Home » News » Deklarasi Konsensus Jenewa, Ancaman Bagi Kesetaraan Gender

Deklarasi Konsensus Jenewa, Ancaman Bagi Kesetaraan Gender

Bincang Perempuan

News

Kesetaraan Gender dan Ancaman Deklarasi Konsensus Jenewa

Bincangperempuan.com- Hampir semua negara di dunia khususnya di kawasan Asia Pasific, telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau yang dikenal dengan CEDAW pada tahun 1979. Beberapa perjanjian mengikat lainnya seperti ICPD pada tahun 1994 , Konferensi Internasional tentang Populasi dan Pembangunan, Deklarasi Beijing 1995 dan platform aksinya, SDGs PBB 2015, dan lainnya.

Namun, tanpa disadari sebanyak 31 perwakilan negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Mesir, dan Uganda termasuk Indonesia ikut menandatangani Konsensus Jenewa pada 22 Oktober 2020. Konsesus ini terlihat mendukung perlindungan hak atas kesehatan perempuan dan menempatkan keluarga sebagai pilar penunjang dalam pencapaian kesehatan.

Namun, jika ditelusuri lebih dalam, deklarasi tersebut justru berupaya membatasi hak perempuan untuk mendapatkan akses kesehatan seksual dan reproduksi secara komprehensif, serta mengambil kendali atas tubuh dan masa depan mereka melalui pelarangan aborsi sebagai salah satu bentuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang sebenarnya telah dijamin oleh SDGs, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan CEDAW.

Koordinator Inisiatif SHE and Rights (Seksualitas Sehat dengan Kesetaraan dan Hak), Shobha Shukla dalam SHE & Rights Media Initiative, Rabu (23/10/2024) mengatakan konsensus Jenewa mengancam kemajuan yang telah dicapai dalam kesetaraan gender dan hak asasi manusia.  Deklarasi Konsensus Jenewa mengambil sikap anti hak dengan tidak mengakui aborsi sebagai hak asasi manusia dan bertujuan untuk menggagalkan hak seksual dan reproduksi.

“Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan kita tahun lalu bahwa ‘pada jalur saat ini, kesetaraan gender diproyeksikan akan tercapai 300 tahun lagi.’ Pemerintah-pemerintah telah berjanji untuk mewujudkan kesetaraan gender pada tahun 2030 sebagai bagian dari SDGs,” katanya.

Baca juga: Empat Isu Seksisme yang Disentil dalam Drakor Love to Hate You

Hal serupa disampaikan Direktur Program, ARROW (Asian-Pacific Resource & Research Centre for Women), Menka Goundan. Ia mengatakan ketika PACT for the future diadopsi pada Sidang Majelis Umum PBB ke-79 bulan lalu, secara mengejutkan lebih dari 30 negara telah mengadopsinya sebagai bagian dari penandatangan Deklarasi Konsensus Jenewa yang regresif dan anti hak.

“Itulah mengapa kita perlu mendidik diri kita sendiri tentang ancaman seperti Deklarasi Konsensus Jenewa. Deklarasi ini regresif dan anti aborsi, dan sayap kanan (dalam kerangka kerjanya) karena memungkinkan pemerintah untuk bersembunyi di balik prinsip ‘kedaulatan’ dan membebaskan negara-negara ini dari kewajiban mereka untuk memberlakukan hak seksual dan reproduksi bagi perempuan. Jadi, ini adalah langkah yang sangat tipis untuk mundur, kita gagal memastikan bahwa perempuan memiliki otonomi untuk membuat pilihan tentang kesehatan seksual dan reproduksi kita,” kata Menka.

Kondisi serupa juga dialami negara-negara di Afrika. Kavutha Mutua, Advokat, Pengadilan Tinggi Kenya dan Pendiri-Direktur The Legal Caravan mengatakan kebijakan yang bertentangan seperti Deklarasi Konsensus Jenewa bertentangan dengan apa yang tercantum dalam undang-undang lokal. Misalnya, di Kenya (konstitusinya mengatur hak untuk mengakses layanan aborsi) telah menandatangani Deklarasi Konsensus Jenewa yang regresif.

“Ini juga ditandai dengan adanya kampanye di negara-negara Afrika yang dipimpin oleh Ibu Negara kami yang terhormat yang mendorong penandatanganan deklarasi tersebut yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang lokal kami. Kita perlu memprioritaskan penghapusan hambatan hukum dan kebijakan terhadap akses layanan aborsi yang aman dan akses ke kontrasepsi,” katanya.

Konsesus Jenewa bentuk upaya konservatif

Co-Founder dan Koordinator, Asia Safe Abortion Partnership (ASAP), Dr Suchitra Dalvie, mengatakan hak aborsi yang aman sangat penting bagi kemajuan umat manusia karena ketidakmampuan untuk mengendalikan kesuburan mengurangi peluang untuk mengakses pendidikan, kemandirian finansial, dan kesejahteraan secara keseluruhan.

“Hal ini mengurangi kapasitas untuk menjalankan otonomi, agensi, dan kemampuan untuk memenuhi potensi tertinggi mereka. Kriminalisasi tidak mengurangi atau menghentikan aborsi, melainkan hanya mengurangi aborsi yang aman” katanya.

Serupa disampaikan Direktur Eksekutif,  Marie Stopes International (MSI) Nepal, Tushar Niroula. Ia menilai deklarasi Konsensus Jenewa yang regresif adalah sebuah upaya konservatif, otoriter, dan represif yang mutlak terhadap pilihan perempuan untuk hak reproduksi mereka karena tidak mempromosikan hak aborsi.

Ironisnya, kata Tushar, deklarasi Konsensus Jenewa dimaksudkan untuk ‘kesehatan perempuan dan kesetaraan gender’ namun tidak mempromosikan hak kesehatan perempuan atau mencakup masalah orang-orang dari minoritas seksual.

“Deklarasi Konsensus Jenewa mendorong melawan upaya internasional untuk menjadikan aborsi yang aman sebagai hak asasi manusia, dan ironisnya menyerukan kebijakan kesehatan global untuk fokus pada peningkatan kesehatan ibu tanpa memprioritaskan aborsi,” katanya.

Tushar Niroula menambahkan, Nepal memiliki undang-undang aborsi yang sangat progresif di negara tersebut namun konsekuensi dari Deklarasi Konsensus Jenewa dapat menimbulkan ancaman dan memiliki dampak yang sangat negatif, meskipun Nepal bukan penandatangan Deklarasi Konsensus Jenewa.

“Namun ada peningkatan kelompok anti aborsi yang mempromosikan pro-kehidupan yang dapat lebih lanjut memicu gerakan anti-aborsi dari kekuatan konservatif di dalam Nepal, terutama di antara organisasi atau individu keagamaan,” tambahnya.

Anggota Dewan Pengawas Federasi Perencanaan Keluarga Internasional (IPPF) dan Presiden Asosiasi Perencanaan Keluarga India (FPA India), Dr Rathnamala M Desai, mengatakan saat ini gerakan anti hak transnasional semakin mendapatkan legitimasi politik, sosial, dan ekonomi secara historis yang menargetkan hak aborsi.

Baca juga:  Diskriminasi Berlapis pada Perempuan Disabilitas

Ia menambahkan, berbagai koalisi aktor dan organisasi nasionalis, agama, dan ultra konservatif telah menjadi berani untuk menyerang kesetaraan gender dan seksualitas secara lebih luas dalam mengejar agenda sosial dan politik yang regresif.

“Munculnya gerakan anti hak global mengancam kesehatan dan hak seksual dan reproduksi serta demokrasi liberal dan kebebasan sipil dan hak asasi manusia semua orang,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Tushar  mengatakan deklarasi Konsensus Jenewa akan mendorong gerakan anti-aborsi dan oposisi aktif dari kelompok agama yang berpotensi dapat menyebabkan pencabutan undang-undang aborsi yang aman. Sebanyak 28 dari 36 negara dalam Jaringan MSI telah melaporkan oposisi aktif terhadap kesehatan dan hak seksual dan reproduksi dalam dua tahun terakhir.  Ada 8 program negara dalam Jaringan MSI melaporkan serangan langsung dari kelompok pro-kehidupan anti-aborsi dan banyak lagi melaporkan serangan dari organisasi lokal.

“Kegiatan regresif seperti Deklarasi Konsensus Jenewa Jenewa dapat menciptakan penghalang untuk mengakses layanan aborsi yang aman yang dapat menyebabkan peningkatan aborsi tidak aman yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas ibu yang tinggi,” tegas Tushar.

Untuk diketahui, tahun 2025 akan menandai 30 tahun sejak Deklarasi Beijing dan Platform Aksi-nya diadopsi pada tahun 1995. Proses peninjauan antarpemerintah Beijing+30 akan segera diadakan di wilayah Afrika pada 30 Oktober hingga 2 November 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Girl Math Baik atau Buruk Bagi Perempuan

Girl Math “Baik atau Buruk” Bagi Perempuan?  

Ekofeminisme

Perempuan dan Pelestarian Lingkungan 

Retropeksi Citradaya Nita

Retrospeksi Citradaya Nita: Perempuan & Kepemimpinan

Leave a Comment