Pemerintah sudah mensyaratkan jumlah minimum perempuan 30% dalam pencalonan legislatif. Namun sejak pemilu 1999 hingga saat ini, representasi perempuan di legislatif tidak pernah beranjak dari angka 20%. Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen, atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019).
Sementara, dalam Pemilihan Kepala Daerah yang diselenggarakan secara serentak di 270 daerah di Indonesia pada 9 Desember 2020, hanya 5 perempuan menjadi peserta sementara laki-laki berjumlah 45 orang dalam pemilihan Gubernur. Di tingkat Kabupaten/Kota, hanya 26 orang perempuan di pemilihan Walikota sementara laki-laki berjumlah 126 orang dan 128 orang perempuan di pemilihan Bupati sementara laki-laki berjumlah 1.102 orang (pilkada katadata 2020).
Di Provinsi Bengkulu malah jumlah perempuan yang menjadi bagian dari parlemen hanya 15% yakni 7 dari 45 orang anggota DPRD provinsi Bengkulu. Kesenjangan jumlah perempuan dan laki-laki akan lebih buruk lagi bila masuk ke level pedesaan dan kelurahan.
Direktur Cahaya Perempuan WCC Tini Rahayu, mengatakan budaya patriarki meyakini laki-laki yang pantas menjadi pemimpin. Kondisi ini ditambah dengan politik identitas yang menggunakan interpretasi ajaran agama dan aturan-aturan adat dari beragam suku untuk mendiskriminasi perempuan, membuat akses perempuan ke kepemimpinan semakin terpuruk.
“Keterbatasan akses perempuan dan kelompok minoritas serta marginal terhadap sumber daya ekonomi, informasi dan terutama teknologi informasi yang sangat didominasi oleh media sosial, telah memperburuk situasi yang dihadapi, terutama menjelang pemilu ataupun Pilkada 2024,” katanya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, lanjut Tini, perlu dilakukan penguatan keorganisasian secara internal dan berkolaborasi dengan semua pihak yang percaya dengan keadilan gender, demokrasi dan keberagaman. Tujuannya untuk memperkuat gerakan perempuan akar rumput dan kelompok minoritas yang tersebar dari delapan provinsi, dapat bersatu melalui pendidikan politik khususnya pendidikan pemilih.
Baca juga: Rendahnya Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, Solusi Datang dari Keluarga
“Mari kita berkontribusi untuk melakukan pendidikan politik bagi perempuan akar rumput agar memastikan diri menjadi Wakil Rakyat maupun Pemimpin dalam Pemilu dan Pilkada 2024, serta menjadi pemilih cerdas yang bebas dari politik uang. Termasuk mengampanyekan dan menyuarakan agenda politik perempuan dan kelompok minoritas. Melaksanakan peningkatan kapasitas bagi pemimpin perempuan di akar rumput dan bagi lembaga, khususnya lembaga yang baru melakukan regenerasi kepemimpinan. Serta menjaga agar gerakan tidak terpecah karena pilihan politik dan meminimalisasi kerentanan konflik politik identitas antar aktivis dan gerakan,”katanya.
Negara, kata Tini penting untuk memperhatikan kelompok minoritas dan marginal, khususnya perempuan dan laki-laki pemilih pemula, disabilitas, lansia, dan lainnya.
Untuk diketahui, Yayasan Cahaya Perempuan WCC menjadi salah satu organisasi yang tergabung dalam Forum Belajar Capacity Building (FBCB). Merupakan forum penguatan kapasitas bagi anggota yang terdiri dari 15 LSM di Sumatera. Forum ini berkomitmen untuk memastikan seluruh anggota dan kelompok dampingannya bersatu melawan politik identitas dan patriarki dalam Pemilu 2024. (**)