamakan laki-laki, maupun secara informal menugaskan perempuan di bagian administrasi dan laki-laki di lapangan.

Sekalipun bekerja di suatu lembaga konservasi, saya terkadang dianggap sebagai notulen semata dibandingkan peneliti utama dan pemimpin organisasi. Ada juga perempuan-perempuan lainnya yang diharapkan membuat kopi atau menyiapkan makanan di saat laki-laki yang dianggap lebih tahu berdiskusi mengenai isu-isu keanekaragaman hayati.

Pembatasan tersebut menjadi salah satu sebab mengapa sektor konservasi masih didominasi laki-laki.

Kondisi itu turut tercermin mulai dari jumlah peserta laki-laki di ruangan pertemuan, panel pembicara seminar (perempuan menjadi pembawa acara atau moderator), hingga di manajemen organisasi level atas yang sebagian besar diisi oleh laki-laki.

Dengan posisi dan tanggung jawab yang sama, laki-laki dapat dibayar lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki pun lebih sering diberikan posisi kepemimpinan daripada perempuan dengan kualifikasi yang sama.

Baca juga: Perempuan Bengkulu Suarakan Perlawanan Terhadap Kejahatan Lingkungan

Perubahan organisasi dan solidaritas perempuan

Sektor konservasi perlu berubah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi perempuan. Kerentanan dan hambatan tidak seharusnya membenarkan rendahnya keterlibatan perempuan. Ini bukan masalah yang hanya diatasi oleh perempuan, melainkan pekerjaan bersama.

Pemahaman dan validasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan di tingkat organisasi penting untuk menjadi langkah awal pembenahan.

Untuk membangun lingkungan yang inklusif, lembaga konservasi dapat mewajibkan pelatihan bias gender terhadap pekerja di konservasi, menghilangkan syarat spesifik gender dalam lowongan pekerjaan, serta mengembangkan protokol keamanan dan perlindungan staf perempuan (termasuk mekanisme khusus menangani pelecehan seksual).

Langkah lainnya adalah penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan pekerja perempuan yang memiliki anak: ruang menyusui, tempat bermain anak, dan lainnya.

Para perempuan pun bisa melawan tantangan ini dengan bersolidaritas.

Studi terbaru menjabarkan bahwa solidaritas antarperempuan dapat efektif meningkatkan keterlibatan perempuan di sektor konservasi. Upaya pendampingan langsung melalui skema mentorship (bimbingan) antarperempuan dapat menjadi pelecut semangat kaum hawa untuk bergelut dalam pelestarian keanekaragaman hayati.

Mentorship dapat memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan oleh praktisi pemula dalam mengatasi tantangan dan anggapan sosial yang sering dihadapi perempuan. Skema ini juga menyediakan langkah untuk membangun karier, meningkatkan kompetensi teknis, membangun jejaring, dan menjadikan pegiat ataupun peneliti konservasi lebih bersaing.

Akses internet dan penggunaan media sosial bisa menjadi sarana pendukung dengan meningkatkan visibilitas pencapaian perempuan.

Menyaksikan perempuan dapat menjadi pemimpin, menyadari perempuan memiliki ragam pilihan karier, bahkan sesederhana perempuan bisa ke hutan, bisa memotivasi perempuan generasi berikutnya untuk berani mengikuti langkah serupa.

Tengok saja Farwiza Farhan, pemimpin Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang masuk tokoh global berpengaruh versi TIME 100; Asnim Alyoihana Lanusi, Direktur PROGRES –- organisasi lokal untuk perlindungan satwa Sulawesi; Marsya Christyanti Sibarani, Ketua Tambora Muda – jejaring pemuda pegiat konservasi Indonesia. Ada juga rentetan perempuan inspiratif lainnya yang tergabung di Women’s Earth Alliance.

Peningkatan keterlibatan dan kepemimpinan perempuan di konservasi akan memicu dan mendorong pendekatan konservasi yang juga inklusif dan menyeluruh.

*) Ditulis oleh Sheherazade, PhD student | Conservation scientist, University of California, Berkeley. Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

TOLERANSI NOL Terhadap Segala Bentuk Kekerasan

Tetap Menikmati Lezatnya Kuliner khas Negeri 

Edukasi Anak Laki-laki, Sebelum Kekerasan Seksual Terjadi!

Leave a Comment