Home » News » Perempuan Bengkulu Suarakan Perlawanan Terhadap Kejahatan Lingkungan

Perempuan Bengkulu Suarakan Perlawanan Terhadap Kejahatan Lingkungan

Anisa Sopiah

News

Bincangperempuan.com- Sebanyak 11 kelompok perempuan di Provinsi Bengkulu menyuarakan perlawanan mereka terhadap kejahatan negara dan korporasi melalui Konferensi Tingkat Provinsi pada Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) 8 Maret 2024. Kegiatan ini merupakan dialog kelompok perempuan akar rumput dari berbagai daerah yang mengalami konflik agraria di Bengkulu yang difasilitasi Yayasan Genesis Bengkulu.

Kesebelas kelompok yang menyampaikan tuntutannya merupakan komunitas akar rumput yang sedang berkonflik dan tersebar di Provinsi Bengkulu, diantaranya Komunitas Perempuan Pelestari Bukit Kayangan, Perempuan Muara Dua dari Kabupaten Kaur, Kelompok Perempuan Petani Tanjungan Sejahtera.

Kemudian ada kelompok Perempuan Forum Petani Bersatu, Perempuan Beremis dari Seluma, Kelompok Perempuan Forum Air Palik Menggugat dari Bengkulu Utara. Serta Perempuan Petani Tanjung Sakti dari Mukomuko, Perempuan Sungai Lemau dari Bengkulu Tengah, KPPL Maju Bersama dari Rejang Lebong, Perempuan Alam Lestari dari Kepahiang, dan Kelompok Srikandi dari Kota Bengkulu.

Kelompok perempuan ini menyampaikan tuntutan yang sama, yakni agar pemerintah melibatkan rakyat dalam proses pembangunan. Mereka menyampaikan bahwa selama ini perusahaan yang masuk ke wilayah mereka telah membawa dampak buruk pada kondisi lingkungan dan sosial. Sayangnya, aduan tersebut tidak ditanggapi dengan responsif, sebaliknya berakhir dengan konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Hal ini jelas menambah beban bagi perempuan.

Baca juga: Perempuan dan Pembangunan Infrastruktur: Kebijakan dan Dampak yang Tidak Responsif Gender

Mereka meminta agar pemerintah dalam mengelola sumber-sumber agraria, membentuk kerangka pikir pembangunan yang tidak hanya memandang lingkungan sebagai komoditas ekonomi semata, namun juga memperhatikan hak-hak dasar dari masyarakat yang telah lama hidup di wilayah tersebut.

Perjuangan perempuan lokal

Seperti disampaikan oleh perwakilan dari kelompok perempuan Forum Petani Bersatu yang berasal dari Kabupaten Seluma, mereka menyayangkan belum adanya respon tegas dan aksi nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dengan PT.SIL. Padahal, upaya menyuarakan penyelesaian ini sudah berlangsung selama belasan tahun.  

“Kami berjuang dari belasan tahun yang lalu sampai saat ini kami belum ada penunjuk jalan untuk pembebasan lahan kami dengan PT. SIL yang saat ini sedang merajalela. Tolong perhatikan suara kami terutama dari pemerintah yang sudah kami pilih, akan tetapi sudah bealsan tahun tidak ada suara kami yang ditanggapi mereka,” sesalnya.

Konflik serupa juga terjadi di Mukomuko. Erinawati, perwakilan kelompok perempuan Petani Tanjung Sakti mengatakan akibat konflik agrarian antara masyarakat dengan PT DPP, sebagian masyarakat yang bersuara mengalami kriminalisasi oleh penegak hukum. Oleh karena itu, ia menuntut agar pemerintah dapat memberi jalan tengah agar kasus ini bisa diselesaikan segera. 

“Kami di sana dituduh oleh PT DDP yang berdiri di atas tanah garapan kami sedangkan kami ini petani yang semua hidupnya dari tanah. Sampai-sampai kami dituntut untuk melawan hukum,” ceritanya. 

Di sisi lain, Nosi Putri, perwakilan kelompok perempuan Sungai Lemau dari kecamatan Pondok Kelapa menyayangkan belum adanya aksi nyata dari pemerintah dalam merespon wilayah desanya yang saat ini mengalami abrasi.

“Kami tidak mau desa kami tinggal cerita, tinggal nama, bahkan desa kami bisa hilang selamnaya, saya meminta dengan hormat kepada pemerintah untuk segera menidaklanjuti agar desa kami bisa terselamatkan dari abrasi yang semakin lama membuat kami ketakutan,” katanya.

“Apakah harus melihat warga kami dulu menghilang? Bahkan saat ini ada rumah warga yang tinggal sertifikat. Sekarang abrasi sudah mengintai dapur kami,” lanjutnya.  

Selvia, selaku ketua pelaksana kegiatan ini menyampaikan bahwa hampir di setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu terdapat konflik agraria, ada yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan skala besar, perusahaan pertambangan, ada yang kesulitan mengakses kawasan hutan sebagai wilayah kelola akibat keterbatasan lahan, bahkan ada yang berjuang melindungi sumber daya alamnya dari kebijakan yang akan mengakibatkan hilangnya ruang kelola dan menghadirkan kerusakan lingkungan. 

Baca juga: Khatijah dan Kartini, Perempuan yang Luput dari Cerita Konservasi

“Kelompok perempuan yang hadir pada acara ini adalah perempuan yang telah mampu melihat ketimpangan akses pengelolaan ruang hidup di Provinsi Bengkulu. Mereka bisa melihat bagaimana negara bisa memberikan ratusan ribu hektar tanah bagi segelintir elit untuk mengakses sumber daya alam, sedangkan mereka hanya memperjuangkan sedikit lahan saja mengalami kesulitan, bahkan mendapatkan kriminalisasi,” terangnya.

Selvia berharap kegiatan ini dapat menjadi wadah bagi kelompok perempuan untuk memperkuat perjuangan satu sama lain, dan memberikan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan keresahan dan perjuangan yang telah mereka lakukan, namun belum mendapatkan hasil sesuai harapan. Ke depan, persatuan kelompok perempuan ini akan terus membentuk gerakan perlawanan, karena mereka yakin bahwa sejatinya pembangunan harus dilandaskan pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan elit dan penguasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, kejahatan lingkungan, perempuan bengkulu, perempuan dan hutan, perempuan dan lingkungan

Artikel Lainnya

Infantilisasi Perempuan di Media dan Masyarakat

Anakku Bukan Pelaku Klitih

FLP dan JMS :  Jangan Tunggu Lama Pengesahan RUU TPKS

Leave a Comment