Home » News » Tuntut Pengesahan RUU PPRT yang Sudah Tertunda 21 Tahun

Tuntut Pengesahan RUU PPRT yang Sudah Tertunda 21 Tahun

Bincang Perempuan

News

Aksi Hari Pekerja Rumah Tangga 2025 Tuntut Pengesahan RUU PPRT yang Telah Tertunda 21 Tahun

Bincangperempuan.com- Para Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Jabodetabek turun ke jalan memperingati Hari PRT Nasional yang jatuh setiap 15 Februari. Aksi ini bukan hanya sekadar peringatan tahunan, tetapi juga bentuk perjuangan yang terus digaungkan agar DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang telah tertunda selama lebih dari dua dekade.

RUU ini diharapkan menjadi payung hukum yang melindungi hak-hak PRT serta mengakui mereka sebagai pekerja profesional yang berkontribusi besar bagi ekonomi rumah tangga.

Membawa spanduk bertuliskan “Mendesak Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga”, ratusan PRT melakukan long march dari Jalan Sarinah, Thamrin hingga Patung Kuda, Jakarta.

Aksi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang kondisi PRT yang selama ini masih rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan.

Selain itu, para peserta aksi juga membagikan selebaran informasi kepada masyarakat agar lebih memahami urgensi pengesahan RUU PPRT.

“Sudah 21 tahun kami menunggu, kapan RUU ini akan disahkan? Sudah banyak kasus seperti Sunarsih yang menjadi korban kekerasan,” seru para peserta aksi dengan penuh semangat.

Baca juga: Mangkrak 10 Tahun, Puan, Stop Sandera RUU PPRT

Kasus Sunarsih: Bukti Nyata Kekerasan terhadap PRT

Sunarsih adalah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) yang mengalami penyiksaan hingga meninggal dunia pada 12 Februari 2001. Saat itu, ia baru berusia 14 tahun dan bekerja di Surabaya.

Sunarsih serta empat PRT lainnya mengalami eksploitasi parah, termasuk jam kerja lebih dari 18 jam sehari, upah yang tidak dibayar, makanan tidak layak, hingga pembatasan gerak dan komunikasi.

Sayangnya, meskipun majikannya dijatuhi hukuman empat tahun penjara, vonis itu dikurangi menjadi dua tahun dan tidak dieksekusi. Ini menunjukkan bahwa keadilan bagi PRT masih sangat jauh dari harapan.

Kasus Sunarsih bukanlah satu-satunya. Setiap tahun, banyak PRT yang mengalami kekerasan fisik, psikis, bahkan pelecehan seksual. Namun, karena tidak adanya regulasi yang jelas, mereka kesulitan mendapatkan perlindungan hukum. Inilah mengapa pengesahan RUU PPRT menjadi begitu mendesak.

Tantangan PRT di Indonesia: Perbudakan, Pelecehan, dan Kemiskinan

Menurut pemetaan JALA PRT tahun 2024, kondisi PRT di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Ada empat bentuk kekerasan dan intimidasi yang kerap dialami PRT, yaitu bekerja dalam kondisi perbudakan, dimana PRT sering kali dipaksa bekerja tanpa kontrak yang jelas, jam kerja yang panjang, dan tanpa hak cuti.Kemudian mengalami pelecehan dan kekerasan, masih banyak PRT yang menjadi korban kekerasan fisik dan psikis, serta pelecehan seksual oleh majikan atau anggota keluarga tempat mereka bekerja.

Ketiga, hidup dalam kemiskinan akibat tidak mendapatkan perlindungan sosial. PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan, asuransi tenaga kerja, ataupun akses terhadap tunjangan sosial. Serta rentan menjadi korban perdagangan manusia (trafficking). Tanpa perlindungan hukum yang kuat, PRT mudah menjadi korban eksploitasi dan perdagangan manusia.

Meskipun dunia mulai mengakui pentingnya care work atau kerja perawatan, profesi PRT di Indonesia masih dipandang sebelah mata.

Padahal, mereka berperan penting dalam menopang kehidupan rumah tangga dan ekonomi keluarga majikan. Jika tanpa PRT, banyak keluarga tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari dengan lancar.

PRT Menuntut Pengakuan dan Perlindungan

Dalam aksi tersebut, para PRT mengenakan serbet sebagai simbol alat kerja mereka dan membagikan bunga kepada pengendara sebagai bentuk kampanye kesadaran publik. Serbet melambangkan kerja keras dan dedikasi PRT dalam menjalankan tugas mereka di rumah tangga, sementara bunga adalah simbol penghormatan bagi mereka yang selama ini belum mendapatkan apresiasi yang layak.

“Kerja-kerja kami sebagai PRT sering kali tersembunyi dan tidak diakui, padahal kami merawat rumah, keluarga, dan menciptakan kenyamanan bagi majikan. Sayangnya, pekerjaan kami masih dianggap remeh,” ujar Darsiah, salah satu peserta aksi.

Baca juga: “Mengejar Mbak Puan”, Film Pergulatan Hidup Para PRT

RUU PPRT: Perjuangan yang Belum Usai

Selama periode kepemimpinan DPR RI 2019-2024, RUU PPRT belum juga disahkan. Kini, Koalisi Sipil untuk Pengesahan UU PPRT yang terdiri dari ratusan organisasi dan individu terus memperjuangkan agar rancangan undang-undang ini bisa carry over ke DPR periode baru. Jika tidak, perjuangan akan kembali ke titik nol dan memakan waktu lebih lama lagi.

“Ini adalah tahun ke-21 perjuangan kami. Kami akan terus melakukan sosialisasi kepada anggota DPR RI yang baru dan melobi partai-partai agar mendukung pengesahan RUU PPRT,” tambah salah satu perwakilan Koalisi Sipil.

Dalam peringatan Hari PRT Nasional 2025, para PRT bersama Koalisi Sipil untuk UU PPRT menyampaikan tiga tuntutan utama, pertama DPR RI segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai bentuk penghormatan terhadap kerja-kerja perawatan yang dilakukan PRT, mayoritasnya adalah perempuan.

Kedua, pemerintah mendukung dan mendorong DPR RI agar segera mengesahkan RUU PPRT sehingga PRT mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Serta ketiga, masyarakat luas ikut mendukung pengesahan RUU PPRT sebagai upaya mewujudkan keadilan bagi pekerja rumah tangga serta memastikan mereka mendapatkan hak-hak yang setara dengan pekerja lainnya.

Aksi ini menjadi momentum penting dalam memperjuangkan keadilan bagi PRT di Indonesia. RUU PPRT bukan hanya sekadar undang-undang, tetapi simbol pengakuan terhadap kerja-kerja perawatan yang selama ini diabaikan. Dengan adanya dukungan dari masyarakat, media, serta tekanan politik yang lebih besar, diharapkan RUU PPRT dapat segera disahkan demi masa depan yang lebih baik bagi PRT di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Little Women Kebebasan Perempuan untuk Berdaya

Little Women: Representasi Kebebasan Perempuan untuk Berdaya

Perempuan Menghadapi Ketidakadilan Pembangunan dan Krisis Ekologi

Jawa Barat Tertinggi, Pelaku Femisida Masih Didominasi Suami

Leave a Comment