Home » News » Polemik PP 28/2024: Apakah Benar Memicu Kepanikan Moral?

Polemik PP 28/2024: Apakah Benar Memicu Kepanikan Moral?

Diajeng Asa Yoya

News

Polemik PP 282024Apa Benar Mempromosikan Seks Bebas

Bincangperempuan.com- Presiden Joko Widodo baru saja mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan pada Juli lalu. PP baru tersebut menuai beragam kritik dari masyarakat. Salah satu poin kontroversial dalam PP ini adalah aturan terkait  aborsi legal bagi korban pemerkosaan dan penyediaan alat kontrasepsi untuk usia sekolah dan remaja.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik ketentuan aborsi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan. 

Hal ini mengingat layanan aborsi aman dianggap sebagai kebutuhan mendesak yang harus disediakan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), termasuk pemerkosaan. Layanan ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif kesehatan mental pada korban, serta mencegah tekanan psikologis pada anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan.

Layanan Aborsi Aman Menurut PP 28/2024

Menurut PP Kesehatan ini, prosedur aborsi legal untuk korban kekerasan seksual mencakup beberapa tahapan penting, di antaranya pertama Dibuktikan dengan surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana kekerasan seksual; dan keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan (Pasal 118). Kedua, pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut dan hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya sesuai dengan pertimbangan dari Tim Pertimbangan Dokter (Pasal 1 19 sd 123). Serta ketiga, Korban diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan (Pasal 124).

Namun, meskipun aturan ini dianggap sebagai langkah maju dalam melindungi korban kekerasan seksual, proses yang panjang dan persyaratan yang rumit dikhawatirkan dapat memperpanjang waktu penanganan, terutama dalam hal usia kehamilan korban yang terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Baca juga: Vasektomi, Membantu Meringankan Beban Reproduksi Perempuan

Apa Benar Mempromosikan Seks Bebas?

Sementara itu, dalam diskusi publik yang digelar Jakarta Feminist dengan tajuk “PP 28/2024 Apa Benar Mempromosikan Seks Bebas?”, Rabu (04/09/2024), Anna Abdillah dari Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, menyoroti bahwa banyak penyidik masih ragu-ragu dalam menerapkan tindak pidana kekerasan seksual, terutama dalam konteks penetapan aborsi legal bagi korban. Akibatnya berdampak pada lamanya waktu proses hukum yang harus dijalani korban. 

Anna Abdillah mengungkapkan bahwa selama ia menjadi pendamping korban kekerasan seksual, pada kenyataan di lingkup sistem peradilan, kapasitas penyidik yang melayani fasilitas pemeriksaan dugaan pemerkosaan masih minim sekali untuk memaknai TPKS.

“Untuk penetapan TPKS pada korban, untuk kemudian menerapkan tindak pidana pelecehan seksual fisik dan non-fisik beberapa kali harus menghadirkan ahli pidana lain. Ketidak percayaan diri penyidik ini kemudian menambah deret panjang waktu tunggu korban untuk memastikan proses hukumnya bisa lanjut atau tidak,” paparnya. 

Anna juga menyoroti bahwa belum ada kesepahaman mekanisme jaminan perlindungan bagi korban dan pendamping korban kekerasan seksual untuk terhindar dari segala bentuk kriminalisasi saat mengakses layanan aborsi.

Tak hanya Anna, Nanda Dwinta  dari Yayasan Kesehatan Perempuan juga mengkritisi prosedur panjang yang harus dilalui korban untuk mendapatkan layanan aborsi, yang justru berpotensi meningkatkan risiko kesehatan jika usia kehamilan terus bertambah. Selain itu, belum adanya kesepakatan mengenai mekanisme perlindungan bagi korban dan pendamping korban kekerasan seksual juga menjadi perhatian utama.

Baca juga: Pentingnya Consent dalam Pelaksanaan Body Checking

Kesehatan Reproduksi Remaja: Solusi atau Kontroversi?

Selain aturan terkait aborsi, peraturan lain dalam PP 28/2024 yang memicu perdebatan adalah tentang kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja, termasuk pemberian alat kontrasepsi. Pasal tentang kesehatan reproduksi remaja juga menjadi sorotan dalam diskusi ini. Diketahui dalam Pasal 103, pemerintah memberikan layanan kesehatan reproduksi yang mencakup deteksi dini penyakit, pengobatan, rehabilitasi, konseling, hingga penyediaan alat kontrasepsi (ayat 4). Namun, aturan ini memicu dilema.

Pemerintah berpendapat bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menekan angka kehamilan di luar nikah dan penyebaran penyakit menular seksual di kalangan remaja, yang terus meningkat menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Namun, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan kelompok konservatif, yang melihatnya sebagai promosi seks bebas.

Melansir dari Detiknews Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan bahwa pembagian alat kontrasepsi seperti kondom hanya diberikan kepada pasangan yang sudah menikah, bukan untuk seluruh remaja. Ia menegaskan bahwa pendidikan seksual yang lebih baik, termasuk tentang abstinensi atau penundaan hubungan seksual, menjadi fokus utama. 

“Kondom tetap untuk yang sudah menikah. Usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka seharusnya abstinensi atau tidak melakukan kegiatan seksual,” katanya. 

Lain halnya dengan Anna Abdillah, menurutnya aturan ini menyebabkan dilema. Jika pemerintah hanya memberikan layanan penyediaan kontrasepsi kepada pasangan remaja yang sudah tercatat menikah, lantas bagaimana dengan yang hanya kawin siri?

“Kita tahu di daerah daerah banyak remaja yang sudah melakukan kawin siri, bahkan kawin sirinya itu dikondisikan oleh orang tuanya, mereka tidak punya kedaulatan memilih. Sehingga mereka tidak bisa mendapat akses layanan yang mereka butuhkan,” ujar Anna.

Sehingga langkah selanjutnya yang bisa diambil, adalah edukasi seksual, bukan hanya pada remaja-remaja yang terdampak namun juga pada orang tua. 

Edukasi terkait reproduksi dan kontrasepsi, menurut Sandra Suryadana dari Dokter Tanpa Stigma, hal tersebut sangat lah penting diberikan kepada anak secara berkesinambungan mulai dari kelompok usia 5 tahun hingga 18 tahun.

“Jadi topik mengenai reproduksi dan kontrasepsi ini tetap diberikan bahkan pada anak usia 5 tahun, tapi penyampaiannya berbeda-beda sesuai daya tangkapnya,” ujar Sandra.

“Sebagaimana kita sadari bersama, anak usia remaja banyak yang sudah melakukan aktifitas seksual. Sehingga kalau edukasinya terlambat atau kita terus denial menganggap bahwa edukasi seksual tidak perlu, kita jadi akan terus menghadapi kehamilan tidak direncanakan, aborsi tidak aman dan lainnya,” tambahnya

Senada dengan Sandra, Sintya Anggreni dari Kiasara Bali juga beranggapan bahwa penyediaan edukasi terkait dengan kesehatan reproduksi merupakan upaya yang penting untuk mencegah risiko-risiko yang bisa terjadi ke depan.

“Dari perspektif kami sebagai remaja, kenapa akhirnya hal ini bisa menuai banyak kontroversi yang terjadi di masyarakat, ya karena hadirnya peraturan perundang-undangan ini belum diiringi dengan edukasi yang komprehensif terkait dengan kesehatan reproduksi. Sehingga belum banyak yang menyadari bahwa peraturan ini ada untuk mencegah risiko yang dapat terjadi,” tutur Sintya.

“Penting untuk kita semua ambil peran dan memberikan solusi bersama sama untuk meningkatkan derajat kesehatan kita bersama,” pungkasnya. 

Diakhir diskusi, dihasilkan beberapa rekomendasi yang harus dilakukan pemerintah berdasarkan aturan yang telah ada, diantaranya pertama, Pemerintah harus lebih proaktif dalam menjelaskan maksud dan tujuan dari tiap kebijakan yang dikeluarkan. Terutama yang menyangkut isu sensitif terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi. Kedua, Pemerintah harus mengeluarkan aturan turunan baik dari UU Kesehatan & UU TPKS yang berprinsip HAM, setara inklusif dan tidak diskriminatif.

Ketiga, Pemerintah memastikan akses ke layanan aborsi tidak mempersulit perempuan dan korban kekerasan seksual. Keempat, Pemerintah memastikan kebutuhan perempuan atau korban dipenuhi ketika memutuskan mengakses layanan aborsi ataupun meneruskan kehamilannya. Terakhir, Pemerintah harus memperkuat kapasitas tenaga penyedia layanan dalam memaknai “layanan komprehensif” bagi korban dalam konteks penanganan, perlindungan, pemulihan dan penegakan hukum.

Untuk diketahui PP 28/2024 menandai langkah penting dalam reformasi kebijakan kesehatan reproduksi di Indonesia, terutama bagi perempuan dan remaja. Namun, kontroversi yang muncul menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, mulai dari sosialisasi kebijakan hingga penyediaan layanan yang inklusif dan tidak diskriminatif.  Dialog terbuka dan solusi bersama, diharapkan kebijakan ini dapat membawa dampak positif yang nyata bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya perempuan dan korban kekerasan seksual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Bayang-bayang Kekerasan Seksual Menghantui Perempuan dan Anak di Tanah Syariat

Komnas Perempuan Rekomendasikan Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu

Ekofeminisme

Perempuan dan Pelestarian Lingkungan 

Leave a Comment