Bincangperempuan.com- Angka perceraian di Indonesia terus menunjukkan tren kenaikan. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) Mahkamah Agung, lebih dari 446 ribu kasus perceraian terjadi sepanjang tahun 2024. Menariknya lagi, lebih dari 70 persen gugatan diajukan oleh pihak istri. Angka ini menunjukkan bukan hanya soal rapuhnya institusi pernikahan, tapi juga banyak perempuan akhirnya memutuskan keluar dari relasi yang tidak sehat.
Walau demikian, tingginya angka perceraian bisa jadi ancaman apabila tidak ditangani dengan tepat. Karena perceraian bisa berdampak terhadap anak-anak dan kondisi ekonomi keluarga. Oleh karena itu berbagai upaya untuk menekan angka perceraian perlu dilakukan.
Menag: Cegah Perceraian untuk Pelestarian Keluarga
Merespons situasi ini, Menteri Agama Nasaruddin Umar mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ia mengusulkan penambahan bab khusus mengenai pelestarian rumah tangga. Melansir dari situs Kemenag, pada Rapat Kerja Nasional Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Tahun 2025, Menag menegaskan pentingnya keterlibatan negara dalam menjaga keutuhan rumah tangga, tidak hanya pada saat pernikahan disahkan.
“Perceraian sering kali melahirkan orang miskin baru. Korban pertamanya adalah istri, lalu anak. Karena itu, negara perlu hadir bukan hanya dalam mengesahkan, tapi juga menjaga keberlangsungan pernikahan,” ujar Menag Nasaruddin Umar, Selasa (22/04/2025).
Namun, apakah menambahkan satu bab dalam undang-undang benar-benar bisa mengatasi permasalahan kompleks dalam rumah tangga? Lantas mengapa tidak mencoba mengusut akar masalah dari perceraian?
Baca juga: Female Breadwinners, Ketika Perempuan Jadi Pencari Nafkah Utama
Akar Masalah Perceraian
Menurut laporan Ditjen Badilag, penyebab perceraian pada tahun 2024 terbagi menjadi beberapa faktor utama, di antaranya:
- Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus
- Masalah ekonomi
- Salah satu pihak meninggalkan pasangan
- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, dan faktor lain
Artinya, perceraian bukanlah sekadar masalah moral atau sebatas kurang upaya menjaga hubungan. Tetapi juga berkaitan dengan struktur ekonomi, ketimpangan gender, dan minimnya akses terhadap pendidikan serta layanan kesehatan—termasuk kesehatan mental dan reproduksi.
Sementara itu menurut Badan Pusat Statistik faktor penyebab perceraian dibagi menjadi lebih luas, yakni Zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak dan dihukum penjara. Kemudian ada pula poligami, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), cacat badan, perselisihan dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad serta ekonomi.
Perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi faktor penyebab perceraian paling dominan dengan persentase 62.79%, diikuti oleh faktor ekonomi sebesar 25.05%. Faktor-faktor lain memiliki persentase yang relatif lebih kecil.
Ketika UU PKDRT Tak Cukup Menjamin Perlindungan
Komnas Perempuan dalam siaran pers Catatan Tahunan (Catahu) menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga masih terus terjadi. Padahal, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sudah 20 tahun lebih diberlakukan. Namun, menurut Theresia Sri Endras Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan, penyelesaian kasus-kasus tersebut masih kerap dilakukan secara kekeluargaan. “Ternyata penyelesaian non-pidana dan pidana tidak jauh berbeda. Bisa jadi KDRT berada di ruang abu-abu ini,” ujarnya.
Lalu Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Sementara itu, kurangnya pendidikan pranikah yang inklusif dan berperspektif kesetaraan membuat banyak pasangan muda masuk ke dalam pernikahan tanpa pemahaman yang cukup tentang komunikasi sehat, pengelolaan emosi, hingga pembagian peran yang setara. Pendidikan pranikah saat ini hanya fokus pada doktrin moral dan keagamaan, tanpa menyentuh aspek-aspek praktis dan psikososial yang jauh lebih krusial dalam membangun rumah tangga.
Baca juga: Kenapa Perempuan yang Mandiri Secara Finansial Sering Diglorifikasi?
Pendidikan pranikah seharusnya bukan sekadar formalitas. Ada beberapa hal penting yang perlu dimasukkan ke dalamnya agar pasangan siap menjalani kehidupan rumah tangga secara sehat dan setara, seperti:
1. Literasi Finansial dan Manajemen Konflik
Penting untuk memahami bagaimana keuangan akan dikelola bersama. Apakah aset akan dimiliki secara bersama atau masing-masing? Bagaimana pembagian pengeluaran, menabung, dan menyelesaikan konflik yang mungkin muncul karena keuangan? Semua ini harus dibicarakan sejak awal.
2. Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Kesehatan seksual dan reproduksi adalah bagian penting dari kehidupan pernikahan. Pemeriksaan kesehatan pranikah sebaiknya dilakukan, meliputi:
- Pemeriksaan darah lengkap (untuk mengetahui kondisi darah, golongan darah, dan rhesus)
- Tes HIV/AIDS
- Tes Hepatitis B
- Tes TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes)
- Tes gula darah
- Tes urine
- Pemeriksaan genetik (untuk mendeteksi penyakit turunan)
3. Pemeriksaan Kesehatan Mental dan Riwayat Penyakit
Kondisi mental dan riwayat penyakit pasangan juga perlu diketahui agar ada kesiapan dan saling pengertian jika di masa depan ada tantangan yang muncul. Ini bisa membantu pasangan saling merawat dan menghindari konflik akibat ketidaktahuan.
4. Pembagian Peran Domestik dan Pengasuhan yang Setara
Topik ini sering terabaikan. Padahal dalam membangun keluarga yang sehat, pembagian kerja domestik dan pengasuhan anak harus setara. Laki-laki juga perlu dilibatkan dalam diskusi parenting sejak awal.
5. Konseling Berbasis Kesetaraan Gender
Penting untuk membangun pola hubungan yang setara, bukan yang timpang. Konseling pranikah sebaiknya menanamkan prinsip kesetaraan gender agar rumah tangga yang terbentuk memiliki relasi yang sehat, adil, dan saling menghargai.
Pernikahan Tanggung Jawab Berdua
Selama ini, narasi seputar “mempertahankan pernikahan” cenderung menempatkan beban pada pihak perempuan. Seolah perempuan yang gagal “melayani” atau “sabar” adalah penyebab retaknya rumah tangga. Padahal, dalam banyak kasus, yang dibutuhkan adalah suami yang mampu belajar sebagai pasangan dan ayah yang setara.
Kita juga tidak bisa memisahkan isu perceraian dari kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Ketika upah minimum tidak cukup untuk kebutuhan hidup layak, ketika perempuan sulit mendapatkan pekerjaan karena diskriminasi atau beban ganda domestik, maka tekanan dalam rumah tangga semakin tinggi. Perbaikan struktural menjadi kunci penting yang tidak boleh dilewatkan.
Jika pemerintah benar-benar ingin menurunkan angka perceraian, maka pendekatannya harus lintas sektor seperti pendidikan, kesehatan, sosial, dan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Revisi undang-undang boleh jadi penting, tapi harus diiringi dengan kebijakan preventif yang menjawab akar masalah.
Karena menjaga keutuhan rumah tangga bukan tentang bertahan dalam penderitaan, tapi soal membangun relasi yang sehat, adil, dan aman bagi semua pihak. Menikah seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh, bukan ruang luka. Jika ini belum tercapai, maka sah-sah saja jika pasangan akhirnya memilih untuk berpisah demi kehidupan yang lebih layak.
Referensi:
- Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. (2024). Data Statistik Perkara Perceraian Tahun 2024. https://badilag.mahkamahagung.go.id
- Kementerian Agama RI. (2025). Menag Usulkan Revisi UU Perkawinan Tambahkan Bab Pelestarian Rumah Tangga. https://kemenag.go.id/nasional/menag-usulkan-revisi-uu-perkawinan-tambahkan-bab-pelestarian-rumah-tangga-BqxTM
- Komnas Perempuan. (2024). Siaran Pers CATAHU 2024: Peluncuran Catatan Tahunan 2024 [Video]. YouTube. Diakses dari https://www.youtube.com/live/_de-Zvhuork?si=OVb0gtQKt9l3djBE