Home » Koalisi Perempuan Deklarasi Tujuh Tuntutan

Koalisi Perempuan Deklarasi Tujuh Tuntutan

Yuni Camelia Putri

News

Bagi Capres dan Cawapres Pemilu 2024

Bincangperempuan.com- Debat calon presiden dan wakil presiden menjelang pemilihan umum 2024 menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Ironinya, debat ini tidak sedikitpun membahas isu perempuan yang ada di Indonesia.  Padahal, muncul banyak kasus kriminal yang menyerang perempuan beberapa tahun terakhir.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat tentang kualitas visi-misi dan komitmen ketiga capres dan cawapres dalam debat perdananya. Menanggapi hal ini, Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia menyerukan deklarasi untuk memperjuangkan hak perempuan di ruang demokrasi.

“Mereka (capres dan cawapres) sama sekali tidak memperhatikan rakyatnya, terutama perempuan. Mereka terus berteriak demokrasi tetapi substansinya tidak diartikan dengan benar. Apa yang kita tonton itu tindakan yang tidak demokratis yang hanya membuat kita menjadi bingung,” kata Zumrotin K. Susilo, perwakilan Yayasan Kesehatan Perempuan beberapa waktu lalu.

Menurut Zumrotin, kemajuan sumber daya manusia dan upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional tidak terlepas dari peran-peran perempuan. Perempuan hadir sebagai sosok yang strategis dan pendamping yang baik untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Hal inilah yang menjadi catatan penting bagi para capres dan cawapres untuk memperhatikan isu perempuan di Indonesia.

Baca juga: Perempuan Pewaris Pengetahuan Lokal dari Hutan Rano

Demokrasi Indonesia memasuki masa genting

Bushis Utami, Direktur Institut Kapal Perempuan menyampaikan bahwa sistem demokrasi di Indonesia sudah memasuki masa genting. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh tingginya praktik korupsi, nepotisme, oligarki, penyalahgunaan kekuasaan selama situasi politik berlangsung. Tindakan para penguasaan dianggap telah melanggar etika politik yang berdampak buruk bagi seluruh masyarakat terutama perempuan dan kelompok rentan lainnya.

“Kegentingan demokrasi ditandai dengan situasi politik saat ini yang ditandai dengan situasi politik saat ini yang menggambarkan praktik pelanggaran etika politik, korupsi, dan nepotisme. Hal ini berdampak pada buruknya agenda keadilan gender yang ada di Indonesia,” kata Budhis.

“Jika hal ini dibiarkan, maka hasilnya adalah bencana politik terutama bagi kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya yang mengalami ketidaksetaraan dalam sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya,” tambahnya.

Lebih lanjut, Eka Ernawati selaku perwakilan dari Koalisi Perempuan Indonesia mengungkapkan bahwa pemenuhan hak sipil dan politik perempuan di parlemen terus mengalami kemunduran. Padahal, perempuan menjadi penyumbang dari keberhasilan proses demokrasi di Indonesia sejak dulu.

“Norma gender, beban sosial, dan kultural serta diskriminasi gender berlapis yang dialami perempuan kurang dianggap sebagai penyebab minimnya partisipasi perempuan dalam politik di ruang publik. Padahal hal itu telah berpengaruh pada rendahnya representasi keterwakilan perempuan dalam lembaga politik publik,” kata Eka.

“Situasi itu menyebabkan sulitnya menyuarakan kepentingan perempuan, baik untuk kepentingan masyarakat sipil secara luas atau kepentingan mereka yang beragam berdasarkan suku, ras, agama, keadaan fisik ataupun mental, ekonomi, sosialnya,” tambahnya.

Selain sulitnya pemenuhan hak sipil dan politik perempuan di parlemen, upaya affirmative action yang dijamin oleh Undang-udang Nomor 7 Tahun 1984 sebagai ratifikasi konvensi dari The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) telah dihambat oleh kepentingan partai politik yang masih praktis. Menurutnya, para capres dan cawapres hanya meletakkan isu perempuan sebagai pelengkap tanpa mementingkan kualitas dalam pemberdayaan perempuan.

“Keterwakilan perempuan tidak benar-benar mampu menyuarakan kepentingan perempuan secara substantif. Sebaliknya, pembatasan berbasis diskriminasi gender yang tak kentara telah menghambar pencalonan perempuan secara sistematis,” ungkap Eka.

Baca juga: UN Women Indonesia: Embrace Equality, Inklusivitas Untuk Disabilitas

Perempuan semakin menderita di tengah ‘demokrasi’

Selain diskriminasi dan minimnya keterlibatan perempuan dalam politik, kemiskinan menjadi masalah yang banyak dihadapi saat ini. Ketua Perempuan Mahardhikka, Mutiara Ika mengatakan bahwa terdapat pemiskinan berbasis gender yang berlangsung secara sistematis yang berangkat dari asumsi bias gender seperti pendataan keluarga berbasis kepala keluarga. Hal ini mengakibatkan perempuan kehilangan akses terhadap bantuan yang haknya.

Tak hanya itu, Mutiara mengungkapkan jika perempuan kerap mengalami kesulitan disektor kerja informal seperti UMKM yang masih dianggap sebagai ranah lelaki. Akibatnya, perempuan yang menjadi pengusaha kecil tidak dapat mengembangkan usahanya karena keterbatasan yang dialami.

Lebih jauh, Nanda Dwinta Sari selaku perwakilan Yayasan Kesehatan Perempuan menjelaskan telah terjadi pengabaian terhadap pemenuhan hak atas kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi perempuan seperti informasi dan layanan aborsi anak bagi korban kekerasan seksual. Selain itu, maraknya sunat perempuan di indonesia turut menjadi hal yang harus diperhatikan dan diatasi secepatnya.

“Kami mengharapkan agar capres dan cawapres menindaklanjuti implikasi UU TPKS dan UU Kesehatan yang baru diterbitkan Kementerian Kesehatan serta membuat peraturan turunannya,” Kata Atas Hensratini Habsjah dalam konferensi pers tersebut.

Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia menambahkan adanya ketidakadilan iklim, poliyik lingkungan eksploitatif, ketidakdilan pangan dan transisi energi yang telah meminggirkan perempuan. Praktek oligargi yang pro-investasi dalam skala besar dan proyek-proyek yang mengabaikan hak perempuan telah menghilangkan sumber kehidupannya.

Tak hanya itu, keberagaman identitas dan interpretasi yang mendiskriminasi perempuan turut menjadi permasalahan yang harus segera diatasi. Hal ini disebabkan pembiaran atas pelanggaran kebebasan sipil dan politik yang masih menjadi persoalan perempuan di berbagai daerah. Minimnya pemenuhan hak layanan dasar kelompok rentan menjadi contoh dari permasalah ini.

Terakhir, Anis Hidayah selaku Komisioner Komnas HAM menambahkan jika indonesia hanya memiliki sedikit data terkait perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam perlanggaran HAM berat di masa lalu. Menurutnya, korban-korban dari pelanggaran HAM di masa lalu tidak terpenuhi hak-haknya dan menghabiskan sisa hidupnya dengan trauma yang mendalam.

“Sampai hari ini, hak mereka atas kebenaran, keadilan, pembully-an itu belum dapat mereka terima meskipun sudah puluhan tahun mereka melakukan upaya-upaya atau dorongan kepada negara,” kata Anis.

“Isu ini tentu bukan isu yang diangkat selama lima tahun tetapi hampir setiap hari para korban pelanggaran HAM masa lalu, dimana perempuan sangat banyak diantaranya. Mereka selalu menunggu kehadiran negara untuk memastikan impunitas tidak terus terjadi, bagaimana proses yudisial didorong ada, dan pemulihan terjadi korban dilakukan oleh negara secara optimal,” pungkasnya.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Konflik HGU dan Suara Perempuan Petani di Bengkulu

Konflik HGU dan Suara Perempuan Petani di Bengkulu

Kasus Gisèle Pelicot Membuka Fakta Bahwa Tidak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan

Kasus Gisèle Pelicot Membuka Fakta, Tak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan

Ukuran bra

Memahami Ukuran Bra: Perbedaan Cup A, B, C

Leave a Comment