Bincangperempuan.com- B-Pers, apakah kamu menyadari bahwa ada hal menarik yang patut disoroti oleh masyarakat saat ini? Yups, sebuah pernyataan kontroversial, “Perempuannya baik, maka negaranya baik. Begitu sebaliknya. Ibu-ibu punya peran penting membangun negara. Gajinya (suami) Rp. 20 juta, belanjanya (istri) Rp.50 juta. Terpaksa ngutip sana, ngutip sini, Ibu-ibu bertugas memajukan negara dan bangsa menjadi ibu dan istri yang baik”, ucap Mahfud MD ketika menghadiri acara Halaqoh Kebangsaan dan Pelantikan Majelis Dzikir Al Wasilah di Asrama Haji Padang, Kota Padang pada 17 Desember 2023. Lantas, apakah ini benar adanya?
Untuk menjawab hal ini, mari kita analisis dari beberapa penelitian tentang penyebab tindak pidana korupsi beberapa tahun belakangan.
Baca juga: Yang Menyebalkan dari “SEHIDUP SEMATI”
Korupsi tidak hanya didorong oleh tekanan ekonomi
Jika melihat tindak pidana korupsi, masyarakat akan beramsumsi bahwa tekanan ekonomi menjadi faktor utama dari kejahatan ini. Hal ini juga berlaku pada pernyataan Mahfud MD yang mengaitkan korupsi dengan faktor kebutuhan rumah tangga yang selalu dikaitkan dengan perempuan.
Pernyataan ini seakan memandang bahwa perempuan selalu bergantung dengan laki-laki atau yang dikenal dengan konsep ibuisme negara. Padahal korupsi tidak hanya disebabkan oleh tekanan ekonomi melainkan perilaku dari pelaku, minimnya pengawasan, dan faktor-faktor lainnya.
Salah satu kasus yang dapat membantah pernyataan ini adalah kasus korupsi Angelina Sondakh pada pembangunan Wisma Atlet dan Ratu Atut Chosiyah yang terjerat dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Banten. Meskipun demikian, pernyataan bahwa perempuan berperan penting dalam pembangunan nasional memang benar adanya. Sebagai seorang ibu, perempuan memiliki posisi yang kuat dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk mendorong pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal yang perlu disadari adalah pentingnya untuk mendorong kesetaraan gender di sektor pertumbuhan ekonomi.
Hasil Analisis
Pernyataan Mahfud MD yang menilai jika perempuan sebagai faktor pendorong tindak pidana korupsi tidaklah tepat. Pernyataan ini seakan membangun citra perempuan sebagai sosok yang negatif dalam perjalanan karir suaminya.
Sebuah penelitian dari Ridwan Arifin dan Devanda Prastiyo di tahun 2018 yang berjudul “Korupsi Kolektif (Korupsi Berjamaah) di Indonesia: Antara Faktor Penyebab dan Penegakan Hukum” memetakan beberapa faktor pendorong tindak pidana korupsi, diantaranya:
1. Perilaku Individu yang cenderung rakus, gaya hidup konsumtif, kurangnya agama, dan minimnya moralitas mendorong pejabat negara melakukan tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, korupsi dapat terjadi karena keinginan individu untuk memenuhi gaya hidupnya. Jadi, apakah pejabat tidak mendapatkan gaji yang layak?
Tentu saja tidak, mereka dibayar dengan gaji dan tunjangan yang tergolong tinggi. Pada akhirnya, ketidakpuasan atas gaji yang diterimalah yang menjadi pendorong suatu individu melakukan korupsi.
2. Rendahnya pemahaman tentang pendidikan. Tindak pidana korupsi kerap dilakukan oleh individu yang berpendidikan tinggi. Ironinya, hal ini justru dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki moralitas rendah untuk melakukan perhitungan yang cermat dalam memanipulasi hukum untuk melancarkan korupsi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kats dan Hans yang menilai jika peran akademisi tampaknya masih paradoks. Pendidikan yang tinggi tidak menjamin suatu individu dapat memanusiakan manusia karena mementingkan kepentingan pribadi diatas segalanya.
3. Sikap kerja yang harus melahirkan uang untuk segala sesuatu. Hal ini sangat sering dijumpai karena pemikiran yang menginginkan uang dalam melancarkan berbagai hal. Dalam konteks birokrasi, pejabat yang melakukan korupsi akan melakukan perhitungan yang melibatkan uang dalam setiap sektor pekerjaan, pembuatan kebijakan, atau semacamnya.
4. Lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Hukum menjadi tiang utama dalam memberantas tindak pidana korupsi di suatu negara. Pemberian sanksi yang ringan dan penerapan sanksi yang tidak konsisten menjadi pendorong tingginya angka korupsi di suatu negara. Faktor ini sejalan dengan teori Ramirez Torres yang berbunyi, “korupsi adalah kejahatan perhitungan, bukan hanya keinginan. Seseorang akan melakukan tindakan korupsi jika hasil korupsi akan lebih tinggi dari hukuman yang didapat”.
5. Lemahnya pengawasan secara internal dan eksternal. Pengawasan kinerja individu dapat dilakukan oleh pimpinan sebagai pihak internal. Sementara itu, pengawasan eksternal melibatkan publik dan media. Ironinya, pengawasan secara internal dan eksternal tidak dinilai masih tumpang tindih dan lemah. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan pengawas internal justru terlibat dalam praktik korupsi.
6. Praktik politik yang kotor. Faktor ini didorong oleh pendapat Daniel S. Lev yang menemukan jika politik tidak berjalan sesuai aturan hukum, melainkan dipengaruhi oleh uang, keluarga, status sosial, dan kekuatan militer. Hal ini menunjukkan jika terdapat korelasi antara aturan hukum, tekanan dari kelompok korupsi yang dominan, dan permainan politik dalam sebuah instansi pemerintahan. Selain itu, pendapat ini menegaskan bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, kepentingan kelompok, dan sebagainya.
Baca juga: Ghosting: Perilaku yang Muncul di Era Dating Apps
Konsep ibuisme yang masih kental
Konsep ibuisme memosisikan perempuan sebagai pendamping suami dan ibu rumah tangga yang bertanggung jawab dalam mengasuh dan membesarkan anak. Ironinya, konsep ini justru dijadikan senjata untuk memosisikan perempuan sebagai faktor pendorong praktik korupsi di Indonesia.
Riset yang dilakukan oleh Kanti Pertiwi dan Teguh Wijaya Mulya terhadap 547 artikel media sejak 2010 hingga 2020 menemukan bahwa perempuan di potret sebagai sosok yang materialistis dan berkaitan erat dengan korupsi. Dalam hal ini, perempuan dianggap sebagai sumber permasalahan karena menerima uang hasil korupsi dan digambarkan sebagai pihak yang mendorong suami untuk melakukan korupsi.
Secara tidak langsung, konsep ibuisme digunakan oleh beberapa pihak untuk menyalahkan perempuan sebagai sosok yang gagal dalam mendampingi suami dan mengasuh anak. Pada akhirnya, konsep ibuisme justru diartikan sebagai bentuk dari bias gender yang masih dipertahankan hingga saat ini.
Hasil analisis
Pernyataan Mahfud MD yang memandang bahwa perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas moral bangsa tidaklah benar dan bentuk dari bias gender yang masih dilestarikan. Faktanya, korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan tidak melibatkan status gender dalam praktiknya.
Ada banyak penyebab yang mendorong praktik korupsi di suatu negara. Untuk itu, melibatkan peran perempuan sebagai penyebab dari kasus korupsi merupakan bentuk dari bias gender dari cara berpikir yang buruk.
Sumber:
- Pertiwi, K., & Wijaya Mulya, T. (2023). Mistresses, mothers, and headscarves: media representations of women in corruption scandals in Indonesia. Feminist Media Studies, 23(5), 2135-2151.
- Nurul Fitri Ramadhani, 2024. “Cek Fakta: benarkah jika suami tersandung korupsi itu karena belanja istrinya?”, dalam The Conversation
- Syarief, R. A. O., & Prastiyo, D. (2018). Korupsi Kolektif (Korupsi Berjamaah) di Indonesia: Antara Faktor Penyebab dan Penegakan Hukum. Jurnal Hukum Respublica, 18(1), 1-13.