PEREMPUAN dan anak mendominasi angka korban kekerasan seksual. Ini disampaikan Staf Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Titi Eko Rahayu dalam webinar “Mengawal UU TPKS di Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA)” yang digelar Sabtu (23/04) yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI).
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kemen PPPA menunjukan sepanjang tahun 2021 terdapat 25.210 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan, dengan jumlah korban 27.127 orang.
Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan dalam 3 tahun terakhir. Tahun 2019, angka laporan kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.057. Mengalami peningkatan 11.278 kasus pada 2020, dan menjadi 14.517 kasus pada 2021. Untuk jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972.
Hal yang sama juga berlaku untuk angka laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021. Sedangkan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang pada 2020, lalu menjadi 10.368 kasus pada 2021.
Baca juga: Kekerasan Seksual Tempati Urutan Pertama di Bengkulu
“UU TPKS menjadi bentuk kehadiran negara dalam melindungi dan memenuhi hak korban kekerasan seksual. Tentu sangat banyak sekali hal yang sudah dipikirkan dan disiapkan, mengingat UU TPKS sangat komprehensif dari hulu sampai hilir termasuk di dalamnya terdapat substansi baru yang berperspektif pada korban,” kata Titi.
Untuk mengawal penerapan UU TPKS, lanjut Titi, desa menjadi salah satu fokus Kemen PPPA. Mengacu data Kemendagri tahun 2019, keberadaan sasaran pembangunan sebanyak 91% wilayah Indonesia adalah wilayah desa, dengan 43% penduduk Indonesia ada di desa (BPS tahun 2020).
Bentuk program yang disiapkan berupa Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Yakni, desa tersebut harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakatnya, khususnya perempuan dan anak, memenuhi hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, tersedia sarana dan prasarana publik yang ramah perempuan dan anak, serta kelompok rentan (lansia, disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui dan lainnya). Saat ini sudah ada 132 desa yang menjadi percontohan penerapan DRPPA di Indonesia.
“Pemilihan desanya lebih dikarenakan pemimpin desanya perempuan. Selain itu ini menjadi pembuktian pada semua pihak bahwa perempuan dapat . Selama ini potensi dan peran perempuan selama ini besar dalam pembangunan desa dan memiliki resiliensi tinggi di masa krisis, meskipun peran dan potensi ini belum diakui dan belum diberikan dukungan optimal,” imbuhnya.
Baca juga: Semangat Perempuan Disabilitas, Potret Tangguh di Masa Pandemi Covid-19
Untuk mewujudkan DRPPA, lanjut Titi, desa haruslah melakukan pemberdayaan untuk perempuan, dalam bentuk kegiatan kewirausahaan yang berperspektif gender yang dibarengi dengan proses membangun kesadaran kritis perempuan. Selain itu desa juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung proses tumbuh kembang anak serta mendorong peran dan tanggungjawab kedua orang tua dan keluarga dalam pengasuhan anak yang berkualitas. Termasuk desa bertanggungjawab untuk melakukan upaya-upaya khusus untuk penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Desa juga harus mengembangkan solusi bagi pekerja anak dalam rangka mengurangi pekerja anak dan melakukan upaya khusus untuk penghentian perkawinan,” katanya.
Sementara itu Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy, mengatakan, DRPPA harus mengintegrasikan UU TPKS ke dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan. “DRPPA harus mengintegrasikan UU TPKS, perspekstif gender, dan hak anak. Sehingga desa dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Memenuhi hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi termasuk dalam penyediaan sarana dan prasarana,” kata Olivia. (**)