Bincangperempuan.com- Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia untuk jumlah kasus perkawinan anak di bawah usia 18 tahun, menurut laporan UNICEF tahun 2023. Angka ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh negara dalam upaya melindungi hak-hak anak dan mencegah praktik perkawinan dini yang merugikan.
Meskipun berbagai kebijakan progresif telah ditetapkan oleh pemerintah, realitas di lapangan menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut belum cukup efektif untuk menekan angka perkawinan anak secara signifikan.
Perkawinan anak membawa dampak negatif yang sangat signifikan, baik bagi anak perempuan maupun anak laki-laki. Dampak ini tidak hanya terbatas pada aspek kesehatan fisik dan mental, tetapi juga mencakup aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Berikut adalah beberapa dampak utama yang dialami oleh anak-anak yang terjebak dalam perkawinan dini yang berhasil dirangkum tim Bincang Perempuan
Baca juga: Perkawinan Anak Bukan Solusi Atas Kehamilan yang Tak Diinginkan
Kesehatan Fisik dan Mental
Anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berisiko tinggi mengalami komplikasi kesehatan selama kehamilan dan persalinan. Tubuh yang belum sepenuhnya berkembang meningkatkan risiko terjadinya kehamilan berisiko tinggi, kelahiran prematur, serta kematian ibu dan bayi. Selain itu, anak-anak yang menikah dini juga rentan mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan trauma psikologis akibat pernikahan yang dipaksakan.
Putus Sekolah dan Keterbatasan Akses Pendidikan
Perkawinan anak sering kali menyebabkan anak putus sekolah, karena tekanan untuk menjalani peran sebagai istri atau suami menghalangi mereka untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini berdampak jangka panjang terhadap peluang kerja dan pengembangan keterampilan mereka di masa depan, yang pada akhirnya memperparah siklus kemiskinan.
Kemiskinan dan Ketergantungan Ekonomi
Anak-anak yang menikah dini cenderung mengalami kesulitan ekonomi, karena keterbatasan pendidikan dan peluang kerja. Mereka sering kali menjadi tergantung secara ekonomi pada pasangan atau keluarga, sehingga sulit untuk mandiri secara finansial. Kondisi ini dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi, dan pengabaian.
Terbatasnya Kesempatan Sosial dan Partisipasi dalam Masyarakat
Perkawinan anak juga membatasi kesempatan anak-anak untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengejar impian, berkarier, dan berkontribusi dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Akibatnya, potensi besar yang dimiliki oleh anak-anak ini terbuang sia-sia.
Kebijakan Progresif: Upaya yang Belum Optimal
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan progresif untuk menekan angka perkawinan anak. Salah satu langkah penting yang diambil adalah perubahan batas usia minimum pernikahan dari 16 tahun menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan lebih bagi anak-anak dan mencegah perkawinan dini.
Namun, meskipun kebijakan ini merupakan langkah maju, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Masih banyak masyarakat yang memegang kuat tradisi dan norma budaya yang mendukung perkawinan anak, terutama di daerah pedesaan dan wilayah dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan kurangnya kesadaran akan dampak buruk perkawinan anak juga menjadi faktor penghambat dalam menurunkan angka perkawinan anak secara signifikan.
Baca juga: Perkawinan Anak dan Ketimpangan Akses Pendidikan
Solusi untuk Mengatasi Perkawinan Anak
Untuk menekan angka perkawinan anak dan melindungi masa depan anak-anak Indonesia, diperlukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
Peningkatan Kesadaran dan Edukasi
Edukasi adalah kunci utama dalam mencegah perkawinan anak. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil perlu terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak negatif perkawinan anak melalui kampanye yang menyasar berbagai lapisan masyarakat, terutama di daerah-daerah yang memiliki angka perkawinan anak tinggi. Program edukasi yang melibatkan sekolah, komunitas, dan keluarga juga penting untuk mengubah pandangan dan norma budaya yang mendukung perkawinan anak.
Penguatan Penegakan Hukum
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran batas usia minimum pernikahan perlu ditingkatkan. Aparat penegak hukum harus diberikan pelatihan yang memadai untuk menangani kasus perkawinan anak dan melindungi hak-hak anak. Selain itu, perlu adanya kerjasama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas, untuk memastikan bahwa kebijakan yang telah ditetapkan dapat diimplementasikan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia.
Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial
Pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi keluarga dan anak-anak merupakan langkah penting untuk mencegah perkawinan anak. Program-program yang mendukung pemberdayaan perempuan, peningkatan akses pendidikan, dan pelatihan keterampilan kerja dapat membantu anak-anak, terutama anak perempuan, untuk memiliki pilihan hidup yang lebih baik dan mandiri secara ekonomi. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa terpaksa untuk menikah dini demi alasan ekonomi.
Penyediaan Akses ke Layanan Kesehatan dan Konseling
Anak-anak yang telah terjebak dalam perkawinan dini memerlukan dukungan yang komprehensif untuk mengatasi dampak negatif yang mereka alami. Penyediaan akses ke layanan kesehatan reproduksi, konseling psikologis, dan program-program rehabilitasi penting untuk membantu mereka pulih dan melanjutkan hidup dengan lebih baik. Layanan ini juga harus mudah diakses oleh anak-anak di daerah terpencil dan tertinggal.
Kerjasama Internasional dan Pembelajaran dari Negara Lain
Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain yang berhasil menurunkan angka perkawinan anak. Kerjasama internasional dalam bentuk pertukaran informasi, penelitian, dan program-program bantuan dapat membantu Indonesia dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang lebih efektif. Selain itu, Indonesia juga perlu aktif berpartisipasi dalam forum-forum internasional yang membahas isu-isu terkait hak anak dan perkawinan dini.
Perkawinan anak adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan segera. Meskipun berbagai kebijakan progresif telah ditetapkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menekan angka perkawinan anak di Indonesia. Dampak buruk perkawinan anak terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak sangat besar, dan tidak hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.