Bincangperempuan.com- Data Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri yang diolah oleh Kompas, mencatat bahwa sejak 2019-2023 kasus bunuh diri meningkat secara ajek. Tahun 2019 ada 230 kasus; tahun 2020 sebanyak 640 kasus; tahun 2021 sebanyak 620 kasus dan tahun 2022 sebanyak 902 kasus; tahun 2023 sebanyak 1.226 kasus.
Meningkatnya angka bunuh diri di Indonesia meningkat secara ajek setiap tahunnya membuat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengajak seluruh pihak untuk mencegah bunuh diri dengan mengenali depresi mental, khususnya pada korban kekerasan berbasis gender.
Salah satu pemicu bunuh diri adalah depresi. Temuan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi depresi tertinggi terjadi pada kelompok umur 15-24 tahun dibandingkan kelompok usia lain. SKI 2023 juga menemukan bahwa 61 persen anak muda yang depresi dalam satu bulan terakhir memiliki pikiran 36 kali lebih besar untuk mengakhiri hidupnya. Bunuh diri tak hanya berdampak pada individu dan keluarga, melainkan juga secara sosial, psikis dan ekonomi.
Komnas Perempuan mencatat, faktor penyebab bunuh diri tidak tunggal, pada perempuan di antaranya akibat trauma berkelanjutan sebagai dampak buruk kekerasan berbasis gender dan ketiadaan support system terdekat.
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menetapkan tema tiga tahunan Hari Pencegahan Bunuh Diri (2024-2026), yakni “Mengubah Narasi Bunuh Diri” (Changing the Narrative on Suicide) dengan seruan “Mulailah Percakapan” (Start the Conversation). Tema ini menunjukkan pentingnya warga masyarakat mengenali indikasi keinginan bunuh diri pada seseorang, terutama anggota keluarga terdekat, mencoba merangkul, memahami dan menjauhkan stigma.
Baca juga: Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida
Temuan Komnas Perempuan mencatat, tindakan bunuh diri oleh perempuan korban kekerasan tak selalu berkaitan dengan faktor kelas sosial ekonomi dan pendidikan.
Komisioner Rainy Hutabarat menyampaikan bahwa penyebab bunuh diri pada perempuan di antaranya akibat trauma berkelanjutan sebagai dampak buruk kekerasan berbasis gender yang dialaminya dan ketiadaan support system yang mengenali depresi.
“Ada seorang perempuan pendeta lulusan pasca sarjana di wilayah kepulauan yang mengakhiri hidup akibat KDRT berkelanjutan. Juga korban siklus kekerasan dalam pacaran yang menjadi korban eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi dari pacarnya. Dari kasus-kasus bunuh diri ini terdapat indikasi bahwa korban tidak memiliki sistem pendukung terdekat, kasusnya diabaikan dan lingkungannya tak mampu memahami dampak psikis dari tindakan kekerasan dan mengenali indikasi depresi dan keinginan bunuh diri,” ujar Rainy.
Catatan Komnas Perempuan ungkapan “ingin mati”, “tak kuat menjalani hidup” atau lontaran “ingin bunuh diri”, dari perempuan korban kekerasan berbasis gender belum diidentifikasi sebagai adanya depresi dan keinginan mengakhiri hidup, yang menjadi sinyal seorang perempuan membutuhkan bantuan.
“Ungkapan-ungkapan yang disampaikan korban masih dianggap sebatas keluhan biasa. Kita dapat mencegah bunuh diri dengan mengenali keinginan bunuh diri, memulai percakapan dengan korban, merangkul dan mencari bantuan untuk mengatasi depresi yang dialami korban,” tambah Rainy.
Menurut UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) bunuh diri yang didorong sebagai akibat kekerasan berbasis gender (instigated suicide) baik dalam lingkup rumah tangga oleh pasangan intim atau anggota keluarga lainnya atau pelaku yang dikenal atau tidak dikenal di ruang publik atau negara harus diperhatikan oleh negara pihak. Termasuk bunuh diri yang dilakukan yang telah melaporkan kekerasan sebelumnya kepada otoritas peradilan pidana sebelum bunuh diri.
Pemantauan terhadap bunuh diri ini penting untuk membangun mekanisme pencegahan bunuh diri maupun memastikan korban kekerasan berbasis gender untuk mendapatkan layanan pemulihan.
Komisioner Siti Aminah Tardi menyampaikan Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan untuk pencegahan bunuh diri yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dimana bunuh diri merupakan masalah kesehatan jiwa.
Baca juga: Waspada Kekerasan Seksual dalam Konteks Mencari Kerja
Dalam PP tersebut menyatakan bahwa negara bertanggungjawab untuk melakukan pencegahan tindakan bunuh diri yang meliputi: pencegahan terjadinya masalah kejiwaan, pencegahan timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, pengurangan faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau perorangan dan/atau pencegahan timbulnya dampak masalah psikososial.
“Pencegahan gangguan jiwa dilakukan melalui pelaksanaan deteksi dini, konseling dan dukungan psikologis awal,” ungkap Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan.
Untuk membangun kebijakan pencegahan PP Kesehatan juga mengamanatkan ketersediaan registri bunuh diri.
Retty Ratnawaty, komisioner Komnas Perempuan menyampaikan registri bunuh diri merupakan sistem pencatatan kasus percobaan bunuh diri dan kasus kematian akibat bunuh diri. Registri bunuh diri ini memuat data yang mencakup variabel jenis kelamin, usia, lokasi, metode, faktor risiko, latar belakang, alasan, dan atau penyebab bunuh diri. Institusi negara yang ditugaskan mendata registri bunuh diri adalah pihak Kepolisian RI, Kependudukan dan Catatan Sipil dan lembaga yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kegiatan statistik, dan/atau fasilitasi pelayanan kesehatan, demikian amanat Pasal 155 ayat (4) PP Kesehatan.
“Pembuatan statistik kasus-kasus bunuh diri yang disebabkan kekerasan berbasis gender akan memberikan gambaran yang lebih lengkap dan lebih akurat tentang kekerasan berbasis gender, sehingga kita bisa menyusun program-program pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender agar tidak berakhir dengan bunuh diri,” pungkasnya.