Home » News » Women Rage: Mengapa Kemarahan Perempuan Sering Diabaikan?

Women Rage: Mengapa Kemarahan Perempuan Sering Diabaikan?

Ais Fahira

News

Women Rage Mengapa Kemarahan Perempuan Sering Diabaikan

Bincangperempuan.com- Pernah mendengar istilah women rage? Istilah ini merujuk pada kemarahan yang diekspresikan oleh perempuan, yang sering kali dianggap berlebihan atau terlalu emosional. Namun, benarkah kemarahan perempuan hanya soal emosionalitas semata?

Women Rage, Marah yang Beralasan

Menurut berbagai sumber, women rage mengacu pada kemarahan yang kuat akibat tekanan yang dialami oleh perempuan. Tekanan ini berasal dari ketidaksetaraan sosial, diskriminasi gender, dan pengalaman pribadi tentang penindasan. Kemarahan ini dapat terwujud sebagai ekspresi frustasi yang kuat dan keinginan untuk berubah. Selain itu, women rage juga merupakan respons terhadap pembungkaman atau ketidakabsahan yang muncul akibat stereotip gender tentang emosionalitas perempuan.  

Sepanjang sejarah, suara perempuan sering kali dipinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka dikecualikan dari proses pengambilan keputusan, baik di ranah publik maupun privat. Perspektif, pendapat, dan keahlian mereka kerap diabaikan, sehingga membatasi pengaruh mereka dalam membentuk kebijakan, hukum, serta norma sosial. Selain itu, berbagai norma sosial, ajaran agama, dan aturan hukum telah digunakan untuk membungkam perempuan yang berani berbicara atau menentang sistem yang ada. Perempuan yang menunjukkan kemarahan sering kali distigmatisasi sebagai tidak rasional atau tidak kompeten.  

Menurut sebuah artikel di Women’s Studies International Forum, women rage bukan hanya bentuk ekspresi emosional, melainkan respons yang sah terhadap ketidakadilan sistemik dan penindasan berbasis gender. Kemarahan ini mendorong individu untuk bertindak dan menuntut perubahan. Sayangnya, dalam tradisi filsafat politik yang dominan, rasionalitas dan pengendalian diri lebih diutamakan, sementara emosi sering dianggap sebagai hal yang menghambat objektivitas. 

Padahal women rage memiliki alasan yang struktural. Studi yang diterbitkan di PubMed meneliti 29 perempuan berusia 21 hingga 66 tahun dari berbagai latar belakang profesi. Penelitian ini menemukan bahwa kemarahan perempuan bukan sekadar luapan emosi, melainkan akumulasi dari berbagai perasaan seperti luka, frustrasi, dan kekecewaan akibat pelanggaran terhadap nilai-nilai inti diri mereka. Kemarahan ini dipicu oleh perlakuan tidak adil, kurangnya penghormatan, serta ketidakseimbangan dalam relasi. 

Ketika kemarahan mereka ditekan, perempuan merasa tidak berdaya, tetapi saat diekspresikan dalam bentuk ledakan emosi, mereka tetap mengalami perasaan kehilangan kendali. Namun, di sisi lain juga mengungkap bahwa perempuan merasakan kekuatan ketika kemarahan digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam hubungan sosial.  

Baca juga: Kenapa High Value Women Lebih Banyak Bersinar Saat Ini?

Women Rage dalam Budaya Populer

Women rage kini banyak tercermin dalam budaya populer. Film seperti Pearl (2022) mengisahkan seorang perempuan dengan impian besar yang terhalang oleh lingkungan dan norma sosial. Pearl bercita-cita menjadi penari, tetapi tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya maupun masyarakat sekitarnya. Kegagalan serta kurangnya empati dari orang-orang di sekitarnya memicu kemarahan yang mendalam, yang akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan. Meskipun film ini bergenre sadis, kisahnya mencerminkan realitas banyak perempuan yang aspirasinya ditekan oleh sistem sosial.  

Selain Pearl, ada Amy Dunne dari Gone Girl (2014), seorang perempuan yang menghadapi tekanan ekspektasi sosial dalam pernikahannya. Amy dipaksa untuk menjadi “cool girl” yang selalu sempurna bagi suaminya, tetapi ketika ia merasa dikhianati, kemarahannya berubah menjadi manipulasi ekstrem. Gone Girl menunjukkan bagaimana perempuan sering kali dipaksa menekan kemarahan mereka agar tetap sesuai dengan norma sosial. Ketika mereka akhirnya mengekspresikannya, mereka malah dianggap gila atau berbahaya.  

Baca juga: UN Women Indonesia: Embrace Equality, Inklusivitas Untuk Disabilitas

Mengapa Kemarahan Perempuan Sering Diabaikan?

Walau sudah mulai populer, kemarahan perempuan atau women rage masih diabaikan. Ada anggapan bahwa perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki, sehingga ketika mereka marah, hal itu dianggap sebagai ledakan emosi yang tidak rasional. Namun, pandangan ini perlu ditinjau ulang. Mary Wollstonecraft, dalam karyanya A Vindication of the Rights of Woman (1792), berargumen bahwa perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat melalui domestikasi dan peran domestik yang membatasi perkembangan intelektual serta emosional mereka. Ia menegaskan bahwa jika laki-laki ditempatkan dalam “sangkar” yang sama seperti perempuan, mereka pun akan mengembangkan sifat-sifat yang sama.  

Selain itu, tidak ada bukti ilmiah bahwa perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Sebuah studi dalam Scientific Reports tahun 2021 meneliti fluktuasi emosi pada 142 laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi laki-laki mengalami perubahan yang sama banyaknya dengan perempuan. Ini membuktikan bahwa perbedaan emosi antara gender lebih banyak berasal dari konstruksi sosial daripada faktor biologis.  

Artinya, ekspresi emosi lebih banyak dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan budaya yang menetapkan norma-norma gender tertentu. Budaya patriarki sering kali menggambarkan perempuan sebagai lemah dan subordinat, sementara laki-laki dianggap dominan dan kuat. Dalam konteks ini, kemarahan perempuan menjadi ancaman terhadap tatanan patriarki, sehingga dikategorikan sebagai sesuatu yang berlebihan atau tidak pantas.  

Menariknya, konsep women rage tidak hanya eksklusif bagi perempuan. Laki-laki juga bisa mengalami kemarahan yang serupa akibat tekanan patriarki yang membatasi ekspresi emosi mereka. Sistem patriarki sering kali melarang laki-laki untuk menunjukkan kelemahan atau emosi seperti kesedihan, yang dapat menyebabkan frustrasi dan kemarahan yang terpendam. Dengan demikian, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama menjadi korban dari sistem yang mengekang kebebasan emosional mereka.  

Pada akhirnya, women rage adalah bentuk dari ketidakpuasan terhadap ketidakadilan gender dan penindasan yang dialami perempuan dalam masyarakat patriarki. Amarah perempuan bukan hanya masalah emosionalitas, tetapi juga bentuk perlawanan yang sah terhadap struktur sosial yang mengekang. Memahami dan menghargai kemarahan ini adalah langkah penting menuju kesetaraan gender yang lebih adil.  

 Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Pendidikan Membaik,Namun Kesenjangan Kerja Perempuan Tetap Nyata

Nobar “Aku Penggerak Mimpi” Warnai Perayaan IWD Bincang Perempuan Circle

Keperawanan Mitos yang Menghantui Perempuan

Selaput Dara, Mitos Keperawanan yang Menghantui Perempuan

Leave a Comment