Home » Tokoh » Retno Agustina Ekaputri: Kebijakan Ekonomi Harus Pro Perempuan

Retno Agustina Ekaputri: Kebijakan Ekonomi Harus Pro Perempuan

Bincang Perempuan

Tokoh

Retno Agustina, Kebijakan Ekonomi Harus Pro Perempuan

“KITA selalu berpikir, kenapa petani tidak mendapatkan akses bantuan, padahal dia lah yang paling butuh,” ucap Dr. Retno Agustina Ekaputri, SE, M.Sc pada bincangperempuan.com dalam suatu kesempatan. Dosen sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bengkulu (Unib) ini memang kerap menyoroti permasalahan yang membelit kalangan petani di Indonesia.

Ketertarikannya terhadap bidang ekonomi pertanian sudah dimulainya sejak SMA. Retno remaja senang dengan kegiatan alam dan hubungan dengan masyarakat yang lebih banyak.

“Memang dulunya saya minatnya pertanian, lantas masuk ekonomi dan berkembang menjadi ekonomi pembangunan. Saya tertarik dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat Bappenas. Kementerian Koperasi misalnya tentang kredit untuk petani atau bantuan untuk pembangunan ke daerah,” ceritanya.

Sejak mahasiswa Retno menekuni bidang ekonomi pembangunan, kemiskinan pedesaan dan wilayah. Bahkan pada semester 3, dia bekerja paruh waktu di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan, Universitas Gadjah Mada (UGM).  Tugas yang dia laksanakan adalah membantu untuk survei/enumerator, mempersiapkan seminar rutin bulanan dan menyusun laporan.

Baca juga: Rama Herawati, Perempuan dibalik Universitas Syiah Kuala Bebas Sampah

“Di samping itu saya juga aktif sebagai pengurus di Koperasi Mahasiswa (Kopma) UGM. Melalui kegiatan di PSPK UGM tersebut saya banyak terlibat dengan masalah terkait kemiskinan, usaha mikro dan kecil, serta koperasi. Kegiatan lain yang saya lakukan adalah menjadi asisten dosen dengan mengajar di universitas swasta di Yogyakarta dan di FE UGM sendiri.  Hal ini yang kemudian mendorong minat saya untuk belajar lebih lanjut dan menjadi tenaga pengajar,” kenang Retno. 

Perempuan kelahiran Yogyakarta, 3 Agustus 1962 ini menyelesaikan gelar Sarjana Ekonomi (SE) di Universitas Gadjah Mada tahun 1985, kemudian melanjutkan Master of Science (M.Sc) di The University of Tennessee, Knoxville, TN, USA tahun 1988, lalu meraih gelar Doctor (Ph.D) di The University of Tennessee, Kboxville, TN, USA tahun 1996.

Retno Agustina Ekaputri

Saat ini Retno aktif dalam Regional Network on Poverty Eradication (Renper), SDG Center Unib, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Retno fokus pada bidang keilmuan ekonomi pembangunan.

“Kenapa mengambil ini, jika dirunut ketika mengambil sarjana, dulu ada program Ekonomi Pertanian di Fakultas Ekonomi UGM. Sementara di Pertanian ada Sosial Ekonomi. Bedanya di fokus ekonomi. Saya menyukai di situ, karena ada banyak hal di antaranya suka dengan kegiatannya. Kita dikenalkan betul dengan kegiatan di masyarakat. Misalnya diajak langsung ke sawah, ketika mempelajari tentang kelembagaan koperasi, kita langsung ngikuti koperasi,” ungkap Retno.

Retno pun juga ikut bergabung di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan. Di sana dia melihat langsung, bahwa kebijakan ekonomi untuk masyarakat ini tidak mudah.

“Mudah dalam tataran kebijakan, namun dalam implementasinya mestinya harus fleksibel, harus ada proses. Makanya ketika ada yang menyatakan tidak efektif, artinya ada proses di sana yang tidak dilalui dengan baik. Begitu masyarakat tahu itu bantuan, orientasinya langsung berubah, langsung berebut di sana,”

Retno Agustina Ekaputri

Retno juga aktif melakukan pendampingan kepada unit pengelola kegiatan yang dilaksanakan masyarakat melalui peningkatan produktivitas pertanian. Peningkatan akses permodalan menjadi prioritas kegiatan program. 

“Dalam hal ini saya mengkoordinasi seluruh petugas pendamping lapangan se-Provinsi Bengkulu,” ujarnya. 

Diakui Retno, dua hal (kebijakan dan imlementasi, red) tersebut memang tidak bisa disamakan. Rancangan kebijakan sudah benar, namun pada prosesnya tidak.

“Penyebabnya pun macam-macam. Bisa pendampingnya, atau masyarakat yang tidak paham dengan benar,” lanjutnya.

Di bidang pertanian, Retno menjumpai masih banyak kesenjangan atau praktik ketidakadilan gender. Sebagai akibat membuat kebijakan yang kurang berkaitan dengan partisipasi perempuan dan keadilan gender untuk pelaksanaan program. Sehingga ditingkat pelaksana lapangan ada kesulitan untuk mengimplementasikan program secara lebih berpartisipatif dan berkeadilan bagi perempuan.

Retno Agustina Ekaputri
Retno Agustina Ekaputri

Seperti, dalam hal informasi teknologi pertanian. Perempuan jarang sekali dilibatkan sehingga dalam penguasaan teknologi bidang pertanian, perempuan tertinggal. Akibatnya marjinalisasi, yakni pemiskinan atas perempuan dipastikan terjadi.

“Banyak pekerja perempuan tersingkirkan menjadi miskin akibat program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Berkembang sampai ke sini, pihak laki-laki dan perempuan, saya melihat kebijakan sekecil apa pun itu tetap lebih pro ke laki-laki daripada perempuan,” ujarnya.

Bagaimana mengidentifikasi kebijakan tersebut lebih pro pada laki-laki atau perempuan? Dalam transformasi pertanian, terang Retno, mencontohkan kasus petani padi sawah. Seperti ketika dilakukan transformasi kebijakan menggunakan teknologi handtraktor. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak pro perempuan. Seharusnya, sebelum membuat kebijakan, pembuat kebijakan harus melihat dulu dalam kegiatan pertanian apa saja runtutan kegiatannya. Siapa saja yang terlibat. Termasuk siapa yang dibantu dan membantu.

“Penggunaan handtraktor malah menjadi beban lebih bagi perempuan. Sudahlah perempuan terlibat dari awal pembibitan, menanam hingga mengolah lahan pun harus dilakukan perempuan,”

Retno Agustina Ekaputri

Tak hanya itu, dalam hal mengakses modal usaha dari perbankan. Dikatakan Retno, rata-rata yang mengakses modal adalah petani laki-laki. Petani perempuan kurang mendapat informasi yang memadai mengenai bantuan modal usaha. Selain itu apabila memperoleh informasi, petani perempuan kurang mendapatkan bimbingan dan pendampingan yang memadai. Sehingga kesulitan dalam membuat proposal, menyusun program serta alasan lain yaitu tidak mau repot.

“Beberapa kelompok petani perempuan diketahui kepemilikan usaha masih menggunakan nama suami. Jadi mau apa pun yang dilakukan perempuan harus melewati suaminya. Ini sesuatu yang berat. Di beberapa daerah, perempuan maju ketika kelompoknya perempuan dan pendampingnya mengerti. Namun makin ke sini saya melihat belum ada kebijakan yang benar-benar pro perempuan. Mulai dari akses yang tidak diberikan, misalnya jika ada undangan kegiatan. Coba lihat waktunya, jika berbenturan dengan domestik, perempuannya pasti tidak bisa datang. Akhirnya perempuan tidak dilibatkan, padahal mau terlibat,” beber Retno.

Baca juga: Fonika Thoyib, Tertantang Lakukan Penguatan Literasi Bagi Perempuan dalam Memilih Tontonan

Di sektor pertanian pun, lanjut Retno masih sering terjadi tidak adanya pengakuan terhadap pekerjaan perempuan. Pekerjaan pertanian dianggap sebagai pekerjaan laki-laki. Seberat apa pun perempuan bekerja di ladang, kebun, atau sawah tetap dianggap sebagai pembantu suami.

“Dibutuhkan ‘political will’ dari perempuan-perempuan seperti anggota legislatif untuk mendorong eksekutif membuat kebijakan pro perempuan, sehingga dapat mengurangi kesenjangan gender di bidang pertanian salah satunya,” saran Retno.

Permasalahan lain, menurut Retno, dalam pengupahan. Umumnya ketika perempuan bekerja sebagai tenaga tambahan di bidang pertanian biasanya selalu mendapatkan upah yang lebih rendah daripada laki-laki.

“Masih banyak ketimpangan gender di Indonesia dan kita harus bekerja bersama-sama untuk mengatasinya. Kita harus bersama-sama mendukung pemenuhan dan perjuangan hak-hak kelompok minoritas. Apalagi perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang paling terdampak atas kerusakan ekologis,” ujar Retno yang juga konsultan World Bank Project tahun 2000 – 2005. (betty herlina/eL)

*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Henny Anggraini hakim perempuan

Henny Anggraini: Menjadi Hakim itu, Bekerja dalam Sunyi

Putri Aulia Menyulam Impian sebagai Novelis Muda di Sela-sela Kuliah

Putri Aulia: Menyulam Impian sebagai Novelis Muda di Sela-sela Kuliah

Nani Afrida: Jadi Jurnalis Perempuan Harus Saling Support dan Upgrade Diri

Leave a Comment