Bincangperempuan.com- Beberapa bulan lalu influencer di aplikasi X, Amanda Zahra mencuit bahwa dirinya mengalami pelecehan verbal melalui komentar dan pesan. Ketika ia memposting foto dirinya di media sosial, beberapa orang dengan mudah melabelinya sebagai “thirst trap,” dan mengartikan unggahannya adalah ajakan untuk dilecehkan. Hanya karena bentuk tubuhnya yang sehat, curvy, dan berisi, Amanda dilontar komentar vulgar seperti mengomentari bentuk payudaranya dengan nada tidak senonoh, bahkan hingga tindakan ekstrem seperti pengiriman foto kelamin ke pesan pribadinya, ini tentu menjadi pengalaman pahit yang harus ia hadapi.
Namun, benarkah thirst trap adalah ajakan untuk melecehkan atau merendahkan seseorang?
Baca juga: Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal
Mengapa Thirst Trap Disalahartikan?
Melansir dari Merriam-Webster, thirst trap adalah unggahan berupa foto, selfie, atau video yang sengaja dibagikan untuk menarik perhatian orang lain. Umumnya thirst trap menampilkan konten yang seduktif atau menunjukkan sisi sensual. Meski ditujukan untuk mendapatkan perhatian, thirst trap bukan berarti undangan untuk dilecehkan. Alih-alih dipahami sebagai bentuk ekspresi diri, netizen terutama di budaya patriarki—sering menyalah artikan sensualitas perempuan sebagai ajakan untuk pelanggaran batas.
Kasus Amanda Zahra hanyalah salah satu contoh dari banyak perempuan di ruang digital yang menghadapi pelecehan seksual hanya karena mereka berani menunjukkan sisi sensual atau percaya diri mereka. Pengalaman serupa juga diungkapkan Uci, perempuan yang aktif berkegiatan di dunia literasi. Uci juga aktif di media sosial, dan pernah mengalami pengalaman serupa dengan Amanda.
“Kalau ekspresi kadang kita kan juga pengen pakai baju terbuka karena merasa atraktif dengan itu. Orang menyalah artikan ketika perempuan aktif mengunggah foto dirinya, nongkrong sana-sini itu adalah perempuan yang tidak baik. Bahkan aku pernah dapat itu dari temanku sendiri diminta videocall sambil menunjukkan dada. Padahal postinganku tidak ada yang mengarah ajakan ke seksual,” terang Uci saat ditemui di Kota Padang, 10 Desember 2024.
Kejadian yang menimpa Amanda dan Uci, kerap dibenarkan dengan argumen, “Dia kan yang upload foto seperti itu, wajar kalau digoda.” Ini adalah bentuk victim blaming yang terus menguatkan siklus pelecehan di media sosial. Bahkan tak jarang, komentar negatif semacam itu justru berasal dari sesama perempuan sendiri.
Baca juga: #WomenInMaleFields: Menggugat Norma Gender di Media Sosial
Tubuh Perempuan: Antara Ekspresi Diri dan Objektifikasi
Dalam masyarakat yang masih terjebak dalam norma patriarki, tubuh perempuan sering kali tidak dianggap sepenuhnya milik mereka. Ketika seorang perempuan menampilkan tubuhnya, baik dengan pakaian tertentu atau foto yang menunjukkan sensualitasnya, sebagian orang merasa memiliki hak untuk menilai, mengomentari, atau bahkan melecehkannya. Hal ini menunjukkan bagaimana tubuh perempuan masih dipandang sebagai objek yang terbuka untuk konsumsi publik.
Padahal thirst trap berpeluang dalam menciptakan citra tubuh positif, misalnya dalam bentuk unggahan berupa potret diri atau bagian tubuh tertentu dalam melawan standar kecantikan. Salah satu riset dari UNSW University, menyoroti bahwa paparan postingan media sosial yang positif terhadap tubuh dalam merayakan beragam bentuk, ukuran, dan fitur tubuh—dapat secara signifikan meningkatkan kepuasan terhadap tubuh dan mengurangi rasa tak percaya diri. Konten semacam ini membantu menantang standar kecantikan yang tidak realistis dengan mendorong penerimaan terhadap segala ukuran, yang dapat menghasilkan persepsi diri dan kesehatan mental yang lebih sehat.
Sensualitas perempuan adalah bentuk ekspresi diri yang bebas dan berhak mendapatkan penghormatan, bukan menjadi alasan untuk pelecehan. Dalam konteks ini, perempuan memiliki kendali atas tubuhnya dan ekspresi yang ingin ditampilkan, termasuk sensualitas, tanpa mengundang tindakan tidak senonoh. Namun, dalam masyarakat patriarkal, sering kali sensualitas perempuan dipersepsikan sebagai ajakan, sehingga menjadi sasaran pelecehan seksual.
Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual mencakup berbagai bentuk, seperti komentar vulgar, pengiriman konten seksual tanpa persetujuan, atau tindakan intimidasi lainnya. Semua ini melanggar hak asasi perempuan atas integritas tubuh dan martabatnya
Jadi menganggap seseorang yang menunjukkan sensualitas sama dengan persetujuan (consent), adalah sebuah kekeliruan besar. unggahan yang menunjukkan kepercayaan diri seseorang terhadap tubuhnya tidak bisa diartikan sebagai undangan untuk melecehkan.
Namun di sisi lain, thirst trap memang bisa menjadi pisau bermata dua. Bahkan menjadi celah untuk melakukan objektifikasi terhadap tubuh perempuan. Dan ini rentan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki relasi kuasa. Misalnya kasus di Bali, di mana seorang guru memotret dan mengambil video dari anak muridnya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Gambar dan video tersebut diambil tanpa persetujuan si anak tersebut dijadikan konten thirst trap di Instagram. Pada kasus ini anak-anak menjadi korban objektifikasi dari orang dewasa.
Menurut Sarah Azmi, aktivis perempuan yang aktif di Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Sumatera Barat menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, kurangnya edukasi di dunia digital mengakibatkan maraknya pelecehan online.
“Pada kasus di Bali itu, guru atau orang dewasa telah mengeksploitasi anak. Bahkan, selain mengeksploitasi, guru tersebut telah melecehkan si anak, karena tidak ada persetujuan dari wali atau si anak itu sendiri,” terangnya saat ditemui di Kota Padang, 10 Desember 2024.
Sarah menambahkan terkait tren thirst trap yang dilakukan orang dewasa, adalah tren yang perlu diimbangi dengan edukasi digital. Karena tanpa literasi digital yang baik, akan terjadi pelecehan bahkan eksploitasi tubuh perempuan. Orang-orang harus paham batasan dalam menggunakan media digital, entah itu sebagai media aktualisasi diri mau pun media komunikasi.
Unggahan thirst trap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, seharusnya dilindungi dan dihormati. Perempuan memiliki hak untuk mengekspresikan sensualitas mereka tanpa merasa takut atau bersalah. Edukasi tentang pentingnya persetujuan dan penghormatan terhadap batasan orang lain harus menjadi bagian dari diskusi publik, terutama di ruang digital.
Referensi:
- Rizki, M. (2024) Viral Konten ‘thirst trap’ siswi smp di bali, kumparan. Available at: https://kumparan.com/kumparannews/viral-konten-thirst-trap-siswi-smp-di-bali-23MsYhr1HIe (Accessed: 10 December 2024).
- Small exposure to body positive content can improve body image (no date) UNSW Sites. Available at: https://www.unsw.edu.au/newsroom/news/2023/01/small-exposure-to-body-positive-content-can-improve-body-image (Accessed: 10 December 2024).
- Thirst trap definition & meaning (no date) Merriam-Webster. Available at: https://www.merriam-webster.com/dictionary/thirst%20trap#:~:text=noun,Madeline%20Merinuk (Accessed: 10 December 2024). yj