Home » Isu » Kekerasan Seksual » Diskriminasi Berlapis pada Perempuan Disabilitas 

Diskriminasi Berlapis pada Perempuan Disabilitas 

Diskriminasi Berlapis pada Perempuan Disabilitas 

Bincangperempuan.com-  Diskriminasi masih menjadi isu mendasar yang dihadapi  masyarakat di seluruh dunia. Salah satu kelompok yang sering kali menghadapi diskriminasi dan terabaikan hak-haknya adalah perempuan dengan disabilitas. Mereka kerap menghadapi diskriminasi sekaligus,  sebagai perempuan dan sebagai individu dengan disabilitas. Akibatnya beban perempuan disabilitas menjadi berlapis-lapis. 

Perempuan dengan disabilitas adalah individu dengan kondisi fisik, sensorik, intelektual, atau perkembangan yang berbeda dari mayoritas populasi. Namun meskipun berbeda, mereka tetap bagian penting dari masyarakat dengan hak-hak yang sama dengan individu lainnya. 

Faktanya, sering kali perempuan disabilitas diabaikan. Dianggap sebagai individu yang tidak memiliki kemampuan seperti lainnya. Padahal masyarakat dan lingkungan lah yang membuat disabilitas menjadi tidak berdaya. Mulai dari tidak adanya dukungan sarana dan prasarana yang ramah disabilitas hingga rasa “kasihan” yang berujung pada mengabaikan kemampuan. 

Baca juga: Fatphobia, Kebencian atas Bentuk Tubuh 

Diskriminasi ganda perempuan disabilitas 

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh perempuan dengan disabilitas adalah diskriminasi ganda. Mereka tidak hanya menghadapi diskriminasi karena jenis kelamin mereka, tetapi juga karena kondisi disabilitas yang mereka miliki. Diskriminasi ganda ini dapat terjadi dalam berbagai aspek kehidupan mereka.

  • Terbatasnya akses pendidikan 

Salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok adalah terbatasnya akses pendidikan untuk perempuan disabilitas. Banyak sekolah dan lembaga pendidikan tidak memiliki fasilitas maupun kesempatan yang memadai untuk mendukung kebutuhan mereka. Termasuk peluangan dalam bentuk beasiswa. Ini membuat banyak perempuan disabilitas tidak dapat mengakses pendidikan yang layak, yang pada gilirannya membatasi peluang mereka untuk berkembang dan berkontribusi pada masyarakat. 

  • Kesempatan kerja terbatas dan upah rendah

Diskriminasi juga terjadi dalam dunia kerja. Perempuan disabilitas sering kali menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Banyak perusahaan masih belum memahami atau menerima kebutuhan mereka, dan ini berdampak pada tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan perempuan disabilitas.

Perempuan disabilitas masih dikesampingkan oleh masyarakat, padahal pemerintah telah mengeluarkan undang-undang yang menjamin hak kebebasan dari stigma, hak atas pendidikan, dan hak atas pekerjaan. Dina Afrianty selaku peneliti dan penggagas Australia-indonesia Disability Research and Advocay Network (AIDRAN) mengungkapkan tingkat partisipasi penyandang disabilitas masih sangat rendah dibandingkan non disabilitas di seluruh dunia. 

Kesempatan kerja perempuan disabilitas yang minim ini dipengaruhi oleh diskriminasi dan stigma. Data yang dikeluarkan UNESCO tahun 2018 tentang tingkat melek huruf penyandang disabilitas menunjukkan jika hanya 44,5% perempuan penyandang disabilitas yang melek huruf. Jumlah ini turut menjadi penyebab rendahnya partisipasi kerja perempuan disabilitas.

Kebanyakan perusahaan enggan merekrut penyandang disabilitas karena dianggap akan meningkatkan biaya lebih tinggi dalam memfasilitasi akomodasi dan tunjangannya, kurang produktif hingga ruang lingkup pekerjaan yang masih kecil.  Kebijakan-kebijakan kantor yang kurang ramah dan larangan untuk meminta kebutuhan khusus bagi para penyandang disabilitas turut mempengaruhi partisipasi mereka dalam bekerja.

Setelah mendapatkan kerja, mereka kerap kali dilepaskan untuk bersaing dengan pekerja perempuan non disabilitas tanpa mendapatkan bantuan apapun. Belum lagi ketika perusahaan melakukan promosi karier, mereka yang menyandang disabiltas harus dikesampingkan karena dianggap sebagai beban kerja dan keterampilan yang masih rendah dari perempuan non disabilitas.

Selain itu, upah yang diterima oleh perempuan penyandang disabilitas masih rendah dibandingkan laki-laki penyandang disabilitas. Dampak ini tentu saja tidak terlepas dari diskriminasi gender yang menempatkan perempuan dalam tanggung jawab tugas domestik seperti pekerjaan rumah. Hal ini tentu saja semakin menyulitkan mereka selama bekerja. Padahal, mereka menggunakan setengah gaji mereka untuk akses ke tempat kerja.

  • Tidak terakomodasi dalam layanan kesehatan

Akses terhadap layanan kesehatan yang baik adalah hak dasar setiap individu. Namun, perempuan dengan disabilitas sering kali menghadapi kesulitan dalam mengakses perawatan kesehatan yang mereka butuhkan. Ini bisa disebabkan oleh ketidakmampuan fasilitas kesehatan untuk mengakomodasi kebutuhan mereka atau stigma yang masih ada terhadap disabilitas.

  • Kekerasan dan Pelecehan

Kultur patriarki yang masih kuat dalam struktur masyarakat menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Setiap tahunnya, korban pelecehan terus meningkat termasuk perempuan yang menyandang disabilitas. Komnas Perempuan menemukan bahwa kelompok perempuan penyandang disabilitas rentan mendapatkan kekerasan seksual seperti pencabulan, pelecehan, dan pemerkosaan. Korban-korban merupakan perempuan yang mengalami disabilitas sensorik seperti teman tuli (tunarungu,red), tunawicara, atau tunanetra.

Beberapa hal yang menyebabkan perempuan penyandang disabilitas berada dalam kondisi rentan mendapatkan kekerasan seksual. Pertama, ketergantungan perempuan panyandang disabilitas kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Kedua, keterbatasan dalam kemampuan komunikasi yang menyebabkan perempuan disabilitas tidak dapat melawan. Ketiga, keinginan yang kuat untuk diterima oleh masyarakat menjadikan pelaku memanfaatkan perempuan disabilitas dengan mengancam akan meninggalkan mereka jika tidak dituruti. 

Keempat, keterbatasan dalam memahami situasi menyebabkan korban terhambat dalam memahami dan mengontrol kebutuhan seperti naluri seksual. Terakhir, kurangnya pendidikan seks pada perempuan penyandang disabilitas menyebabkan mereka tidak mengerti kondisi tubuh seperti alat reproduksi dan bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain.

Faktor-faktor inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan kekerasan seksual kepada para perempuan penyandang disabilitas. Kebanyakan pelaku justru berasal dari orang terdekat, seperti pacar, saudara hingga guru. Mereka menganggap jika korban tidak akan mampu untuk melawan karena keterbatasan yang dimiliki. Setelah melakukan aksi bejatnya, pelaku akan mengancam para korban untuk tidak melaporkannya kepada orang lain dan pihak berwajib.

Baca juga : Dari Tiara Komala, Berjuang Untuk Hak Penyandang Disabilitas di Sekitarnya 

Upaya menuju kesetaraan

Sama halnya dengan perempuan lainnya, perempuan disabilitas memerlukan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlindungan dan kesempatan untuk terus berpartisipasi dan berkarya dalam seluruh sektor kehidupan.

Hal pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang kesadaran tentang isu-isu yang dihadapi oleh perempuan dengan disabilitas. Sehingga dapat menerapkan kesetaraan perempuan disabilitas dalam mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Langkah ini sebagai upaya untuk membuka jalan bagi perempuan disabilitas meningkatkan perekonomian melalui kemudahan dalam mengakses pekerjaan, pendidikan, ekonomi, dan layanan kesehatan yang layak.

Pemerintah dan lembaga pendidikan serta perusahaan harus bekerja sama untuk menciptakan fasilitas yang ramah disabilitas. Ini termasuk aksesibilitas fisik seperti lift, tangga, atau fasilitas toilet yang sesuai. Selain itu, mereka juga perlu menyediakan pelatihan dan dukungan untuk staf mereka agar dapat melayani perempuan dengan disabilitas dengan baik.

Penting untuk memiliki kebijakan dan perlindungan hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak perempuan dengan disabilitas. Hal ini termasuk dalam hal akses pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan yang setara. Penegakan hukum yang efektif perlu ada untuk menjamin bahwa pelanggaran terhadap hak-hak mereka mendapatkan sanksi yang pantas.

Pemberdayaan ekonomi adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi diskriminasi terhadap perempuan dengan disabilitas. Ini dapat dilakukan melalui program-program pelatihan dan bantuan keuangan untuk membantu mereka mendapatkan pekerjaan atau memulai bisnis mereka sendiri. Selain itu, mereka juga perlu mendapatkan dukungan dalam hal perencanaan keuangan dan manajemen.

Media dan budaya memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat tentang perempuan dengan disabilitas. Penting untuk mempromosikan representasi yang positif dan inklusif dalam media dan budaya populer. Ini akan membantu mengubah stereotip yang salah tentang mereka dan membantu masyarakat melihat mereka sebagai individu yang berharga dan berkontribusi.

Perempuan dengan disabilitas adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, dan mereka memiliki hak-hak yang sama dengan individu lainnya. Namun, sering kali, mereka menghadapi berbagai bentuk diskriminasi yang membuat mereka terpinggirkan. Untuk mencapai masyarakat yang lebih inklusif dan adil, kita perlu bersatu dalam mengatasi masalah ini.

Meningkatkan kesadaran, menciptakan fasilitas yang ramah disabilitas, melindungi hak-hak mereka melalui kebijakan dan hukum yang kuat, memberdayakan ekonomi mereka, dan mempromosikan kesetaraan dalam media dan budaya adalah langkah-langkah yang penting dalam perjuangan melawan diskriminasi terhadap perempuan dengan disabilitas. Kita semua memiliki peran dalam memastikan bahwa mereka mendapatkan hak yang mereka pantas. (**)

Sumber:

  • Rizki Akbar Putra, 2020. “Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas di Dunia Kerja”, dalam DW. 
  • R. Ari Nugroho, 2020. “’Aku Perempuan Unik’, Saat Perempuan Difabel Wujudkan Kesetaraan Lewat Seni”, dalam Magdalene.
  • M Puteri Rosalina, 2019. “Diskriminasi Berlapis Perempuan Disabilitas”, dalam Kompas.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Disabilitas, Diskriminasi Gender

Artikel Lainnya

Budaya Pemerkosaan dan Upaya Penanggulangannya

Gerakan #MeToo

Rendahnya Popularitas #MeToo di Indonesia

Ucapkan “Tobrut” Bisa Didenda Rp10 Juta

Leave a Comment