Bincangperempuan.com– Pernah dengar tren unboxing pengantin? Tren yang sempat viral di Malaysia pada tahun 2022 tersebut menimbulkan banyak kontroversi pada masanya. Tren tersebut menunjukkan perempuan membuka lapisan demi lapisan riasan pengantinnya di depan cermin sambil menambahkan sentuhan humor dengan menyebut proses ini sebagai ‘unboxing by my husband’. Tren membuka atribut pengantin baru layaknya sebuah paket. Meskipun terkesan lucu dan seru, video ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat, terutama mengenai bagaimana perempuan digambarkan dalam pernikahan.
Mengutip dari CNN salah satu pendakwah dari Pencetus Ummah (PU), Syed Mohd Bakri Al-Yahya mengecam tren tersebut. Ia menilai hal itu sebagai tindakan sesat. Syed menilai istri adalah milik suami dan menjadi haram bagi suami memperlihatkan aurat istri mereka atau bagian intim lain.
“Istri kita adalah properti kita, kita tak bisa membagikan kecantikan dan pesonanya kepada orang lain, semuanya adalah milik kita sebagai suami,” tutur Syed.
“Kita bisa muda dan mencoba hal baru, tetapi kita harus mematuhi hukum Tuhan dan tidak melakukan hal seperti itu. Jangan mengikuti omong kosong itu karena tak membawa manfaat,” ujarnya menambahkan.
Baca juga: Ancaman Krisis Iklim, Bagaimana Nasib Perempuan Adat?
Unboxing Pengantin, Bentuk Objektifikasi Perempuan
Selain dinilai buruk dari nilai moral, tren tersebut juga merupakan bentuk objektifikasi tubuh perempuan. Kita mengetahui pada konteks media sosial, biasanya unboxing digunakan untuk menggambarkan proses pembukaan kemasan. Namun dalam tren ini, unboxing mendadak dijadikan istilah untuk menggambarkan perempuan yang ‘dibuka’ dan jelas mengandung makna seksual dan mereduksi peran perempuan dalam pernikahan.
Padahal perempuan bukan barang yang dibungkus. Perempuan juga manusia yang memiliki akal dan perasaan untuk dipertimbangkan nilai dirinya. Tren ini sudah menjadikan perempuan seakan barang tanpa akal dan perasaan. Inilah yang disebut sebagai objektifikasi.
Analisis dalam artikel Sexual Objectification of Women: Advances to Theory and Research menyebutkan bahwa perempuan cenderung dibesarkan untuk melihat tubuh mereka sebagai objek yang dinilai oleh orang lain, terutama dalam hal seksualitas dan penampilan. Kebanyakan budaya, mengajarkan perempuan untuk mengutamakan daya tarik fisik mereka, yang akhirnya mempengaruhi cara mereka mengelola citra tubuh mereka dalam hubungan romantis.
Selain itu bagaimana perempuan menginternalisasi objektifikasi juga dipengaruhi pola hubungan dan media. Menurut artikel berjudul Female Self-Objectification: Causes, Consequence, & Prevention, media berpengaruh dalam memberikan gambaran ideal mengenai penampilan. Selain itu, dalam hubungan, laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar dalam melakukan objektifikasi terhadap pasangan mereka. Sehingga memperkuat internalisasi objektifikasi dalam diri perempuan.
Tren unboxing pengantin mencerminkan bagaimana perempuan menginternalisasi pandangan ini dengan melihat diri mereka sebagai objek seksual yang ‘dibuka’ dalam pernikahan, bahkan dalam sebuah acara yang seharusnya lebih sakral. Ini menunjukkan bagaimana perempuan secara tidak sadar merasa perlu menampilkan sisi seksual mereka untuk menegaskan daya tarik dalam hubungan, walaupun hal ini mereduksi makna pernikahan dan peran mereka sebagai individu yang lebih kompleks.
Baca juga: Nasib Industri Rumah Tangga Olahan Ikan Salai di Tengah Ancaman Krisis Air dan Jerat Tengkulak
Dampak Objektifikasi dalam Hubungan
Tren unboxing pengantin dapat dilihat sebagai salah satu bentuk objektifikasi dalam hubungan romantis, di mana perempuan, sebagai objek yang dilihat dari perspektif fisik, lebih difokuskan pada penampilan mereka dalam konteks pernikahan.
Reduksi Makna Pernikahan
Ketika tren ini menyebar melalui media sosial, pernikahan sering digambarkan sebagai momen yang lebih berfokus pada penampilan dan seksualitas daripada komitmen emosional antara dua individu. Hal ini bisa mengurangi makna pernikahan yang seharusnya lebih mendalam dan berbasis pada kesetiaan serta ikatan emosional jangka panjang.
Mengganggu Kedekatan Emosional Pasangan
Sebuah studi yang dipublikasikan di PMC (PubMed Central) meneliti pengaruh objektifikasi terhadap hubungan romantis. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa objektifikasi pasangan, dalam artian seseorang melihat pasangannya sebagai objek kesenangan seksual, dapat mengganggu kedekatan emosional dalam hubungan.
Ketika penampilan dan daya tarik fisik menjadi fokus utama, pasangan cenderung dipandang lebih sebagai objek daripada individu dengan perasaan dan kebutuhan yang sama pentingnya. Ini dapat menyebabkan penurunan kepuasan dalam hubungan, karena perhatian lebih banyak diberikan pada fisik daripada kualitas hubungan yang lebih dalam.
Dampak Psikologis pada Perempuan
Studi yang diterbitkan di Psychology of Women Quarterly menemukan bahwa objektifikasi diri dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi, karena perempuan merasa terus-menerus dinilai berdasarkan penampilan fisik mereka. Studi tersebut menemukan meningkatnya rasa malu, meningkatnya rasa cemas, menurunnya motivasi puncak, menurunnya kesadaran akan kondisi tubuh internal, disfungsi seksual, gangguan makan, dan bahkan depresi terjadi pada perempuan.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada video viral, tetapi juga meluas, seperti pada bridal shower yang semakin populer. Baru-baru ini, video bridal shower salah satu seleb TikTok yang menampilkan kue berbentuk alat kelamin laki-laki dan atribut seksual menjadi viral. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali tanpa sadar menggunakan kata-kata yang mengobjektifikasi pernikahan, seperti ‘unboxing’ atau candaan tentang malam pertama.
Seharusnya, pernikahan dipahami sebagai peristiwa sakral, bukan sekadar seks yang terkesan sepele. Reduksi makna pernikahan dalam tren ini mengajak BPer’s untuk merenung, apakah tanpa sadar juga mengobjektifikasi pernikahan melalui candaan atau pertanyaan seputar seks.
Referensi:
- American Psychological Association. (n.d.). Sexual objectification. https://www.apa.org/education-career/ce/sexual-objectification.pdf
- McMahon, A., & Lann, M. (2003). Objectification theory and mental health: Implications for sexual harassment and eating disorders. Psychology of Women Quarterly, 27(1), 1-9. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1111/j.1471-6402.1997.tb00108.x
- Murniati, A. (2022, January 12). Netizen Malaysia jengkel tanggapi tren unboxing pengantin wanita. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220112064825-106-745484/netizen-malaysia-jengkel-tanggapi-tren-unboxing-pengantin-wanita/amp
- Siegel, J. (2010). Objectification theory: Toward a feminist understanding of women’s experiences in relation to sexualization and objectification. McNair Scholars Journal, 2(1), 37-49. https://commons.emich.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1065&context=mcnair
- Fredrickson, B. L., & Roberts, T. A. (1997). Objectification theory: Toward understanding women’s lived experiences and mental health risks. Psychology of Women Quarterly, 21(1), 173-206. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3062032/