Bincangperempuan.com- Adakah yang mengikuti perkembangan isu industri kecantikan di Indonesia? Belakangan ini, jagat TikTok ramai dengan kehadiran “dokter detektif” alias Doktif, serta dokter-dokter lain yang membahas isu kecantikan. Tak hanya itu, sejumlah produsen skincare juga berani mengenakan jas putih menyerupai pakaian dinas dokter untuk meningkatkan kredibilitas mereka.
Industri Kecantikan Indonesia: Pertumbuhan Pesat dan Tantangan
Industri kecantikan di Indonesia berkembang pesat dengan proyeksi nilai pasar mencapai Rp146 triliun pada tahun 2024. Pasar ini mencakup 100.400 salon, 5.000 barbershop, dan 3,97 juta unit ritel yang mendistribusikan produk kecantikan dan perawatan pribadi di seluruh Indonesia.
Angka ini menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu pasar kecantikan paling potensial di dunia, dengan peluang pengembangan industri yang masih sangat luas.
Kecantikan kini tidak hanya sebatas estetika, tetapi juga menjadi bagian dari ekspresi diri dan kepercayaan diri banyak orang. Studi menunjukkan bahwa rata-rata seseorang menggunakan 4-5 produk makeup setiap hari, dan 79% di antaranya merasa lebih percaya diri saat tampil di depan umum dengan riasan.
Baca juga: Rekonstruksi Perempuan dalam Kontes Kecantikan
Kecantikan Bukan Hanya Soal Penampilan Fisik
Pada dasarnya, kecantikan bukan hanya tentang tampilan luar, tetapi juga kesejahteraan mental. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan adalah keseimbangan antara kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.
Data menunjukkan bahwa 4,7 miliar orang di dunia mengalami penyakit kulit dan subkutan, dengan 98% pasiennya mengakui bahwa kondisi kulit mereka memengaruhi kesehatan emosional. Selain itu, 80% perempuan percaya bahwa kondisi rambut mereka secara langsung memengaruhi rasa percaya diri, dan 89% orang meyakini bahwa aroma atau wangi tertentu dapat berdampak pada kesehatan mental mereka.
Mitos Kecantikan dan Industri yang Menjebak Perempuan
Mengutip Jurnal Perempuan dalam bukunya The Beauty Myth: How Image of Beauty Are Used Against Women, Naomi Wolf (2002) mengungkap bahwa perempuan dari berbagai ras di Amerika Serikat dipaksa menghadapi standar kecantikan yang ideal: tubuh tinggi, langsing, berkulit putih, dan berambut pirang.
Wolf menilai bahwa industri kecantikan—yang berada di bawah kendali sistem patriarki—berusaha mengontrol kebebasan perempuan melalui mitos kecantikan. Alih-alih menindas secara langsung, industri ini menciptakan standar kecantikan yang membuat perempuan terus berusaha mengejar kesempurnaan yang tidak realistis.
Di Indonesia, mitos kecantikan ini juga berlaku. Banyak perempuan terjebak dalam definisi kecantikan yang dikomersialisasi oleh industri kecantikan. Akibatnya, mereka kehilangan jati diri dan menjadikan produk kecantikan sebagai “tujuan semu” untuk mendapatkan validasi.
Padahal, kecantikan yang sejati adalah keseimbangan antara kondisi fisik dan batin seseorang. Bukan keseragaman fisik yang bersifat artifisial atau melekat pada produk tertentu.
Baca juga: Queen Bee Syndrome: Fenomena Sosial di Tengah Dominasi Maskulinitas
Apakah Kita Lelah Mencari Validasi Orang Lain?
Sering kali, kita melakukan banyak hal hanya demi mendapatkan validasi dari orang lain. Namun, sampai kapan kita harus terus mengejarnya? Apakah kita tidak lelah? Mungkin kutipan berikut bisa menjadi pengingat untuk lebih mengenali diri sendiri:
Jürgen Habermas dalam bukunya Knowledge and Human Interests mengatakan, “Refleksi diri adalah intuisi sekaligus emansipasi, pemahaman sekaligus pembebasan dari ketergantungan dogmatis.”
Tips Self-Love untuk Perempuan Indonesia
- Jadilah dirimu sendiri dengan gaya, kepribadian, dan pemikiranmu.
- Don’t change yourself just to make someone love you. Be yourself and let the right one fall for you.
- Kamu adalah perempuan yang istimewa, hiduplah sesuai dengan isi hatimu sendiri.
- Jika ingin membandingkan, bandingkan saja dirimu yang kemarin dengan versi terbaik dirimu hari ini.
Choose wisely, love yourself, girls!
Referensi:
- Jurnal Perempuan (2016) : Mitos dan Komersialisasi https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/mitos-dan-komersialisasi-kecantikan-kajian-pemikiran-naomi-wolf