Bincangperempuan.com- Kondisi Gaza saat ini mengambarkan kekejaman Israel dalam membantai ribuan manusia yang tak bersalah. Masyarakat Palestina seakan hidup dalam ketidakpastian untuk melanjutkan kehidupannya. Kehilangan keluarga atau orang terdekat telah menjadi kenyataan pahit yang harus diterima oleh mereka.
Ironinya, Israel secara tegas menolak permintaan gencatan senjata yang dilayangkan oleh banyak negara. Serangan bom terus ditujukkan kepada masyarakat sipil yang tak bersalah. Bagi masyarakat Palestina, tidak ada ruang aman untuk berlindung dari genosida Israel.
Selama pembantaian ini berlangsung, terdapat ratusan anak dengan luka parah yang hanya dirawat tanpa balutan luka yang sesuai dan mengonsumsi asetaminofen untuk menghilangkan rasa sakitnya. Selain itu, ribuan anak Gaza yang sembuh dari kanker harus menderita komplikasi penyakit karena obat-obatan yang terbatas. Mirisnya, terdapat 5.000 anak yang terbunuh dan hilang dalam sebulan terakhir.
Menurut PBB, kondisi ini akan semakin diperparah karena memburuknya sanitasi dan tempat mengungsi yang aman bagi masyarakat Palestina. Kondisi ini akan terus berlanjut dengan menelan ribuan nyawa anak yang tidak bersalah. Meskipun demikian, Israel tetap menargetkan anak-anak dalam serangannya.
Trauma menghantui anak-anak di Gaza
Anak-anak Palestina di Gaza dilahirkan dan tumbuh untuk memperjuangkan tanah dan hak mereka yang telah dirampas oleh Israel. Setiap harinya, mereka harus menyaksikan pembataian yang dilakukan oleh Israel kepada keluarga mereka. Kekejaman Israel meninggalkan ketakutan yang tidak dapat digambarkan. Bahkan, sebagian mereka memilih bungkam karena terus mendapatkan pengalaman mengerikan dimasa kecilnya.
Sebuah studi tinjauan pada tahun 2011 menemukan bahwa anak-anak di Gaza dan Tepi Barat mengalami tingkat gangguan stress pasca-trauma berkisar 23% hingga 70%. Studi ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Save the Children di tahun 2022 yang menemukan 80% anak-anak di Gaza menunjukkan gejala tekanan emosional dengan setengah diantaranya memiliki keinginan bunuh diri dan menyakiti diri sendiri.
Pasca serangan yang dilakukan pada 7 Oktober 2023, anak-anak di Gaza harus menghadapi trauma baru yang lebih ekstrem dari sebelumnya. Mereka telah terjebak di zona perang yang mengurungnya dalam ketakutan dan rendahnya harapan hidup. Wilayah Gaza telah berubah menjadi ‘kuburan bagi anak-anak’ dan penderitaan seumur hidup bagi mereka yang bertahan. Kondisi ini menjadi mimpi buruk yang sulit dihindari oleh mereka.
Dalam kasus ini, para peneliti mengungkapkan bahwa trauma yang diderita oleh anak-anak di Gaza merupakan trauma kumulatif dari kekerasan etnis-politik yang mempengaruhi kesehatan mental dan cara pandang mereka terhadap dunia. Trauma ini mengakibatkan kebanyakan anak-anak tidak peka terhadap kekerasan di sekitar karena konflik berkepanjangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan keberlangsungan pertumbuhan anak di Gaza karena meningkatnya gangguan kesehatan mental yang disebabkan oleh ancaman kekerasan dan konflik yang dialami.
Baca juga: Melihat Aktivitas Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama
Bagaimana kekerasan mempengaruhi anak-Anak di Palestina?
Ada banyak penelitian yang dilakukan untuk mengamati anak-anak Palestina yang mengalami kekerasan etnis dan politik ekstrem dalam beberapa tahun. Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan yang diterima telah merusak kesehatan mental anak dan meningkatkan sikap agresif anak-anak terhadap orang lain.
Eric Dubow, profesor psikologi di Bowling Green State University dalam penelitiannya menemukan bahwa anak-anak Palestina mengalami dampak serius karena kekerasan yang diterimanya. Ironinya, tingginya kekerasan etnis-politik yang dialami justru meningkatkan jumlah kekerasan yang dilakukan terhadap anak dalam suatu keluarga. Kondisi ini didorong oleh depresi dan trauma masa kecil yang dirasakan oleh orang tua di Gaza sehingga mendorong mereka bersikap agresif terhadap anaknya.
Beberapa anak Palestina yang mendapatkan kekerasan justru bersikap mati rasa karena kurangnya rasa peka terhadap kekerasan tersebut. Mereka terkesan telah kebal dalam menerima tindakan kekerasan di kehidupan sehari-harinya. Akibatnya, anak-anak Palestina mempercayai bahwa dunia merupakan tempat kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Ironinya, kekerasan yang diterima oleh anak-anak Palestina telah memperbesar tingkat reaksi stres pasca-trauma. Gangguan kesehatan mental ini telah melemahkan generasi muda karena perasaan dan harapan hidup yang rendah. Anak-anak di Gaza harus hidup dalam kewaspadaan dari kekerasan yang didapatkan. Para peneliti menyatakan bahwa siklus kekerasan ini akan terus berulang pada generasi selanjutnya.
Upaya Mengatasi Trauma Anak-Anak di Gaza
Pembantaian dan kekerasan yang dirasakan oleh anak-anak di Gaza telah meninggalkan trauma yang sulit untuk diobati. Hingga saat ini, masih ada anak-anak yang tidak dapat pulih secara mental karena konflik yang terus berlanjut. Kondisi ini menyebabkan anak-anak di Gaza menderita stres pasca-trauma jangka panjang dan gangguan kesehatan mental lainnya.
Layanan kesehatan mental di Gaza mengatakan bahwa mereka hanya dapat memberikan kehangatan, makanan, dan perasaan aman ditengah genosida yang dilancarkan oleh Israel. Bagi mereka, yang dibutuhkan oleh anak-anak Palestina saat ini adalah rasa aman untuk meredakan trauma. Meskipun demikian, cara ini tidak dapat menyembuhkan trauma yang dirasakan oleh mereka. Cara ini hanya mengurangi trauma sesaat agar anak-anak dapat merasa tenang dan aman.
Cara yang lain yang dilakukan untuk mengurangi trauma dari anak-anak Gaza adalah metode bernapas dalam-dalam. Metode ini digunakan untuk mengurangi stres dan trauma sesaat ketika gejala mulai muncul pada anak-anak di Gaza. Sayangnya, cara yang dilakukan tidak akan berdampak sepenuhnya karena serangan Israel yang terus meningkat tidak memberikan kesempatan anak-anak Palestina untuk pulih dari traumanya.
Sumber:
- Daniel Estrin, 2021. “Deep breathing helps kids ease ‘Gaza trauma’”, dalam npr
- Maram Humaid, 2023. “Children in Gaza experience ‘trauma beyond their endurance’”, dalam Al Jazeera
- Rhitu Chatterjee, 2023. “How a history of trauma is affecting the children of Gaza”, dalam npr
- UN Women Team, 2023. “Facts and figures: Women and girls during the war in Gaza”, dalam UN Women