Home » Gaya Hidup » Hubungan » Waithood: Fenomena Perempuan Milenial Menunda untuk Menikah

Waithood: Fenomena Perempuan Milenial Menunda untuk Menikah

Yuni Camelia Putri

Hubungan

Waithood Fenomena Perempuan Milenial Menunda untuk Menikah

Bincangperempuan.com- Tekanan ekonomi yang menghantam generasi milenial di Indonesia menjadikan mereka sungkan untuk menikah. Pernyataan ini seolah dinilai salah padahal kenyataannya, fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Kebanyakan dari mereka yang menunda untuk menikah adalah golongan perempuan yang harus menopang perekonomian keluarga atau melihat kenyataan pahit berumah tangga.

Bagi perempuan milenial, pernikahan dapat dilakukan apabila kedua pihak memiliki kesiapan finansial. Penikahan tidak hanya sebatas ibadah, seks, memenuhi kebutuhan emosional, atau tuntutan sosial. Bagi perempuan milenial, mereka yang ingin menikah harus memiliki rumah, tabungan untuk pendidikan anak, dana darurat, dan lainnya. Belum lagi, sebagian besar perempuan memilih untuk melanjutkan pendidikan sebelum menikah. Kondisi ini semakin mendorong perempuan untuk menunda pernikahan karena ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.


Apa Itu Waithood?

Waithood adalah fenomena yang mengacu pada fase di ketika perempuan memilih untuk menunda pernikahan atau membentuk keluarga, sering kali karena berbagai faktor seperti mengejar pendidikan, karier, atau kemandirian finansial.

Pertama kali diperkenalkan oleh seorang Profesor American University bernama Siane Singerman pada akhir tahun 2007. Berdasarkan risetnya, ia menemukan bahwa generasi muda di Timur Tengah memilih untuk menunda menikah karena kondisi finansial yang belum baik. Fenomena ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Marcia Inhorn dari Yale University yang menemukan bahwa generasi muda memilih untuk menunda pernikahan terutama perempuan dan kaum berpendidikan.

Baca juga: Hal yang Jarang Diketahui Tentang Orgasme

Waithood kemudian menyebar ke seluruh dunia dan dianggap normal pada abad ke-21. Ketakutan atas krisis ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kesalahan dalam mendidik anak menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri. Belum lagi, kultur patriarki yang masih kental di Indonesia menyiksa perempuan dalam pekerjaan, hubungan, dll. Selain itu, kultur keagamaan yang terkadang salah diartikan dalam hubungan telah mendorong perempuan untuk tidak menikah.

Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami tren penurunan pernikahan secara tajam dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2022, pernikahan nasional hanya terjadi sebanyak 1,7 juta pernikahan. Sementara itu, daya dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional mengungkapkan bahwa usia perempuan menikah berada diatas 22 tahun. Selain itu, rata-rata perempuan hanya melahirkan satu anak perempuan saja. Keseluruhan kondisi ini disebabkan oleh pergeseran persepsi perempuan muda tentang pernikahan dan kualitas hidup pasca menikah.

Dirangkum dari penelitian yang dilakukan oleh Musahwi tentang fenomena resesi seks di Indonesia dan penelitian dari Syifa Agistia Putri terkait fenomena perempuan menunda menikah menemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perempuan milenial memilih untuk menunda pernikahan.


Fenomena Waithood dan Generasi Sandwich

Generasi sandwich menjadi faktor terbanyak yang membuat perempuan milenial memilih untuk menunda pernikahan. Menurut T Broady (2019), generasi sandwich merupakan individu yang membagi hartanya kepada anak dan orang tua yang telah memasuki usia lanjut. Tidak hanya itu, terkadang generasi sandwich harus menjadi menghidupi anak, orang tua, dan saudara sebagai bentuk tanggung jawab dan balas budi terhadap keluarga.

Perempuan generasi sandwich harus dituntut untuk bertanggung jawab terhadap masa depan adiknya, membayar keperluan rumah tangga, membayar asuransi kesehatan, dll. Situasi ini memaksa perempuan untuk menghasilkan banyak uang agar dapat menghidupi keluarganya dengan layak. Kondisi ini menyebabkan perempuan lebih memprioritaskan keluarga daripada keinginan untuk menikah dengan pasangannya. Hal ini seolah menjadi tekanan yang harus diterima perempuan didalam hidupnya.


Mengejar Karier dan Pendidikan

Karier dan pendidikan menjadi dua hal yang diprioritaskan oleh perempuan milenial. Pendidikan dan karier yang layak membantu perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang diinginkannya. Bagi perempuan milenial, pendidikan yang tinggi dapat memperbesar peluang mereka dalam meraih karier yang diinginkan. Keberhasilan mereka dalam mendapatkan karir yang layak dapat menjadi wadah untuk memperoleh identitas yang disegani oleh masyarakat. Untuk itulah, mereka memandang jika karier dan pendidikan lebih menguntungkan daripada pernikahan.

Kesibukan atas pekerjaan dan pendidikan memang tampak melelahkan. Namun siapa sangka, dua hal ini menjadi sumber kebahagian bagi para perempuan milenial. Belum lagi lingkungan kerja dan belajar yang mendukung mereka untuk berekspresi dan mengeksplorasi banyak hal baru, pernikahan seolah menjadi hal yang tak penting untuk diperjuangkan di kehidupan mereka.  Kondisi ini juga didukung oleh laporan dari Badan Pusat Statistik di tahun 2021 yang menunjukkan bahwa 10,06 % perempuan berusia 15 tahun keatas memiliki ijazah perguruan tinggi.

Baca juga: Fair Play: Potret Patriarki dan Misogini yang Dihadapi Perempuan

Keuntungan ini dimanfaatkan oleh perempuan milenial untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi yang dapat memberikan kebebasan atas kehidupannya. Hal ini turut mendorong perkembangan waithood pada perempuan milenial di Indonesia.

Sulit dalam menemukan pasangan yang tepat

Setiap orang menginginkan pasangan yang dapat menjadi teman dan keluarga di segala kondisi. Sulitnya menemukan pasangan yang tepat di masa sekarang telah mendorong perempuan untuk menunda pernikahan. Hal ini dikarenakan perempuan harus mengenal lebih jauh tentang sosok laki-laki yang akan menjadi pasangannya.

Kesalahan dalam memilih pasangan akan mengantarkan perempuan kedalam ‘neraka pernikahan’ yang akan menyiksa kehidupannya. Tentu saja, tidak ada satupun perempuan yang menginginkan hal ini terjadi. Selain itu, kebanyakan perempuan menginginkan pernikahan bersifat seumur hidup dengan pasangannya. Belum lagi kehadiran anak ditengah pernikahan dapat menjadi pertimbangan berat ketika perempuan yang tersiksa dengan pasangannya ingin mengakhiri pernikahannya. Hal inilah yang menjadikan pertimbangan besar bagi perempuan milenial untuk menunda pernikahan di usia muda.


Identitas masyarakat di era digital

Kehadiran teknologi telah mempengaruhi identitas masyarakat terutama perempuan dalam mengekspresikan dirinya. Teknologi menghadirkan digitalisasi yang mempengaruhi kebebasan perempuan untuk memilih peran di kehidupannya sekaligus mendobrak stereotip gender yang mengikat kebebasan perempuan selama ini.

Digitalisasi telah memperluas pengetahuan perempuan sehingga mereka dapat dengan mudah memegang kontrol atas kehidupan dan diri sendiri. Kemajuan ini membantu perempuan untuk hidup lebih mandiri dan terbuka atas pilihan hidupnya termasuk pilihan untuk menunda atau tidak menikah sama sekali.

Meskipun terdengar menguntungkan, digitalisasi menyebabkan perempuan semakin dilema karena kemunculan banyak perspektif yang memaksa perempuan menjadi sosok yang sempurna. Hal ini dapat menciptakan krisis identitas terhadap perempuan yang dapat menganggu kehidupannya. Pada akhirnya, keputusan mereka untuk menunda pernikahan dapat menjadi keuntungan atau boomerang apabila hanya berpaku pada perspektif yang berkembang di era digital. Hal yang perlu diingat bahwa perspektif yang mempengaruhi identitas masyarakat di era digital belum tentu mengakhiri kultur patriarki yang sudah ada.


Trauma atas Perceraian dan KDRT

Trauma atas perceraian dan KDRT yang dirasakan oleh perempuan milenial menjadi penyebab mereka untuk menunda pernikahan. Lho, kok bisa? Trauma ini muncul karena semasa hidupnya, perempuan dihadapkan oleh fakta bahwa istri harus patuh dengan suami sehingga melanggengkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya, mereka mendapati ayah atau saudara laki-laki mereka melakukan kekerasan fisik dan verbal kepada ibu, saudara perempuan, atau diri sendiri. Belum lagi perceraian di antara orang tua yang memaksa mereka untuk dewasa dalam menjalani kehidupan yang tidak diinginkan. Kondisi ini memunculkan trauma terhadap perempuan milenial sehingga mereka menunda atau enggan untuk menikah.

Studi yang dilakukan oleh banyak pakar hubungan dan pernikahan menemukan bahwa kekecewaan terhadap suatu hubungan pernikahan menjadi alasan terbesar bagi perempuan milenial untuk pernikahan. Selain itu, pakar feminisme menilai jika pernikahan kerap kali menjadi wadah untuk melanggengkan budaya patriarki yang menyudutkan perempuan dalam berbagai hal. Pada akhirnya, perempuan milenial menilai jika pernikahan dapat memungkinkan terjadinya KDRT dan perceraian dinilai sama dengan menerjunkan diri ke dalam lubang permasalahan yang akan menghambat mereka untuk berkembang dan bahagia.(Yuni Camelia Putri/eL)

Sumber:

  • Musahwi, M., Anika, M. Z., & Pitriyani, P. (2022). Fenomena resesi seks di Indonesia (Studi Gender Tren ‘Waithood’ Pada Perempuan Milenial). Equalita: Jurnal Studi Gender dan Anak, 4(2), 204-220.
  • Putri, S. A. (2022). Fenomena Menunda Pernikahan Pada Perempuan (Bachelor’s thesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Jangan Trauma Menikah

Komunikasi Keuangan dalam Relationship

Low Maintenance Friendship

Low Maintenance Friendship, Baik atau Buruk?

Leave a Comment