Home » News » Perempuan Bekerja 100 Jam per Minggu tapi Dianggap Tak Produktif

Perempuan Bekerja 100 Jam per Minggu tapi Dianggap Tak Produktif

Bincang Perempuan

News

Eksperimen Sosial Kerja Perawatan Magdalene-ILO

Bincangperempuan.com- Seberapa banyak waktu yang dihabiskan perempuan untuk melakukan kerja-kerja perawatan? Jika divaluasi, seberapa besar nilai dari kerja-kerja perawatan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendasari eksperimen sosial yang dilakukan oleh media perempuan Magdalene, yang didukung oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pada akhir tahun 2023. Eksperimen sosial tersebut diproduksi menjadi sebuah film dokumenter pendek, yang diputar pada Kamis (18/1) di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Tak cuma memutar film berdurasi 20 menit, puluhan hadirin juga antusias mengikuti diskusi bertema serupa.

Film ini mendokumentasikan eksperimen sosial yang dilakukan lima partisipan perempuan dengan latar beragam. Selama seminggu, mereka mencatatkan kerja-kerja perawatan dan pengasuhan yang mereka lakukan di rumah tangga mereka, termasuk mengurus anak, orang tua lansia, serta kerja domestik lainya.

Hasil dari pencatatan tersebut diolah menjadi data dan dibandingkan dengan aturan jam kerja di Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu 40 jam per minggu. Para partisipan pun mengisi berapa pendapatan saat ini atau penghasilan terakhir jika sudah tak bekerja, untuk mendapatkan valuasi dari kerja perawatan yang mereka lakukan. Selain mencatatkan waktu kerja perawatan yang mereka lakukan, para peserta eksperimen ini juga mendokumentasikan beragam kerja-kerja domestik yang mereka lakukan.

“Data yang dikumpulkan membuktikan apa yang sebenarnya kita sudah ketahui, yaitu kerja-kerja perawatan tak berbayar hampir selalu dibebankan secara tidak proporsional kepada perempuan,” Pemimpin Redaksi Magdalene Devi Asmarani mengatakan.

“Yang baru dari sini adalah, kita bisa melihat bahwa jika divaluasi secara rupiah, nilainya menjadi tinggi, padahal kerja perawatan tidak pernah dihargai sebagai sesuatu produktif.”

Early D. Nuriana, Koordinator Program ILO untuk Pekerjaan Perawatan, menjelaskan mengenai pentingnya memvaluasi kerja-kerja perawatan, terutama dari sisi jam kerja, dan mengkonversi jumlah kerja tersebut dengan gaji rutin yang diterima dari pekerjaan atau berdasarkan upah minimum yang berlaku.  

“Dengan mengkonversikan jam kerja perawatan yang dilakukan per hari, per minggu hingga per bulan dalam bentuk pendapatan akan menyadarkan betapa kerja perawatan ini sangat memiliki nilai ekonomi, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan yang tidak produktif dan tidak perlu berbayar,” ujar Early.

“Dengan menyadari nilai ekonomi dari pekerjaan perawatan ini, penting bagi masyarakat kita untuk secara bertahap mengubah persepsi dan pola pikir mengenai pentingnya kerja perawatan bagi kesejahteraan semua individu dalam keluarga dan produktivitas dalam pekerjaan baik bagi pekerja laki-laki dan perempuan,” imbuhnya.

Early juga menyatakan, hasil dari eksperimen sosial semakin menegaskan temuan survei ILO mengenai persepsi masyarakat terhadap pekerjaan perawatan. Dalam survei 2023 itu didapati, sebagian besar responden perempuan (67,3 persen) menuturkan, tidak merasa memiliki jam kerja yang lebih panjang dalam melakukan pekerjaan perawatan dibandingkan laki-laki.

Kendati survei juga memperlihatkan 61,6 persen responden laki-laki memiliki istri atau saudara perempuan yang menanggung beban ganda, namun 65,6 persen tidak bersedia membayar orang lain untuk membantu pekerjaan perawatan. Sementara responden perempuan yang memiliki beban ganda mencapai 79,3 persen. Namun, ironisnya, 78,3 persen menolak membayar orang lain untuk membantu pekerjaan perawatan.

“Karenanya melihat hasil survei terbaru dari ILO dan eksperimen sosial ini, menjadi sangat krusial bagi kita untuk meningkatkan kesadaran kritis Masyarakat untuk mengurangi beban perawatan kepada perempuan dan mulai meningkatkan redistribusi pekerjaan kepada pekerja yang berbayar atau meningkatkan kebijakan pemerintah dalam sistem jaminan sosial,” tegas Early.

Pemutaran film eksperimen sosial ini dilanjutkan dengan diskusi bersama pihak-pihak terkait. Hadir juga dalam diskusi tersebut Eko Novi Ariyanti, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Diahhadi Setyonaluri, Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Universitas Indonesia; dan Wita Krisanti, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE).

Baca juga: Maryana, Perempuan Nelayan Gurita Mendobrak Stigma

Berikut beberapa beberapa temuan kunci dari eksperimen sosial tersebut:

Jumlah jam kerja perawatan yang melebihi jam kerja berbayar

Temuan dari eksperimen sosial ini sebanyak 4 dari 5 partisipan memiliki jam kerja perawatan di atas 40 jam per minggu. Padahal dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengatur, jam kerja untuk pekerja di Indonesia maksimal 7 jam per hari atau 40 jam per minggu.

Dalam “Long working hours can increase deaths from heart disease and stroke, say ILO and WHO” (2021) disebutkan, jam kerja panjang 55 jam seminggu telah memicu 745.000 kematian akibat penyakit kardiovaskular pada 2016. Mereka yang overworked juga lebih rentan terkena risiko stroke 35 persen dan penyakit jantung 17 persen, ketimbang mereka yang bekerja maksimal 40 jam seminggu.

Mayoritas partisipan sudah menganggap kerja perawatan penting, tapi…

Dari lima partisipan Magdalene, sebenarnya sudah ada kesadaran bahwa kerja perawatan sangat penting dan membebani perempuan. Namun, masih ada bias gender yang mewarnai pemahaman mereka. Misalnya, yang paling kentara, kerja perawatan bernilai ekonomi tapi sebaiknya perempuan yang melakukannya karena lebih baik kualitas kerjanya ketimbang laki=laki. Atau anak saja yang melakukan kerja perawatan terhadap orang tua karena ini menjadi wujud bakti dan balas budi.

Riris misalnya menyebutkan dalam wawancara bersama kami, “Saya nyari pahala dan ibadah, jadi Bismillah aja (merawat ayah sendiri)… Capek sih capek banget, kalau badan capek istirahat kalau psikis susah. Kalau capek, di kamar mandi (saya) menangis sampai sesak, keluarin dulu kalau udah lega, balik lagi (merawat ayah). Saya punya anak. Jadi apa yang saya lakukan ke bapak saya, saya mengharapkan anak mendapat contoh dari itu, diperlakukan sama.”

Pemahaman yang kurang lebih mirip ditemukan pada Arni dan Natalia. Keduanya sama-sama menyadari kerja perawatan sangat penting, dan perempuan melakukan pekerjaan lebih banyak. Namun, ada juga asumsi bahwa itu sudah merupakan peran ganda yang memang mesti dinikmati sebagai istri, ibu, sekaligus perempuan pekerja. Keduanya juga sepakat dan berdiskusi untuk membagi tugas perawatan domestik dengan suami, tapi ujung-ujungnya tetap porsi lebih banyak dilakukan oleh perempuan.

Baca juga: Rita Wati, Inspirasi Perempuan yang Memperjuangkan Hak Atas Hutan

Mayoritas tak mendapat dukungan cukup

Setelah merekam dan mencatat aktivitas kerja perawatannya selama seminggu, kami juga mewawancarai para partisipan secara luring. Mayoritas mengaku tak mendapat support system yang cukup, baik dukungan fisik maupun mental.

Untuk itu, Early dari ILO menegaskan perlunya berbagai dukungan baik dari perusahaan maupun dari sistem jaminan sosial. “Selain mengakui kerja perawatan sama pentingnya dan bernilai produktif dengan pekerjaan-pekerjaan lain, perlu adanya pengakuan terhadap pekerjaan-pekerjaan perawatan yang tidak berbayar melalui sistem jaminan sosial, seperti cuti berbayar untuk melakukan perawatan keluarga, sehingga perempuan masih dapat terus bekerja dan berpenghasilan,” kata dia.

Dukungan-dukungan ini dapat meningkatkan partisipasi kerja perempuan yang saat ini berkisar 54,42 persen menjadi 70 persen sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2045.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Sistem Garis Ibu di Masyarakat Adat Enggano

Revolusi Sinematik Greta Gerwig dan Penggambaran Pemberdayaan Perempuan dalam Film Barbie

Labubu : Mengaburkan Batas dengan Tampilan Androgini

Leave a Comment