Home » News » Perempuan Indonesia Masih Diharuskan Meninggalkan Pekerjaan yang Berbayar untuk Memenuhi Kebutuhan Perawatan

Perempuan Indonesia Masih Diharuskan Meninggalkan Pekerjaan yang Berbayar untuk Memenuhi Kebutuhan Perawatan

Bincang Perempuan

News

Lenny N. Rosalin, Wakil Menteri untuk Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

ILO meluncurkan temuan-temuan survei persepsi pekerja mengenai pekerjaan perawatan. Survei ini dilakukan sebagai bagian dari proses penyusunan Rencana Aksi Nasional Indonesia mengenai Ekonomi Perawatan.

Bincangperempuan.com- Pada Rabu, 15 November, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) meluncurkan temuan penting dari survei persepsi pekerja tentang pekerjaan perawatan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memimpin survei ini sebagai bagian dari penyusunan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Indonesia mengenai Ekonomi Perawatan. Rencana ini menegaskan betapa pentingnya menyeimbangkan pekerjaan dengan perawatan yang sangat penting bagi masyarakat dan perekonomian untuk berkembang, dan untuk mengurangi kemiskinan, mendorong kesetaraan gender, dan meningkatkan layanan perawatan dan kebijakan.

Survei yang dilakukan bekerja sama dengan KataData Insight Centre bertujuan untuk mengetahui bagaimana pekerja Indonesia dari berbagai sektor melihat nilai ekonomi pekerjaan perawatan. Survei ini didasarkan pada kerangka 5R ILO untuk pekerjaan perawatan yang layak: Recognition (Rekognisi), Reduce (Reduksi), Redistribusi (Redistribusi), Penghargaan (Penghargaan), dan Representasi (Representasi). Tujuan dari kerangka ini adalah untuk mewujudkan dunia yang setara untuk semua. Selain itu, tujuan dari survei adalah untuk menemukan saran untuk meningkatkan upaya untuk menjadikan pekerjaan perawatan sebagai tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas perempuan.

Baca juga: Marital Rape: Bingkai Hukum di Indonesia

Survei ini dilakukan secara online selama 1,5 bulan, dari 15 September hingga 3 November 2023, dan menjangkau 2.217 responden dari berbagai industri, seperti pekerja rumah tangga, pekerja perawatan, pekerja kreatif, dan pekerja wirausaha. Sebagian besar responden berusia 27–42 tahun (58,2%), diikuti oleh kelompok usia 18–26 tahun (27,5%). Sekitar 67,5 persen responden perempuan dan 67,4 persen bekerja di sektor informal di 34 provinsi.

Hasil menunjukkan bahwa hanya 85,5 persen orang yang menjawab mengakui bahwa pekerjaan perawatan memiliki nilai ekonomi, meskipun 92,3% mengakui bahwa itu adalah pekerjaan perawatan yang bersifat langsung, personal, dan relasional, seperti memberi makan bayi atau merawat pasangan yang sakit. Namun, persentase responden yang lebih besar (95,3%) tidak mengakui dan tidak menghargai pekerjaan perawatan yang tidak langsung, seperti memasak dan bersih-bersih.

Selain itu, survei menunjukkan bahwa 61,6 persen responden laki-laki memiliki istri atau saudara perempuan yang menanggung beban ganda, sementara 79,3 persen responden perempuan mengatakan bahwa mereka menanggung beban ganda. Namun, sebagian besar responden perempuan (67,3%) tidak merasa mereka menghabiskan lebih banyak jam kerja di pekerjaan perawatan daripada laki-laki.

Selain itu, 68,3 persen responden laki-laki berpendapat bahwa wajar bagi perempuan untuk meninggalkan pekerjaan berbayar mereka untuk memenuhi kewajiban perawatan mereka sebagai ibu atau anak perempuan. Menariknya, hampir sama jumlah responden perempuan (66,2%) berpendapat bahwa perempuan juga harus memprioritaskan kewajiban perawatan mereka daripada karier mereka. Ini sejalan dengan 80,5 persen responden yang percaya bahwa perempuan secara alami cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan dan perawatan.

Lebih lanjut, studi ini menunjukkan bahwa cuti melahirkan dan cuti ayah serta jam kerja fleksibel merupakan program yang paling dikenal dan paling banyak diberikan bagi pekerja formal dan informal. Namun, 28,8 persen responden mengatakan bahwa perusahaan mereka tidak menyediakan program perawatan apa pun, sementara 16,3 persen tidak mengikuti program tersebut karena pemotongan gaji. 

“Alasan-alasan ini berlaku baik bagi pekerja formal maupun informal di mana 30,1 persen pekerja formal dan 28,2 persen pekerja informal mengatakan bahwa tempat kerja mereka tidak menyediakan program perawatan; sementara 15,4 persen pekerja formal dan 16,8 persen pekerja informal memilih untuk tidak mengikuti program ini karena pemotongan gaji,” lapor studi tersebut.

Mekanisme kerja yang fleksibel seperti bekerja dari rumah atau bekerja dari mana saja telah menjadi program perawatan yang paling banyak diadopsi. Dalam hal menyuarakan aspirasi pekerja mengenai pekerjaan perawatan, 53 persen responden menyatakan tempat kerjanya tidak memiliki serikat pekerja dan 49,2 persen menyatakan perusahaan atau pemerintah daerah tidak mendukung pembentukan serikat pekerja. 

Baca juga: Melihat Aktivitas Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama

Temuan-temuan utama ini dibahas dan dikaji dalam bincang-bincang interaktif bertajuk “Apakah pekerjaan perawatan hanya tanggung jawab perempuan atau tanggung jawab bersama?”, menghadirkan narasumber utama dari pemerintah, dunia usaha, aktivis gender dan ILO: Lenny N. Rosalin, Wakil Menteri untuk Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Myra Hanartani, Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo); Melanie Subono, seniman dan aktivis serta Early Dewi Nuriana, Koordinator Program ILO untuk Ekonomi Perawatan.

“Survei ini merupakan bagian dari dukungan ILO kepada Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan merumuskan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional tentang Pekerjaan Perawatan. Temuan-temuan dari survei ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi tindakan yang tepat dalam mempromosikan pekerjaan perawatan di Indonesia dan untuk mengembangkan kebijakan transformatif yang penting untuk memastikan masa depan pekerjaan yang didasarkan pada keadilan sosial dan mendorong peningkatan kualitas pekerjaan.

Menurut ILO, investasi dalam layanan pengasuhan anak secara universal dan layanan pengasuhan jangka panjang dapat menciptakan 10,4 juta lapangan kerja pada 2035. Tingkat lapangan kerja perempuan di Indonesia dapat meningkat dari 49% pada 2019 menjadi 56,8% pada 2035.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Lazy Girl Job, Semestinya Bukanlah Kemewahan

Perempuan Membangun Desa Kopi Tangguh Iklim di Bengkulu

Perempuan Membangun Desa Kopi Tangguh Iklim di Bengkulu

UN Women dan Korea dukung perempuan dan komunitas

UN Women dan Republik Korea, Bersama Mendukung Perempuan dan Komunitas Tangguh di Indonesia

Leave a Comment