Bincangperempuan.com- B-Pers, apakah perempuan perlu terlibat dalam pembangunan infrastruktur? Tentu saja, perempuan harus terlibat dalam pembangunan infrastruktur nasional. Ironinya, kebanyakan pembangunan infrastruktur justru memperkuat ketidaksetaraan gender dengan tidak memberikan hak bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam perencanaan, desain, konstruksi, dan pengoperasian infrastruktur.
Permasalahan ini menjadi sebuah tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak yang masih dibatasi. Atas dasar inilah, pemerintah harus mengedepankan pembangunan yang berspektif gender untuk mencapai hasil yang positif bagi perempuan. Dalam hal ini, perspektif gender akan mendorong peningkatan partisipasi perempuan dalam pekerjaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan kesehatan dan keselamatan.
Apakah Kebijakan Nasional telah Meningkatkan Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan Infrakstruktur?
Pembangunan infrastruktur telah meningkatkan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang terus bertambah setiap tahunnya. Secara tidak langsung, hal ini telah meningkatkan keahlian para pekerja dan memberikan dampak ekonomi bagi seluruh pihak yang terlibat. Selain itu, pembangunan infrastruktur telah meningkatkan pendapatan pemerintah yang mendukung layanan kesehatan dan pendidikan. Lantas, apakah kebijakan nasional telah meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan infrastruktur?
Singkatnya, kebijakan nasional untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan infrastruktur harus direvisi lagi. Hal ini untuk mencegah diskriminasi perempuan dan mengambil langkah-langkah efektif untuk menghapuskan pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sehingga perempuan memiliki peluang yang setara dengan laki-laki. Selain itu, negara harus memastikan mekanisme yudisial dan non-yudisial responsif terhadap pemulihan untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan berbagai undang-undang dan konvensi penting untuk memajukan kesetaraan yang lebih besar bagi perempuan. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia menggunakan perspektif gender sebagai strategi utama dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan mengatasi ketidaksetaraan gender yang sistemik.
Meskipun demikian, kebijakan nasional yang dibuat oleh pemerintah Indonesia tidak cukup menangani hak perempuan untuk terlibat di sektor pembangunan infrastruktur. Kerangka kerja peraturan ini dinilai masih harus dikembangkan untuk membangun kesetaraan gender dalam sektor pembangunan infrastruktur.
Dampak Pembangunan Infrastruktur yang Tidak Responsif Gender
Ada banyak dampak yang dihasilkan dari kebijakan pembangunan insfrastruktur yang tidak responsif gender. Tentu saja, hal ini telah merugikan perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Beberapa dampak dari pembangunan infrastruktur yang tidak responsif gender, diantaranya:
Sulitnya mendapatkan hak atas tanah dan mata pencaharian
Pembangunan infrastruktur merupakan industri yang padat lahan, yang sering kali memerlukan pembebasan lahan secara wajib atas nama kepentingan umum. Sektor ini mengedepankan pembebasan lahan secara paksa yang sering kali memiliki dampak sosial-ekonomi yang luas terhadap kehidupan orang-orang yang bidang tanahnya dibebaskan. Ironinya, kebijakan pemerintah masih tidak memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak-hak perempuan atas tanah sehingga menambah kompleksitas masalah kepemilikan tanah di Indonesia.
Kesenjangan dalam perlindungan ini diperparah oleh proyek-proyek infrastruktur, yang mengarah pada ketidaksetaraan gender yang lebih besar. Perempuan masih memiliki tingkat kepemilikan tanah formal yang rendah, dimana hak atas tanah cenderung dipegang oleh laki-laki.
Meskipun Undang-Undang Reformasi Agraria memberikan hak yang sama antara perempuan dan laki-laki atas tanah, praktik-praktik adat masih berlaku di pedesaan masih mengedepankan laki-laki untuk menguasai hak atas tanah tersebut.
Hak-hak tenaga kerja perempuan yang tidak terjamin
Perlu diketahui bahwa partisipasi perempuan dalam industri infrastruktur memiliki peran yang kuat untuk memastikan keberhasilan dalam pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur dijadikan sebagai peluang pelatihan bagi perempuan dan mendukung bisnis lokal dan informal.
Di Indonesia, terdapat sejumlah besar undang-undang dan kebijakan yang berlaku untuk mendorong kesetaraan kesempatan kerja dan melindungi hak-hak perempuan seperti melindungi perempuan dari eksploitasi, kekerasan, dan ketentuan khusus untuk mengatur cuti hamil dan upah. Ironinya, undang-undang ini tidak menjamin hak-hak perempuan Indonesia terutama dalam partisipasi tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh budaya yang memaksa perempuan untuk berhenti bekerja setelah menikah.
Sulitnya perempuan untuk berpartisipasi
Meskipun pemerintah mengupayakan peningkatan partisipasi perempuan, fakta di lapangan justru sebaliknya. Partisipasi perempuan dalam proses dalam proyek-proyek infrastruktur umumnya lebih rendah daripada laki-laki. Dalam hal ini, perempuan secara langsung dan tidak langsung dikecualikan karena hukum, norma sosial, dan kurangnya akses terhadap informasi.
Di Indonesia, terdapat praktik yang disebut “Musrenbang” untuk mendiskusikan proyek-proyek pembangunan, termasuk namun tidak terbatas pada proyek-proyek infrastruktur. Musrenbang bertujuan untuk menegosiasikan, merekonsiliasi, dan menyelaraskan perbedaan-perbedaan yang ada dalam rencana pembangunan antara pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Ironinya, nilai patriarki yang kuat di Indonesia justru melemahkan manfaat Musrenbang sebagai kunci dari inklusi dan partisipasi perempuan. Akibatnya, norma sosial yang menganggap laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang memiliki hak untuk mengambil keputusan masih diterapkan hingga saat ini.
Sulitnya dalam mendapatkan pemulihan
Tingginya kesenjangan gender dalam sektor pembangunan infrastruktur mendorong diskriminasi dan pelanggaran atas hak-hak perempuan. Padahal, negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak perempuan dan menyediakan akses terhadap pemulihan terhadap permasalahan yang ada.
Pemulihan ini mencakup kompensasi yang adil, pengakuan atas tanah adat, pembatalan keputusan, dan permintaan maaf atas pelanggaran yang terjadi. Ironinya, permasalahan struktural yang berakar dari pelestarian budaya patriarki justru menimbulkan sejumlah permasalahan yang melanggengkan ketidakberdayaan perempuan. Kondisi ini semakin diperparah dengan mekanisme peradilan yang tidak transparan dan sistem hukum yang membatasi kapasitas perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang telah diambil tanpa persetujuannya.