Home » Tokoh » Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Mahira, Sekolah Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu

Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Mahira, Sekolah Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu

Bincang Perempuan

Tokoh

Sekolah Alam Mahira

HARI itu menunjukkan pukul 10.55 WIB, saya tiba di Sekolah Alam Bengkulu (SAB) Mahira atau lebih dikenal dengan Sekolah Alam Mahira. Cuaca sedikit panas, namun semilir angin yang bertiup membuat suasana terasa sejuk. Banyak pohon besar dan tanaman menghiasi halaman sekolah ini. Penuh nuansa hijau. Saya terlambat hampir 60 menit dari waktu yang dijanjikan. Tiba di halaman sekolah, saya melihat Ummi Atik tengah bercengkrama dengan orang tua yang silih berganti menjemput anak-anaknya.

Perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, apa yang diajarkan itulah yang menjadi masa depannya kelak. Pemikiran itulah yang menjadi dasar perempuan dengan nama lengkap Suprapti ini merintis SAB Mahira sejak tahun 2006. Mengusung cita-cita menjadi sekolah yang membahagiakan untuk semua anak, SAB Mahira mencoba mengubah sekolah menjadi miniatur kehidupan yang tidak hanya natural dan nyata tetapi juga nyaman, ramah, dan memiliki konsep pembelajaran yang berbeda dari sekolah lainnya. Saat ini SAB Mahira telah memiliki 5 unit sekolah, mulai dari Playgroup (PG), Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Awalnya saya ingin membuat sekolah entah apa namanya, saya ingin sekolah yang menyenangkan. Anak-anak tidak senang libur lama-lama, anak-anak tidak senang kalau gurunya tidak masuk. I love Monday,  hari Senin itu ditunggu,  dan itu terjadi di SAB Mahira.  Saya ingin menghadirkan sekolah yang seperti surga,  tidak ada kemarahan semuanya bahagia.  Sekolah tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya anak-anak, namun sekolah juga dapat dijadikan ruang berkreasi dan mengedukasi orang tua tentang pentingnya pendidikan,”

Perlahan, sedikit demi sedikit, mimpi tersebut akhirnya terwujud, meski tak sedikit proses perjuangan yang harus dilewati.  Tahun ini SAB Mahira genap merayakan Milad ke- 15 pada 1 Maret lalu.

“Pernah waktu itu sempat jual kasur dan perabotan rumah bahkan motor saya jual untuk membiayai operasional sekolah termasuk membayar gaji guru. Awal-awalnya berat sekali mengusung konsep sekolah ini.  Tahun kedua sempat ada 1 dari 3 kelas yang ada bubar,  karena orang tuanya tidak menerima konsep yang sekolah ini tawarkan di mana anak-anak belajar sambil bermain,” imbuh Ummi Atik.

Ummi Atik, inisiator Sekolah Alam Mahira
BERDISKUSI : Konsep belajar tidak hanya harus di ruang kelas, namun tak jarang dilakukan di alam. (foto: ist/bincangperempuan)

Terkesan mirip dengan taman bermain dan ruang edukasi. Jauh dari stereotipe sekolah umumnya. Suasana ini yang saya lihat saat Ummi Atik mengajak saya berkeliling sekolah.  Gedung sekolah tidak hanya dinding beton kaku, namun  sebagian ada ruang terbuka, menggunakan atap rumbia yang dimodifikasi dengan seng plat. Ada juga kebun sayuran dan lapangan sepak bola yang luas sekali. Ada juga papan untuk panjat tebing dan playing fox terpasang lengkap dengan tangga dari tali.

Baca juga: Misha Atika, Pelestari Padi Kuning dan Tradisi Perempuan Memanen Secara Bergotong-royong

SAB Mahira menawarkan konsep sekolah yang berbeda dengan sekolah umumnya. Dikatakan Ummi Atik, ada 4 pilar utama yang mendasari SAB Mahira, yakni akhlakul karimah, logika berpikir, leadership dan entrepreneur.  SAB Mahira membentuk jiwa pemimpin dan melatih lifeskill belajar berbisnis dari ahlinya dengan pola pemagangan. SAB Mahira juga banyak melakukan kegiatan luar ruangan, dengan pembelajaran bermain dan berpetualangan di alam terbuka.

“Anak-anak di SAB Mahira diajari untuk menjadi entrepreneur dan memiliki life skill praktis. Tidak hanya teoritis semata, namun mereka memiliki keterampilan hidup. Soal pelajaran sama seperti sekolah umum lainnya, kami menggunakan kurikulum K13 dan dipadukan dengan konsep sekolah alam yang Islami. Kegiatan utama berupa ibadah membaca Al-Quran dan hadis tetap dilakukan pada jamnya,” katanya.

Sekolah Alam Bengkulu (SAB) Mahira
INISIATOR : Ummi Atik, menginisiasi sekolah alam Entrepreneur dan inklusi pertama di Bengkulu. (foto : ist/bincangperempuan)

Di SAB Mahira, lanjut Atik,  setiap anak menghapal 1 ayat per harinya. Sehingga ketika selesai SD, anak-anak rata-rata khatam juz 30. “Kita tidak punya targetan, minimal 1 hari 1 ayat, jadi jika setahun ada 365 dan bila hari efektif sekolah ada 261 hari artinya anak-anak ini hapal 261 ayat, bayangkan itu sudah berapa surat,” lanjutnya.

Cukup unik, saya tidak menemukan anak-anak dengan seragam sekolah di sini. Semua anak-anak berpakaian muslim bebas dan rapi. “Apa sih tolak ukurnya hebatnya harus pakai seragam? Mindset seragam ini harus diubah,  tidak bisa menjadi tolak ukur  yang penting akhlak, ketika anak bisa bilang maaf, terima kasih itu yang paling penting. Di sini kami mendisiplinkan anak- anak dengan waktu salat, di sini syaratnya hanya dua, tinggalkan semua aktivitas saat masuk jam salat dan waktunya hafalan Al-Quran serta tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain,” papar Ummi Atik.

Sekolah Alam Mahira Sekolah Inklusi

Sejak awal berdiri, SAB Mahira sudah membuka pendaftaran untuk anak-anak berkebutuhan khusus atau disabilitas. Secara khusus tahun 2008, SAB Mahira mendeklarasikan diri menjadi sekolah inklusi dan pertama kali menerima anak-anak disabilitas. SAB Mahira memberikan kesempatan belajar yang sama bagi anak-anak disabilitas.

“Anak-anak disabilitas kami tempatkan di ruang belajar yang sama dengan anak-anak regular. Mereka Belajar sama. Hanya saja untuk anak-anak disabilitas diberikan satu guru pendamping khusus untuk membantu proses belajarnya,” kata Ummi Atik.

Memberikan ruang belajar yang sama bagi anak-anak disabilitas, lanjut Ummi Atik membuat tumbuh kembang anak-anak disabilitas menjadi pesat dan lebih baik, karena anak-anak disabilitas biasa bersentuhan dan berinteraksi dengan anak-anak reguler.

Baca juga: Irna Riza Yuliastuty, Berjuang untuk Kesetaraan Disabilitas

“Anak-anak disabilitas tumbuh kembangnya jadi bagus, karena melihat perkembangan anak-anak yang normal. Bahkan ada anak Mahira yang berkebutuhan khusus saat ini sudah diterima di universitas,” terangnya.

Proses belajar yang bergabung tersebut, kata Ummi Atik menjadikan anak-anak reguler belajar menerima semua perbedaan sebagai hasil karya Allah. “Tidak ada karya Allah yang gagal, yang ada adalah orang- orang yang gagal paham. Karena semua karya Allah akan selalu menjadi Maha Karya. Pendidikan ini hak setiap anak termasuk anak anak inklusi dan penting kita ajak anak-anak reguler untuk lebih peduli dengan  anak-anak special need agar kecerdasan mereka pun semakin bertambah,” pungkasnya. (bettyherlina)

*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Nandina Putri, Ajak Anak Muda Bengkulu Peduli Budaya 

Perempuan Pejuang Sampah Plastik di Indonesia

Wahyu Widiastuti, Pentingnya Penguatan Pendidikan Politik Perspektif Gender

Leave a Comment