Home » News » Perempuan di Tengah Pandemi Covid-19

Perempuan di Tengah Pandemi Covid-19

Bincang Perempuan

News

Perempuan di tengah pandemi

PROVINSI BENGKULU  menjadi zona merah dari penyebaran wabah Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19, sejak tanggal 31 Maret lalu. Tim medis pun dikerahkan sebagai garda terdepan dalam penanganan wabah yang berasal dari Wuhan, China tersebut.  Tak terkecuali bagi dr. Hj. Lovita Dwi Putri, yang diamanahkan sebagai Penanggung Jawab Infeksi Emerging dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bengkulu. Sekaligus menjadi Tim Siaga Covid-19, serta survailen untuk kasus-kasus dugaan Covid-19 yang terjadi di Provinsi Bengkulu. Bagaimana keseharian dr. Lovita menjalani peran tersebut? Simak liputannya.

JIAFNI RISMAWARNI- Kota Bengkulu  

DALAM hidup, Lovita, sapaan akrabnya, berpegang pada prinsip jangan pernah melupakan bahwa tugas utama dan yang lebih mulia adalah menjadi seorang ibu. Ini tidak berarti profesi sebagai dokter ini tidak mulia. Namun dalam agamanya, Islam, mengajarkan seperti itu. Bahwa seorang ibu lebih mulia dibandingkan dengan profesi yang lainnya.

Jangan pula dilupakan khususnya bagi tenaga medis yang perempuan, suatu saat akan menjadi seorang ibu,” kata Lovita.

Sebagai ibu dari empat orang putri ini, Lovita menerapkan tiga bentuk kecerdasan terutama saat menjalankan tugasnya sebagai seorang tenaga medis. Pertama kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional. Ketiganya wajib diterapkan sehingga dapat membantu dirinya, dalam menghadapi permasalahan yang ada. Baik dalam pekerjaannya, maupun dalam konteks sosial.

Wanita kelahiran di Pekalongan, pada 24 Desember 1983 menceritakan, rasa kekhawatiran sekarang ini. Terutama saat wabah Covid-19 ini terjadi. Pasalnya disatu sisi, ia merasa diuji, disamping menjadi seorang dokter yang harus membantu pasien dalam memerangi Covid-19. Juga disisi lain sebagai seorang ibu, yang mana dalam situasi yang sama keempat putrinya membutuhkan perhatiannya.

“Mungkin mama ini tidak bisa sepenuhnya mendampingi kalian, namun yakinlah mama ini selalu ingin yang terbaik untuk anak- anak. Yang penting mereka fokus, mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Pasti mama papa akan mendukungnya,” tukas Lovita.

Pesan itulah yang selalu Lovita tanamkan kepada keempat buah hatinya. Disamping itu, dukungan dari orang terdekat pun menjadi suntikan semangat tersendiri bagi Lovita. Baik itu berasal dari suami, orangtua, dan dukungan keluarga besar lainnya.

“Yang jelas kita butuh dukungan penuh keluarga. Karena tidak akan bisa berjalan tanpa ada dukungan mereka,” tambanya.

Baca juga : Perempuan di Tengah Pandemi, Berdayakan Milenial Sebagai Agen Edukasi Tangkal Covid-19

Apalagi sekarang libur seperti saat ini, lanjut Lovita. Setiap hari selalu ada tugas untuk anak- anaknya. Terkadang ia tidak dapat mendampingi putri- putrinya dalam menyelesaikan tugas mereka.  Kendati demikian, anak-anak sudah tahu apa-apa yang menjadi tanggung jawab tugas tersebut. Namun apabila ada hal hal yang tidak mereka pahami, baru lah anak-anak akan minta bantuan kepadanya.

“Tapi untuk selebihnya mereka sangat mandiri,” tutur Lovita.

Semenjak menjadi Tim Siaga Covid-19, Lovita mengungkapkan dirinya kesulitan untuk mendapatkan me time untuk keluarga. Bila dibandingkan dengan bulan- bulan sebelumnya, me time saat ini sudah sangat berkurang.

“Kadang saya pulang sudah malam, sampai pernah anak- anak minta bantu PR tapi akhirnya baru paginya bisa saya lihat. Makanya disini kita perlu ada kerja sama dengan pasangan. Untuk saling bantu,” tambahnya.

Untuk membuat anggota keluarganya merasa nyaman. Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang ini, selalu menerapkan physical distance dan menjaga kebersihan.

Baca juga: Semangat Perempuan Disabilitas, Potret Tangguh di Masa Pandemi Covid-19

“Misalnya kalau saya baru pulang dari tugas, itu anak-anak tidak boleh mendekat dulu sebelum membersihkan pakaian dan mandi. Saya langsung mandi baju kotor dipisahkan langsung,” tutur Lovita.

Meskipun masih ada kekhawatiran, ia merasa beruntung, memiliki keluarga besar yang sedikit banyak sudah paham dengan Covid-19. Ia menekankan pentingnya memberikan edukasi kepada keluarga dan pemahaman tentang pencegahan Covid-19. Apalagi sebagai  tenaga medis, ia bersentuhan langsung dengan pasien.

“Makanya saya paham kan kepada anak-anak seperti itu. Namun kita juga tetap menerapkan physical distance,” katanya.

Bila ditelisik ke belakang, ia merasa awal kasus ini sangat berat. Hal ini dikarenakan pihaknya, masih harus meraba- raba pola kerjanya. Karena Covid-19 adalah penyakit baru dengan penelitian yang masih sedikit. Belum lagi petunjuk teknis dari pusat selalu berubah-uban. Banyak sekali pedoman-pedoman yang harus dipelajari dalam waktu singkat. Belum lagi yang menjadi induknya di Bengkulu adalah Dinas Kesehatan Provinsi, tempat Lovita bekerja.

“Kalau menurut saya salah satu hikmah yang bisa diambil dari wabah ini adalah wabah ini mengajarkan kita untuk bersikap lebih bijak,” ungkap Lovita.

Artinya, dengan wabah ini, ia diajarkan harus lebih bijak dalam menyikapi segala hal. Yang terjadi selama wabah ini. Wabah ini membuat sifat aslinya maupun rekan- rekannya keluar. Wabah ini juga membuat para tim medis atau dokter terseleksi dengan sendirinya.

“Mana yang benar-benar dokter, dan mana yang dokter dalam tanda kutip,” tutur Lovita.

Ia menambahkan yang namanya wabah kan pasti menimbulkan ketakutan. Bahkan ada beberapa rekannya, yang gara-gara ketakutan yang berlebihan ini, menghilangkan keilmuan yang mereka miliki. Belum lagi kalau bicara masalah materi, awal-awal kasus ini kan tidak semuanya ada budget.

“Awal kasus ini banyak kawan-kawan di faskes itu takut karena wabah ini kan. Makanya kita diprogram untuk bekerja dengan cepat, sehingga kemarin semua sumber dana dan sumber daya difokuskan untuk Covid-19,” katanya.

Namun saat ini, kata Lovita, sudah berbeda cerita. Sekarang pihaknya sudah dapat alur kerjanya. Kawan- kawan di Kabupaten/Kota sudah semakin teredukasi. Mereka juga sudah punya arahan tersendiri, dari pemerintah daerah setempat yang juga berkoordinasi dengan kami Dinkes provinsi. Dan pihaknya pun berpedoman ke Kementerian Kesehatan RI. Akhir cerita, Lovita ingin menitipkan pesan kepada para rekan sejawatnya. Khususnya bagi rekan yang baru tamat pendidikannya.

“Jangan pernah melupakan sumpah profesi. Karena semakin kesini saya lihat ada semacam fenomena yang terjadi. Bahwa sumpah profesi itu mulai terkikis karena tuntutan zaman,” pesannya.

Tidak dinapikan, dengan menyandang gelar dokter, ada beberapa yang menganggap bahwa gelar itu membuatnya menjadi seseorang yang jumawah. Dibandingkan dengan profesi lainnya yang ada di masyarakat. Ia berpesan jangan sampai seperti itu, karena tetap saja seorang dokter itu berkewajiban untuk melayani masyarakat. Sehingga jangan sampai membedakan masyarakat yang menjadi pasien. Setiap pasien yang datang maka harus mendapatkan pelayanan yang prima. (**)

*) Tulisan ini dibuat dalam rangka peningkatan kapasitas jurnalis perempuan menulis berbasis gender melalui program Citradaya Nita 2019 yang didanai Pusat Perhimpunan Media Nusantara (PPMN). Tulisan sudah terlebih dahulu tayang di Harian Rakyat Bengkulu dengan judul yang sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Inisiatif Perempuan

Artikel Lainnya

Bystander Effect: Ketika Diam Menjadi Berbahaya 

Catcalling Pelecehan Verbal Berbasis Gender

Catcalling: Pelecehan Verbal Berbasis Gender

Film Sleep Call Jerat Perempuan dalam Kemajuan Teknologi

Film Sleep Call: Jerat Perempuan dalam Kemajuan Teknologi

Leave a Comment