Bincangperempuan.com– Saat trailer-nya keluar, ada banyak hal yang ditampilkan dengan menjanjikan oleh Sehidup Semati (2024). Dimulai dari terang-terangannya film ini menyinggung soal isu perempuan dan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), Laura Basuki yang aktingnya terlihat makin sulit diragukan, Ario Bayu yang tampil sangat kontras jika kita bandingkan dengan perannya di Gadis Kretek (2023), hingga kehadiran Asmara Abigail yang perannya sangat mencuri perhatian. Terlebih kalau kita melihat treatment sinematografinya, sayang rasanya jika melewatkan film ini di bioskop. Lantas, ketika tayang pada 11 Januari lalu, sampai sejauh mana Sehidup Semati membuat penontonnya tepuk tangan kagum?
Angkat Isu KDRT dan Patriarki tanpa Tedeng Aling-Aling
Tidak ada kompromi soal KDRT dalam Sehidup Semati. Film ini bisa dikatakan merupakan perwujudan kemarahan terhadap mereka-mereka yang abai terhadap KDRT. Dengan blak-blakan dan tanpa eufemisme sama sekali, Sehidup Semati menunjukkan dengan sejujurnya “neraka” yang dirasakan oleh korban KDRT yang mayoritasnya adalah perempuan.
Neraka pertama yang diperkenalkan oleh Sehidup Semati adalah menunjukkan bagaimana doktrin patriarki yang sering menjadi pembenaran atas terjadinya KDRT langgeng lewat tokoh agama. Sedari kecil, Renata (Laura Basuki) sudah dijerat oleh paham-paham patriarki dan misoginis yang dalihnya mengatasnamakan agama. Ia yang masih kecil itu melihat dengan sejelas-jelasnya saat ayahnya memukuli ibunya. Karena Hawa diciptakan oleh Tuhan dari tulang rusuk Adam, maka derajat perempuan lebih rendah daripada laki-laki, begitulah narasi yang ditekankan bagai kaset rusak oleh pendeta di gereja tempat Renata beribadah. Apa yang dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia, ayat Alkitab yang tertanam sepanjang Renata tumbuh tanpa sempat ia diberi kesempatan untuk menafsirkannya lebih lanjut.
Balasan dari kesabaran seorang istri adalah surga, kata ibunya kepada Renata setelah dibuat babak belur oleh suaminya sendiri. Ibu Renata sendiri juga termasuk korban dari doktrin dan juga dogma agama yang dipelintir menjadi patriarkis nan misoginis, maka tidak ada yang bisa Renata lakukan selain terpaksa mewarisi kekerasan intergenerasi. Tafsir agama, dalam film ini dan sebetulnya juga kerap kali bisa kita jumpai di sekeliling kita, disalahgunakan sebagai pembenaran untuk menyakiti manusia lainnya, untuk memuaskan ego tersendiri. Akibat itu, tingkat kekerasan terhadap perempuan pun meningkat. Kejadian ini persis seperti yang diutarakan oleh Perwakilan Tokoh Agama Islam, Nur Rofiah. Padahal, semestinya, tokoh agama berperan sebagai tempat teraman bagi unsur-unsur dalam keluarga untuk dapat merasa didukung, dipahami, dan dilindungi.
Neraka selanjutnya yang dipertontonkan oleh Sehidup Semati adalah ketika kita sebagai penonton mulai diajak masuk ke lingkaran setan yang menjerat kehidupan Renata sebagai korban KDRT. Mulanya, kita diperlihatkan Renata yang hampir selalu bangun pagi dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Renata juga, meski tampak sering memasak menu empat sehat lima sempurna, tubuhnya ringkih dan terlihat sangat kurang sehat. Bukan hal yang sulit untuk mengetahui bahwa Renata mengalami kekerasan fisik dari Edwin, suami Renata yang diperankan oleh Ario Bayu. Edwin jelas juga melakukan kekerasan emosional terhadap Renata. Edwin melarang Renata keluar rumah dan bersosialisasi dengan tetangga sekitar. Ia juga merendahkan Renata ketika istrinya itu tampil berbeda untuknya, dalam hal ini berpenampilan lebih seksi dari sebelumnya.
Lewat akting cemerlang Ario Bayu dan Laura Basuki, kita bisa turut merasakan bagaimana terpojok dan terhimpitnya Renata karena kehadiran Edwin, suaminya sendiri, yang terlalu mengontrol dan mendominasi. Sehidup Semati memperlihatkan betapa timpangnya relasi kuasa antara Renata sebagai istri dan Edwin sebagai suami. Film ini memang tidak terang-terangan mengenalkan secara harfiah kepada penontonnya tentang apa itu relasi kuasa, melainkan membuat kita merasa terusik dengan apa yang sebenarnya menghancurkan hubungan suami istri yang dijalin oleh Renata dan Edwin.
Baca juga: Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Mahira, Sekolah Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu
Melihat dari gerak-gerik Edwin yang sebetulnya berani memperlihatkan bahwa ia berselingkuh dari Renata: seperti tidak membiarkan Renata masuk ke ruang kerjanya, chatting-an saat makan bersama Renata, menyadari bahwa Renata takut kepadanya, dan parahnya sampai mengontrol jumlah obat yang masuk ke dalam mulut Renata; tokoh yang diperankan oleh Ario Bayu itu sebetulnya sangat sadar dan paham akan Renata yang menjadi korban dari paham patriarki. Kasus Edwin ini berbeda dibandingkan dengan yang lainnya. Misalnya, sebagai pelanggeng patriarki, maka pendeta dan ayah Renata berakhir sebagai pelaku. Atau, sebagai yang dipaksa terjebak dalam paham patriarki, Renata dan ibunya pun berakhir menjadi korban. Dan, inilah poin pentingnya: Edwin memanfaatkan Renata yang terjebak dalam paham patriarki.
Dengan kata lain, suami Renata itu bisa memilih secara sadar ingin berperan sebagai pelanggeng atau pemutus patriarki. Kita tahu sekali Edwin berakhir sebagai apa dalam film ini, yaitu sebagai pelaku. Dan, inilah neraka utama dalam Sehidup Semati. Neraka yang mungkin baru terungkap setelah kita selesai menonton film ini. Akar masalah dalam Sehidup Semati sebetulnya bukan tentang KDRT yang dilakukan oleh Edwin dan ayah Renata. Ada hal yang jauh lebih mengerikan yang ingin dikenalkan oleh film ini kepada penontonnya, yaitu lingkungan yang mendukung serta memanjakan KDRT dan itu semua berakar dari patriarki, di mana kontrol, dominasi, dan penindasan terhadap perempuan sering kali diperbolehkan dan bahkan dimuliakan.
Tidak berhenti sampai di situ, Sehidup Semati juga betulan memperlihatkan dampak dari lingkungan yang mendukung dan memanjakan KDRT. Renata sebetulnya ingin membebaskan dirinya dari belenggu KDRT yang dilakukan oleh Edwin. Ia bahkan sudah di tahap memutuskan ingin bercerai dengan Edwin. Namun, bukannya didukung dan dilindungi, Renata harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa keluarganya, terutama ibunya, melarang ia untuk bercerai. Ibu Renata masih berpegang teguh pada doktrin patriarkis nan misoginis dengan dalih patuh pada aturan agama, sementara saudara laki-lakinya terjangkit sindrom menyalahkan perempuan. Dan, inilah lingkaran setan KDRT akibat budaya patriarki yang ingin ditunjukkan kepada penonton oleh Sehidup Semati. Pelaku yang mendukung KDRT terhadap Renata bertambah, sementara Renata sendiri tidak dibiarkan menyelamatkan dirinya sendiri.
Menyesakkannya lagi, dalam tanda kutip benar-benar sesak karena memuakkan, pengambilan angle kamera yang sering melakukan teknik close-up yang tepat menyorot wajah, membuat kita turut merasakan berbagai emosi yang dirasakan oleh Renata, terutama sepanjang Edwin melakukan KDRT kepadanya. Perasaan ngeri, takut, marah, bingung, sedih, kecewa, gelisah, panik, lewat akting cerdas Laura Basuki dan juga teknik pengambilan angle tersebut, seolah memaksa kita sebagai penonton untuk turut satu sepatu, satu kondisi yang sama dengan Renata. Selain itu, camera movement yang diterapkan berulang-ulang dalam film ini, yaitu adegan ketika kamera berada di dalam mesin cuci yang berputar-putar dengan Renata yang tengah menatap kosong ke dalamnya. Hal itu semakin mengukuhkan kondisi Renata yang terjebak dalam lingkaran setan KDRT.
Pada akhirnya, jika melihat segala treatment yang diberikan, termasuk dari segi teknis maupun isu yang diangkat, Upi Avianto selaku sutradara dan juga penulis naskah sangat berhak dimeriahkan oleh tepuk tangan kagum. Akan tetapi, penghargaan terhadap Sehidup Semati hanya sebatas pada dua hal itu saja.
Dosa Sehidup Semati: Masih Merawat Racun, Mengkhianati Cerita Sendiri
Sejujurnya, Sehidup Semati memiliki dosa yang sangat krusial. Permata Adinda dalam ulasannya menyebutkan bahwa ada benang tipis dalam sebuah produk budaya, yaitu apakah ia membawa percakapan baru, atau sekadar mengeksploitasi isu?
Ada beberapa minimal syarat sekiranya sebuah produk budaya bisa dikatakan, setidaknya, tidak sekadar mengeksploitasi isu: peka terhadap pengalaman korban kekerasan di dunia nyata yang secara bersamaan tidak mengabaikan faktor sistemik yang turut mendukung langgengnya kekerasan tersebut, serta tidak mengaburkan pengalaman korban karena penggunaan eufemisme. Meminjam pertanyaan dari Adinda, lantas Sehidup Semati sudah bisa disebut sebagai apa?
Seandainya tokoh Asmara yang diperankan oleh Asmara Abigail tidak ada, mudah untuk sepakat bahwa Sehidup Semati, paling tidak, tidak mengeksploitasi isu. Mari kita bedah satu-satu. Dari analisis sebelumnya, sepertinya untuk sementara kita bisa sepakat bahwa Sehidup Semati tidak mengaburkan pengalaman korban karena eufemisme, tidak pula malu-malu menguliti faktor-faktor sistemik yang mendukung terjadinya KDRT, yaitu doktrin budaya patriarki dan dogma agama yang dipelintir. Namun, bagaimana dengan peka terhadap pengalaman korban kekerasan di dunia nyata?
Selaku sutradara dan penulis naskah, Upi menyebutkan dalam wawancaranya bahwa selain ingin mengutuk KDRT dan perselingkuhan, ia juga ingin mengenyahkan pandangan bahwa perempuan lemah dan wajib menurut. Lewat filmnya, ia ingin pula menunjukkan bahwa support system sangatlah serius dibutuhkan untuk perempuan yang bernasib seperti Renata. Maka dari itu, ia pun menghadirkan tokoh perempuan bernama Asmara yang diperankan oleh Asmara Abigail.
Asmara hadir sebagai antitesis Renata. Lebih bebas, tidak terkekang, dan berani. Tiga sifat yang, pada awal film, tidak melekat pada Renata. Asmara, seperti yang diniatkan oleh penulis sekaligus sutradaranya, datang sebagai support system untuk Renata. Pun, mengenal Asmara, bagi Renata, berarti turut berjabat tangan dengan sifat-sifat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Karena Asmara, Renata mulai lebih bebas tersenyum, tidak terkekang untuk mencoba hal baru, dan berani membuat keputusan tanpa rasa takut. Meskipun Asmara datang dengan mendadak dan tidak alami, yang tentu bisa dimaklumi karena genre film ini adalah psychological thriller, pertemanan mereka cukup manis dan potensial untuk dikembangkan sebagai representasi female friendship dengan warna yang berbeda, terutama di genre ini. Namun, sangat disayangkan, rupanya Upi tidak melirik hal ini. Dan, sampailah kita pada penjabaran dosa film Sehidup Semati.
Baca juga: Misha Atika, Pelestari Padi Kuning dan Tradisi Perempuan Memanen Secara Bergotong-royong
Sehidup Semati, dengan gaya penceritaan yang sebetulnya cukup membingungkan, memberikan ending yang mengarahkan penontonnya pada, setidaknya, dua interpretasi cerita. Pertama, tokoh Asmara betulan orang nyata dan hidup. Kedua, Asmara tidak nyata dan hanya sekadar alter ego Renata. Apa pun itu, keduanya tetap berakhir dengan Asmara yang tewas dibunuh oleh Renata. Upi, sang sutradara sekaligus penulis naskah, ternyata lebih memilih memoles karakter Asmara menjadi sebatas perempuan nyentrik yang mendekati Renata hanya untuk merebut suaminya, Edwin. Esensi tokoh Asmara menjadi sia-sia, dan Upi jelas mengkhianati maksudnya sendiri dalam memproduksi film ini, yaitu menunjukkan perempuan yang memiliki support system. Padahal, kita tahu bahwa support system yang dimiliki Renata hanya Asmara seorang.
Inti klimaks film ini juga lebih menekankan pada Renata yang merasa “merdeka” ketika akhirnya ia bisa membuktikan bahwa ia bukan “perempuan bodoh” kepada Asmara. Kemarahan yang semestinya lebih masuk akal diarahkan kepada Edwin, suami sekaligus pelaku KDRT. Ini membuat Sehidup Semati lagi-lagi menyeleweng dari tujuan awalnya, yaitu memberontak pada sistem, lingkungan, dan pelaku yang gemar merawat budaya patriarki dan KDRT. Dengan akhir cerita yang membuat hubungan Asmara dan Renata menjadi pertarungan antar-perempuan, Sehidup Semati sama saja seperti merawat stereotip bahwa perempuanlah yang mesti disalahkan atas kasus perselingkuhan. Salah-salah, stereotip ini juga bisa mengarahkan pada pelanggengan term misoginis yang masih sering kita dengar hingga saat ini, yaitu “pelakor”. Padahal, bukan rahasia umum lagi, bahkan tanpa pelanggengan stereotip tersebut, perempuan masih harus dihadapkan dengan fakta bahwa perempuan jugalah yang paling banyak menjadi korban KDRT.
Dengan mengkhianati maksud utama dari hadirnya Sehidup Semati; seluruh kesepakatan bahwa film ini tidak mengaburkan pengalaman korban karena eufemisme, serta tidak pula malu-malu menguliti faktor-faktor sistemik yang mendukung terjadinya KDRT: doktrin budaya patriarki dan dogma agama yang dipelintir pun jadi runtuh seketika. Bahkan, ada banyak keraguan untuk menjawab pertanyaan apakah Sehidup Semati hadir sebagai tontonan yang peka terhadap pengalaman korban kekerasan di dunia nyata. Lantas, ketika kita kembali lagi pada percakapan: apakah Sehidup Semati membawa percakapan baru atau sekadar mengeksploitasi isu?
Sehidup Semati masih terlalu jauh untuk bisa dikatakan membawa percakapan baru, dan nyaris terlalu dekat untuk disebut sebagai film yang sekadar mengeksploitasi isu. Sisi positifnya, Sehidup Semati setidaknya turut membantu membangun awareness dengan hadir sebagai tontonan yang mengutuk lingkungan yang mendukung dan memanjakan budaya patriarki serta KDRT.