Bincangperempuan.com- “Ketika sesuatu yang buruk terjadi, kita menyalahkan perempuan. Ini adalah mitos lama bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab. Perempuan itu provokatif, itulah sebabnya dia diperkosa. Perempuan itu sombong, itulah sebabnya dia dilecehkan. Dia tidak melakukan X, Y atau Z, dia adalah Ibu yang buruk,” ungkap psikiater forensik Elissa Benedek dari Universitas Michigan seperti dikutip dari The Washington Post
Sindrom menyalahkan perempuan atau dikenal dengan blame the women syndrome, fenomena sosial yang telah lama mewarnai kehidupan masyarakat. Terlepas dari perkembangan zaman, kecenderungan untuk menyalahkan perempuan masih tetap ada dan dapat ditemui dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini meruncing dan memiliki dampak yang meluas dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh nyata yang menggambarkan sindrom ini adalah ketika seorang suami terlibat dalam tindak korupsi, ironisnya, istri lah yang seringkali dijadikan kambing hitam dengan tuduhan “terlalu banyak menuntut.” Publik akan beramai-ramai menelisik gaya kehidupan sang istri, mulai dari model pakaian yang digunakan, hingga brand tas ternama termasuk berapa banyak koleksi perhiasan yang dimiliki.
Hal yang sama juga terjadi ketika suami melakukan perselingkuhan, maka istri lah yang disalahkan karena dianggap tidak mampu melayani suami. Atau ketika suami terjerat minuman keras dan penggunaan obat-obatan terlarang. Hal ini menciptakan tekanan tambahan pada perempuan yang seharusnya tidak bertanggung jawab atas perbuatan suaminya.
Sindrom menyalahkan perempuan merupakan cerminan budaya patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat selama berabad-abad. Kultur masyarakat yang patriarkis selalu menganggap perempuan lemah, tidak mampu, atau bahkan menjadi objek yang dapat disalahkan atas berbagai permasalahan. Budaya ini menciptakan suatu norma yang merendahkan peran perempuan dan memberikan hak istimewa kepada laki-laki.
Norma-norma gender yang telah tertanam selama berabad-abad menjadi dasar bagi sindrom ini berkembang. Peran gender yang terbatas bagi laki-laki dan perempuan menciptakan kondisi di mana perempuan seringkali dianggap bertanggung jawab atas segala bentuk masalah.
Selain itu, stereotip gender juga turut memperkuat sindrom ini. Perempuan sering kali diidentifikasi dengan sifat-sifat yang dianggap lemah, penuh emosi, dan tidak mampu mengambil keputusan rasional. Stereotip ini menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap perempuan, sehingga ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan, perempuan cenderung dijadikan kambing hitam.
Baca juga: Dilema Ketika Ibu Memutuskan Sekolah Lagi
Media ikut berperan
Media memegang peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat. Gambaran perempuan dalam budaya populer seringkali memperkuat stereotip, yang pada gilirannya memperkuat sindrom menyalahkan perempuan. Penting untuk menyadari dampak media dalam memberikan tekanan tambahan pada perempuan yang sudah berada dalam posisi sulit.
Terkadang, media cenderung memberikan sorotan yang tidak proporsional terhadap peran perempuan dalam suatu peristiwa. Misalnya, ketika terjadi konflik atau masalah di masyarakat, media sering kali lebih fokus pada peran perempuan sebagai pemicu masalah, tanpa mengeksplorasi faktor-faktor lain yang mungkin terlibat.
Selain itu, bahasa yang digunakan dalam pemberitaan juga dapat memainkan peran penting. Media sering kali menggunakan kata-kata atau frasa yang merendahkan perempuan atau menunjukkan mereka sebagai objek yang lemah. Hal ini dapat menciptakan citra negatif terhadap perempuan dan memperkuat pandangan bahwa mereka rentan atau tidak mampu.
Stereotip gender yang sering muncul dalam media juga turut memperkuat sindrom menyalahkan perempuan. Perempuan sering kali digambarkan dalam peran-peran tradisional, seperti ibu rumah tangga atau objek seksual, tanpa memberikan ruang untuk menggambarkan keberagaman peran dan kemampuan perempuan dalam berbagai bidang. Media seringkali mengukuhkan norma-norma patriarkis yang telah ada dalam masyarakat.
Selain itu, stereotip yang merendahkan perempuan juga terlihat dalam penggambaran mereka dalam iklan dan program televisi. Perempuan sering dianggap hanya sebatas objek keindahan fisik, bukan individu yang memiliki potensi, kecerdasan, dan kemampuan yang sama dengan pria. Hal ini tidak hanya merugikan perempuan secara langsung, tetapi juga menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap mereka dalam masyarakat.
Baca juga: Ketika Perempuan Sering Terjebak Toxic Relationship?
Dampak sindrom menyalahkan perempuan
Sindrom menyalahkan perempuan memiliki dampak yang cukup serius terhadap individu perempuan maupun masyarakat secara keseluruhan. Salah satu dampaknya adalah terbatasnya ruang bagi perempuan untuk berkembang dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika perempuan selalu dianggap sebagai sumber masalah, mereka akan merasa terhambat untuk berkontribusi secara maksimal.
Selain itu, sindrom ini juga dapat mengakibatkan ketidaksetaraan gender yang lebih luas. Di tempat kerja, misalnya, perempuan sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dalam hal gaji maupun kesempatan untuk mendapatkan promosi. Dari sisi hubungan interpersonal, sindrom menyalahkan perempuan dapat memperburuk kekerasan terhadap perempuan dan merugikan keharmonisan rumah tangga.
Saatnya melakukan perubahan
Untuk mengatasi sindrom menyalahkan perempuan, perubahan perlu dimulai dari berbagai tingkatan masyarakat. Pertama-tama, penting untuk melakukan edukasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya kesetaraan gender. Pendidikan yang mempromosikan kesadaran akan hak dan martabat setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, dapat mengurangi presepsi negatif terhadap perempuan.
Selain itu, media massa juga memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, perlu ada tanggung jawab yang lebih besar dalam menyajikan informasi dan gambaran yang adil terhadap perempuan. Media harus berperan sebagai agen perubahan positif yang memperkuat citra positif perempuan dan memberikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri.
Di tingkat pemerintahan, implementasi kebijakan yang mendukung kesetaraan gender menjadi kunci. Perlindungan hukum terhadap perempuan dan penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan diskriminatif dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi perempuan.
Penting juga untuk melibatkan pria dalam upaya mengatasi sindrom menyalahkan perempuan. Pria sebagai bagian integral dalam masyarakat perlu mendukung perubahan ini dengan menghilangkan stereotip dan norma-norma patriarkis. Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender sejak dini dapat membantu menciptakan generasi yang lebih sadar akan pentingnya keseimbangan dalam hubungan antara pria dan perempuan.(**)