Bincangperempuan.com- Saya adalah seorang perempuan yang lahir pada 14 Januari 1972 di Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong, dan diberi nama Purwani. Saya adalah anak bungsu dari empat bersaudara, yang terdiri dari tiga orang perempuan dan satu orang laki-laki. Ibu bernama Sariem, dan bapak bernama Martodimejo. Ibu dan bapak bersuku Jawa, dan berasal dari Kota Purworejo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Ibu dan bapak adalah petani. Mereka menanam padi darat dan sayuran di kebun. Sejak bayi, saya sering diajak oleh orangtua ke kebun. Bahkan, saya juga sering diajak oleh orangtua menginap di pondok di kebun. Ketika sudah mulai besar, saya sering ikut menanam padi dan sayuran.
Saat saya duduk di bangku kelas 4 SD, ibu merintis usaha di rumah dengan membuka warung yang menjual berbagai barang kebutuhan rumah tangga. Seminggu sekali, ibu juga menjual beragam makanan seperti lotek, lontong dan lainnya. Selain itu, ibu juga membuat beragam makanan ringan untuk dijual dengan cara dititipkan di warung lain.
Sejak ada warung dan usaha menjual beragam makanan, saya jarang ke kebun. Selain menjaga
warung dan melayani pembeli, saya juga sering membantu ibu untuk menyiapkan bahan-bahan yang akan diolah untuk membuat berbagai makanan, dan mengantar beragam makanan ringan ke warung-warung.
Setahun Ibu menjalankan usaha warung dan makanan, orangtua membeli sawah. Dengan adanya sawah, lahan yang dulunya dimanfaatkan untuk bertanam padi darat dan sayuran, mulai dimanfaatkan untuk bertanam kopi dan sayuran.
Dari SD hingga SMP (Sekolah Menengah Pertama), saya bersekolah di Desa Pal VIII. Saat SMA, saya melanjutkannya di Kota Curup. Karena lokasi sekolah dari desa berjarak cukup jauh, saya dititipkan oleh orangtua untuk menetap di rumah paman yang tinggal di asrama TNI (Tentara Nasional Indonesia) Angkatan Darat di Kota Curup. Setelah lulus SMA, saya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Namun, saya tidak lulus, dan saya pulang ke desa. Sambil membantu ibu menjalankan usahanya, saya mengikuti kursus-kursus.
Saya sempat merantau ke Kota Jambi, Jambi dan bekerja di perusahaan perkebunan karet. Namun, hanya sebulan. Saya kembali ke Desa Pal VIII, dan mendapat pekerjaan di KUD Harapan Mulia. Belum lama bekerja di KUD Harapan Mulia, saat keluarga yang tinggal di Kota Purworejo berkunjung ke desa, saya memutuskan untuk ikut dengannya guna mencari pekerjaan di Kota Purworejo, yang merupakan tempat kelahiran kedua orangtua.
Di Kota Purworejo, saya bekerja di toko. Hanya delapan bulan. Kemudian, saya ke Jakarta, dan bekerja di perusahaan konveksi. Beberapa bulan kemudian, saya pindah ke Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur dan bekerja di pabrik kertas selama empat bulan. Berhenti bekerja di pabrik kertas, saya ke Kota Solo, Jawa Tengah mengikuti keluarga yang datang dari Kota Solo, yang bekerja di Singapura sebagai tenaga kerja Indonesia, untuk melamar menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Namun, saya tidak lulus seleksi. Hasil pemeriksaan kesehatan melalui rontgen, saya diketahui mempunyai penyakit pembengkakan pada jantung.
Baca juga: Perempuan Petani Kopi di Desa Batu Ampar Menghadapi Perubahan Iklim
Lalu, saya kembali pindah ke Jakarta. Tidak lama menganggur, saya mendapatkan pekerjaan di salah satu plaza. Bekerja di plaza, saya bertemu dengan seorang laki-laki bernama Junaidi yang merupakan rekan kerja, yang kemudian menikah dengan saya. Kami menikah pada tahun 2002, dan menetap di Jakarta. Pada tahun 2003, saya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Aldi Purnaidi.
Tahun 2010, saya bersama anak pulang ke Desa Pal VIII. Saya pulang karena ingin merawat ibu. Delapan bulan saya merawat ibu, ibu meninggal dunia. Saya pun melanjutkan usaha warung yang ditinggalkan oleh ibu. Namun, warung mulai sepi pembeli, dan akhirnya ditutup. Lalu, saya bekerja di perusahaan perkebunan teh. Hanya tiga bulan. Kemudian, saya bekerja sebagai tenaga pengajar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Amanah di Desa Pal VIII. Dua tahun mengajar, atau tepatnya pada tahun 2014, saya dipercaya menjadi Kepala PAUD Amanah. Saya tidak lagi menjadi Kepala PAUD Amanah pada tahun 2018 karena status PAUD akan diubah menjadi PAUD Negeri.
Pada tahun 2013, kebun kopi orangtua yang dikelola oleh keluarga dengan pola bagi hasil, dikembalikan ke saya. Untuk membantu mengurusi kebun tersebut, suami berhenti bekerja di Jakarta, dan pindah ke Desa Pal VIII. Hingga sekarang, kebun tersebut diurus oleh saya dan suami. Selain kopi, di kebun juga terdapat alpukat, nangka dan durian.
Di samping mengajar di PAUD dan berkebun, saya adalah anggota Majelis Taklim Al-Istiqomah sejak tahun 2011. Selain itu, saya menjadi Kader Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Saya juga pernah menjadi Sekretaris Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Pal VIII pada tahun 2017 – 2018. Bila ada warga yang menggelar hajatan pernikahan, saya sering ditugaskan menjadi sekretaris panitia. Jika tidak ditugaskan menjadi sekretaris, saya ikut rewangan bersama kaum perempuan lainnya memasak beragam jenis kue dan menu makanan yang akan dihidangkan untuk tamu. Begitu pula bila ada warga yang mengalami musibah, saya juga ikut bersama perempuan lainnya bergotong-royong memasak kue dan menu makanan untuk keluarga yang mengalami musibah dan tamu yang menghadiri takziah. Pada bulan
ramadhan, saya sering dipilih menjadi bendahara panitia ramadhan di masjid.
Lahir dan dibesarkan di Desa Pal VIII, bahkan saya memiliki kebun yang berbatasan dengan kehutanan atau hutan larangan, namun saya baru mengetahui hutan larangan tersebut merupakan TNKS saat mengikuti kegiatan di Kantor TNKS di Kota Curup pada 20 – 21 Mei 2017. Pengetahuan saya tentang hutan larangan sangat menakutkan. Jangankan untuk digarap dan ditebangi pepohonannya, masuk ke hutan larangan saja dilarang. Kalau ada yang nekat masuk, apalagi menggarapnya, akan ditangkap.
Kakak saya, sekitar tahun 2005, pernah ditangkap oleh petugas kehutanan atau lebih dikenal dengan sebutan polsus. Dia ditangkap karena dianggap menebang pohon di hutan larangan. Padahal, dia hanya menggesek (menggergaji) pohon yang roboh, bukan menebang pohon. Kendati demikian, dia tetap dikenakan hukuman penjara selama enam bulan.
Saya mengikuti kegiatan di Kantor TNKS di Kota Curup pada 20 – 21 Mei 2017 setelah saya mengikuti pertemuan di rumah Pak Iis (Iis Sugianto) yang membahas tentang hutan pada 14 Mei 2017. Saat mengikuti kegiatan di Kantor TNKS di Kota Curup, saya baru menyadari bahwa hutan TNKS sangat penting bagi kehidupan, penghidupan dan pengetahuan perempuan baik terkait tubuh perempuan dan peran perempuan di rumah tangga, di kebun dan kegiatan sosial keagamaan dan budaya.
Baca juga: Gubernur Rohidin Paparkan Pelibatan Perempuan dalam Menjaga Hutan untuk Ketahanan Lokal
Kerusakan hutan bisa menimbulkan dampak negatif terhadap perempuan. Misal terkait air, bila musim kemarau dan hutan rusak, perempuan bisa mengalami kesulitan untuk mendapatkan air. Padahal, air bukan hanya penting bagi kehidupan (untuk diminum), tapi juga sangat penting bagi perempuan yang sedang menstruasi, hamil dan menyusui. Air juga penting untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah seperti memasak, mencuci dan sebagainya. Selain itu, air juga penting bagi pertanian, dan kegiatan sosial kemasyarakatan seperti rewangan.
Selain menyadari arti penting kelestarian hutan, saya juga mulai menyadari bahwa perempuan mempunyai hak-hak terkait hutan antara lain hak untuk terlibat mengelola kawasan hutan; hak untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu; hak untuk mendapatkan peningkatan kapasitas; hak atas informasi; hak untuk berkomunikasi; dan hak-hak lainnya. Setelah menyadari perempuan memilik hak hak tersebut, saya dan Ibu Rita Wati, Ibu Prisnawati dan Ibu Liswanti bersepakat untuk membentuk kelompok guna memperjuangkan hak-hak. Lalu, pada 9 Juli 2017, saya dan perempuan lainnya berkumpul di Balai Desa Pal VIII untuk musyawarah membentuk KPPL Maju Bersama, dan saya dipercaya menjadi Bendahara KPPL Maju Bersama.
Beberapa minggu setelah terbentuk, KPPL Maju Bersama mengadakan peresmian dengan mengundang banyak pihak antara lain Wakil Bupati Rejang Lebong, Pak Iqbal Bastari, pihak dari Balai Besar TNKS dan lainnya pada 12 Agustus 2017. Selain peresmian, KPPL Maju Bersama mengadakan kegiatan belajar dan praktik membuat pupuk organik. Peresmian dilaksanakan di Balai Desa Pal VIII, sedangkan belajar dan praktik membuat pupuk organik dilakukan di rumah Ibu Prisnawati. Saya tidak mengikuti kegiatan peresmian, saya hanya mengikuti kegiatan belajar dan praktik membuat pupuk organik.
Setelah itu, saya dan anggota KPPL Maju Bersama mulai memperjuangkan hak-hak perempuan terkait hutan. Saat kami berkegiatan di Kantor TNKS di Kota Curup lagi, kami menyampaikan aspirasi kami melalui Ibu Rita Wati. Ada tiga hal yang disampaikan oleh Ibu Rita Wati kepada Pak Zai. Pertama, niat kami untuk terlibat mengelola TNKS dan memanfaatkan potensi hasil hutan di hutan TNKS, kedua, meminta diinformasikan caranya, dan ketiga, meminta agar dikuatkan kapasitas supaya kami bisa terlibat mengelola hutan TNKS dan memanfaatkan potensi hasil hutan di TNKS. Alhamdulillah, pak Zai merespon positif aspirasi kami dengan menawarkan untuk bekerjasama.
Saya pun mulai sering berkegiatan bersama KPPL Maju Bersama dan Balai Besar TNKS. Saya dan pengurus serta anggota, misalnya membuat peraturan kelompok, membuat proposal kerjasama, memilih jenis hasil hutan bukan kayu di hutan TNKS yang akan dimanfaatkan, melakukan pemetaan, menyusun rancangan PKS, RPP dan RKT, menemui Pak Arief dan Pak Tamen, membuat pembibitan, belajar mengolah kecombrang dan pakis, dan lainnya. Setelah berproses, pada 5 Maret 2019, akhirnya KPPL Maju Bersama menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dengan Balai Besar TNKS untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa kecombrang dan pakis. Luas areal kerjasama antara KPPL Maju Bersama dan Balai Besar TNKS adalah 10 hektar.(**)
**) Tulisan ini direpublikasi dari Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan yang penerbitannya didukung Perkumpulan Wahana Pelestarian dan Advokasi Hutan Sumatera (Walestra) dan Perkumpulan Lembaga Kajian, Advokasi dan Edukasi (LivE).