Home » News » Pengaling Cemara Laut, Mitigasi Perempuan Adat Menghadapi Perubahan Iklim 

Pengaling Cemara Laut, Mitigasi Perempuan Adat Menghadapi Perubahan Iklim 

Betty Herlina

News

Pengaling Cemara Laut, Mitigasi Perempuan Adat Menghadapi Perubahan Iklim

Bincangperempuan.com-  “Kalau dulu, kami tidur tidak perlu menggunakan kelambu. Sekarang mana bisa lagi, harus pakai kelambu. Nyamuknya banyak dan ganas-ganas,” ungkap Meriyem,  warga Desa Rawa Indah, sambil tersenyum getir. 

“Bisa-bisa demam berdarah,” lanjutnya penuh tawa. 

Sambil bercerita, jari jemari perempuan paruh baya tersebut terlihat cekatan membersihkan daun cemara laut (Casuarina equisetifolia) yang berbentuk lidi, beruas-ruas dengan jumlah tujuh atau delapan pada setiap ruasnya. 

Daun cemara laut ini mudah sekali rontok, tumbuhnya merunduk dan berbentuk seperti jarum dengan warna hijau keabu-abuan. 

Cengkraman tangan Mariyem kokoh memegang parang, memotong dahan-dahan cemara yang dirasa akan mengganggu pertumbuhan tanaman runjung tersebut atau dikenal juga dengan pohon konifer. 

Sesekali ia berhenti, mengambil jeda mengumpulkan tenaga sembari menarik nafas dan memandangi deretan pohon cemara yang tumbuh dengan kokoh di sepanjang pantai Pandan Sari, Desa Penago Satu.

Meriyem tidak sendirian. Hari itu, Minggu (06/10/2024), sejak pagi ia bersama beberapa orang ibu-ibu dari Desa Penago Satu, Penago Dua, Penago Baru dan Rawa Indah sudah terlihat sibuk berkumpul di hutan cemara Pantai Pandan Sari. 

Kedatangan mereka lengkap dengan parang, cangkul, sabit, dan alat-alat sederhana lainnya. Tujuannya kali ini ingin bersih-bersih di hutan cemara. Ibu-ibu dari empat desa ini dengan telaten membersihkan dahan-dahan cemara yang mengganggu alias prunning. Termasuk mengumpulkan sampah-sampah plastik yang tertinggal di bawah cemara. 

Pohon cemara yang baru setinggi kira-kira 2-3 meter ini, menjadi harapan mereka untuk menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata. 

Sesekali para perempuan-perempuan tersebut tampak bersenda gurau, dengan beragam obrolan. Mulai dari persoalan harga kebutuhan pokok yang meningkat, hingga pembahasan siapa yang akan menjadi kepala daerah selanjutnya. 

“Kegiatan ini sifatnya suka rela, tidak ada jadwal tetap tapi disaat senggang siapapun bisa kemari untuk bersih-bersih,” kata Meli Melda menambahkan. 

Persis di samping hutan cemara, ada sungai selebar 6 meter.  

Meli mengatakan, biasanya tiap sore ada anak-anak muda yang berwisata di sungai tersebut. Aliran sungai yang langsung bermuara ke pantai dan Samudera Hindia menjadi kekhasan tersendiri. 

Tadinya, kata Meli, sungai ini menjadi ekosistem tersendiri bagi beberapa fauna, termasuk ikan gabus (snakehead fish). Namun saat ini sungai tersebut kering kerontang, yang ada hanya bebatu. 

“Jangankan ikan, kodok saja sudah tidak ada lagi suaranya. Nanti kalau hujan beberapa baru sungainya terisi lagi,” katanya. 

Tak hanya sungai yang mengering, sudah hampir 10 tahun terakhir cuaca di Desa Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma sudah tidak seperti dulu lagi. Malam hari yang biasanya sejuk berubah menjadi lebih panas dan lembab. Ini membuat tidur di malam hari sudah terasa tak nyaman lagi.

Kondisi ini tidak hanya dirasakan di Desa Rawa Indah, namun juga di desa-desa lain seperti Desa Penago Satu, Penago Dua dan Penago Baru. 

Baca juga: Supartina Paksi, Penggerak Perempuan untuk Desa Kopi Tangguh Iklim

Nelayan melaut semakin jauh 

Perubahan pola hujan dan cuaca yang sudah tidak bisa ditebak, tidak hanya memberikan dampak buruk pada cuaca di malam hari, namun juga berdampak dengan pendapatan nelayan di desa tersebut. 

Dulunya pekerjaan utama warga desa yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia tersebut, mayoritas adalah nelayan. Mereka mengandalkan pendapatan dari melaut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya anak sekolah. 

Namun, beberapa tahun terakhir pendapatan mereka semakin menurun. Jumlah ikan menyusut, dan nelayan juga harus menghadapi cuaca ekstrem. Tiba-tiba angin kencang, gelombang tinggi, dan badai membuat aktivitas tangkapan lebih berisiko. Tak jarang, mereka juga batal melaut. Alhasil sampan-sampan nelayan hanya bersandar di bibir pantai Pandan Wangi. 

“Kalau hanya dekat sini saja, sudah susah dapat ikannya. Nelayan harus mencari lebih jauh untuk mendapatkan ikan. Sementara kapasitas kapal tidak memungkinkan. Akibatnya mereka (nelayan, red), harus mencari sumber pendapatan yang lain,” lanjut Meli. 

Tak ada pilihan, lanjut Meli, jika tidak mencari ikan ya berkebun atau menjadi buruh serabutan dodos sawit ketika musim panen tiba. 

Menanam  cemara untuk masa depan 

Perubahan iklim yang berdampak signifikan dengan kehidupan masyarakat pesisir membuat perempuan berpikir keras. Tak ingin diam saja dan larut dalam kemiskinan, mereka mulai berinisiatif melawan keadaan dengan melakukan penghijauan atau membuat pengaling di sepanjang Pantai Pandan Wangi. 

Mereka memilih menanam cemara laut sebagai pengaling-aling. Harapannya selain membuat cuaca di desa menjadi lebih dingin juga bisa mengurangi abrasi yang terus merenggut garis pantai Pandan Wangi. 

“Ini sebagai bentuk kesadaran kami akan pentingnya menjaga kondisi lingkungan. Aksi ini memang tidak seberapa, tapi kami berharap bisa memulihkan perubahan yang terus terjadi. Kami ingin nelayan bisa menangkap ikan seperti dulu dan cuaca tidak terlalu panas seperti saat ini,” ungkap Meli Melda.  

Insiatif menanam cemara mulai dilakukan kelompok perempuan Desa Penago Satu sejak tahun 2022. Menanam cemara laut bukanlah perkara mudah. Diawali dengan membuat pembibitan di rumah masing-masing, hingga tiba hari dimana bibit-bibit tersebut dipindahkan ke lahan yang tadinya hanya semak belukar. 

Pada masa ini, perempuan-perempuan ini dituntut untuk telaten membersihkan dan melakukan perawatan. Menjaga agar tidak ada hama penyakit yang menyerang dan memastikan bibit tertanam dengan baik dan tumbuh. Hingga saat ini sekurangnya sudah 1.000 batang cemara laut berhasil di tanam. 

“Semuanya ada tiga titik tempat kami menanam, disini yang paling banyak. Sembari menunggu cemara ini besar, kami berencana menanam dititik-titik lain, dengan menggunakan bibit stek dari cemara yang ada saat ini,” lanjutnya. 

Selain mengatasi abrasi, Meli mengatakan konon cemara laut  dapat meningkatkan daya cengkeram tanah, menstabilkan bukit pasir, dan mengikat nitrogen. Selain itu, hutan cemara juga berfungsi mengurangi dan mengubah kecepatan angin serta menjadi wujud ketangguhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. 

Penanaman cemara laut, tidak hanya berdampak dari segi lingkungan namun juga memberikan dampak sosial bagi kelompok perempuan di desa tersebut. “Kami, para perempuan desa merasa berdaya lewat kegiatan ini, kami merasa perempuan juga bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki kondisi yang ada,”katanya. 

“Kami melakukan ini bukan hanya untuk diri kami sendiri, namun untuk anak cucu nanti. Bumi sudah semakin panas, kemana lagi anak cucu kami tinggal nanti kalau alam semakin rusak dan tidak ada yang menjaganya,” ungkap Meriyem. 

“Aliran sungai ini saja sudah kering, biasanya bisa mandi disini, namun sekarang lihat sendiri, airnya sudah tidak ada lagi, hanya ada batu-batuan saja,” terangnya. 

Baca juga: Pulihkan Ekosistem, Perempuan Alam Lestari Hijaukan TWA Bukit Kaba

Mendapat dukungan dari pemerintah desa 

Kepala Desa Penago Satu, Rustam Effendi mengatakan Pemerintah Desa merespon positif upaya yang dilakukan kelompok perempuan menanam pohon cemara di sepanjang pantai Pandan Wangi 

“Karena pantai kita ini sudah lama ya abrasi dan inisiatif ini juga dilanjutkan oleh ibu-ibu ya, tidak hanya hanya terlibat langsung dalam proses pembibitan hingga penanaman cemara namun para perempuan ini juga rutin mempruning (memangkas cemara, red),” terangnya. 

Kehadiran cemara pantai, lanjut Rustam tidak hanya membuat desa menjadi lebih sejuk namun juga menghadirkan ruang rekreasi baru. Pengaling cemara menjadi sabuk hijau yang melindungi pantai dan membawa kesejukan dalam kehidupan masyarakat Desa Penago Satu. 

“Inisiatif ini mengingatkan masyarakat pentingnya memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim melalui aksi-aksi nyata,” pungkasnya. 

Pengaling cemara menjadi bukti nyata bahwa dari akar tradisi dan semangat kebersamaan, para perempuan membangun masa depan yang lebih hijau dan berdaya tahan. Serta menjadi simbol dari ketangguhan perempuan adat Serawai dalam menghadapi perubahan iklim. Di balik setiap pohon yang tumbuh, ada kerja keras dan cinta dari para perempuan yang tak kenal lelah menjaga tanah mereka dari ancaman perubahan iklim.  

Tulisan ini merupakan bagian dari Mother Earth Project yang diproduksi dengan dukungan dari Meedan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Lazy Girl Job, Semestinya Bukanlah Kemewahan

Buruan Daftar, Ada Pendanaan untuk 100 Media Lokal Hadiri Local Media Summit 2022

Perkuat Bisnis Media, Bincang Perempuan Ikuti Advanced Mentoring for Media Sustainability

Leave a Comment