Home » News » Kenapa Angka Kelahiran Menurun Belakangan Ini?

Kenapa Angka Kelahiran Menurun Belakangan Ini?

Ais Fahira

Data, News

Kenapa Angka Kelahiran Menurun Belakangan Ini

Bincangperempuan.com- B’Pers, tahukah kamu bahwa angka kelahiran di dunia mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir? Menurut World Fertility Report 2024, rata-rata angka kelahiran global telah menurun drastis, dari 4,8 kelahiran per perempuan pada tahun 1970 menjadi 2,2 kelahiran per perempuan pada tahun 2024.

Penurunan ini bukan hanya terjadi di satu atau dua negara, tetapi menjadi tren global yang mencakup berbagai kawasan, termasuk negara-negara maju maupun berkembang. Bahkan, diperkirakan angka kelahiran global akan terus menurun hingga 1,8 kelahiran per perempuan pada tahun 2100.

Angka kelahiran global terus menurun selama dekade terakhir. Tren ini didorong oleh turunnya tingkat fertilitas, yang telah lebih dari setengah sejak tahun 1960-an, dari lebih dari 5 anak per perempuan menjadi sekitar 2,3 anak per perempuan.

Baca juga: Childfree Bukan Hanya Urusan Perempuan, Tapi Kesepakatan Pasangan

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, tren serupa juga terjadi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) Indonesia tercatat sebesar 2,10, yang berarti rata-rata setiap perempuan Indonesia akan melahirkan dua anak selama masa reproduksinya. Dalam sepuluh tahun terakhir, angka ini mengalami penurunan sebesar 0,39 poin (BPS, 2020).

Penurunan angka kelahiran ini dikaitkan dengan keberhasilan program keluarga berencana (KB) yang telah diterapkan oleh BKKBN sejak tahun 1970. Selain itu, Indonesia juga berhasil mencegah terjadinya baby boom selama pandemi COVID-19, meskipun sebelumnya banyak prediksi yang memperkirakan lonjakan angka kelahiran akibat penurunan penggunaan alat kontrasepsi dan keterbatasan layanan kesehatan selama pandemi (BPS, 2020).

Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa Indonesia bisa menghadapi “resesi seks”, di mana angka kelahiran terus menurun dalam satu dekade terakhir. Namun, hingga saat ini, fenomena tersebut belum terbukti karena Indonesia masih memiliki surplus kelahiran bayi. Wilayah-wilayah dengan angka kelahiran tertinggi di Indonesia meliputi Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, dan Maluku.

Proyeksi data dari Macrotrends juga menunjukkan bahwa angka kelahiran di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun:

  • 2024: 16,608 kelahiran per 1.000 penduduk (turun 1,24% dari tahun sebelumnya).
  • 2023: 16,817 kelahiran per 1.000 penduduk (turun 1,63% dari tahun sebelumnya).
  • 2022: 17,095 kelahiran per 1.000 penduduk (turun 1,59% dari tahun sebelumnya)

Mengapa Angka Kelahiran Menurun?

Lalu, mengapa ini terjadi? Berikut ini faktor utama yang menyebabkan penurunan angka kelahiran global dan nasional adalah sebagai berikut:

1. Perubahan Sosial-Ekonomi

Angka kelahiran yang menurun erat kaitannya dengan perubahan sosial dan ekonomi. Biaya hidup yang semakin tinggi—mulai dari pendidikan, perumahan, hingga pengasuhan anak, membuat banyak pasangan berpikir ulang sebelum memutuskan punya anak. Bagi sebagian besar orang, memiliki anak bukan lagi sekadar norma sosial, tapi keputusan yang harus dihitung matang-matang dari segi finansial.

Selain itu, semakin banyak perempuan yang memilih fokus pada pendidikan dan karier. Ekonom peraih Nobel, Claudia Goldin, dalam penelitiannya yang dirangkum oleh Les Glorieuses, menemukan bahwa negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat justru mengalami penurunan angka kelahiran yang lebih drastis. Ini karena perubahan ekonomi yang pesat tidak selalu diikuti dengan perubahan nilai sosial, terutama dalam hal peran gender di rumah tangga. Saat perempuan tetap dibebani ekspektasi untuk mengurus rumah tangga meskipun sudah bekerja, banyak yang akhirnya memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree.

2. Kesehatan dan Urbanisasi

Peningkatan kualitas kesehatan juga berperan dalam penurunan angka kelahiran. Dulu, angka kematian bayi yang tinggi membuat banyak keluarga merasa perlu memiliki banyak anak. Namun, dengan meningkatnya harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi, orang tua kini lebih fokus pada kualitas hidup anak daripada kuantitas.

Urbanisasi semakin memperkuat tren ini. Di kota, ruang tinggal lebih terbatas, biaya hidup lebih mahal, dan tekanan pekerjaan lebih tinggi. Banyak pasangan akhirnya memilih untuk memiliki keluarga kecil atau bahkan memutuskan untuk hidup tanpa anak.

3. Meningkatnya Akses terhadap Kontrasepsi

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah meningkatnya akses terhadap kontrasepsi. Dengan kemudahan dalam merencanakan kehamilan, pasangan memiliki lebih banyak kontrol dalam menentukan jumlah anak yang mereka inginkan. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi pasangan untuk menunda atau membatasi jumlah anak sesuai dengan kondisi mereka.

4. Ketidakpastian Ekonomi dan Sosial

Situasi ekonomi yang tidak stabil, terutama setelah pandemi COVID-19, juga membuat banyak orang menunda pernikahan dan memiliki anak. Ketidakpastian karier, kenaikan harga kebutuhan hidup, serta perubahan gaya hidup menjadi faktor yang membuat generasi muda berpikir dua kali sebelum membangun keluarga.

Baca juga: Hak Cuti Ayah: Wujud Kesetaraan dalam Beban Reproduksi

Apa Dampaknya?

Penurunan angka kelahiran global menimbulkan dampak yang kompleks. Di satu sisi, ini bisa menjadi pertanda kemajuan karena menunjukkan peningkatan kesejahteraan, akses pendidikan, dan hak perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya. Tapi di sisi lain, tren ini juga bisa mengancam keseimbangan populasi dan ekonomi dunia dalam jangka panjang.

Dengan lebih sedikit anak, orang tua bisa fokus pada kualitas hidup dan pendidikan anak, perempuan punya lebih banyak kesempatan berkarier, dan lingkungan bisa lebih terjaga karena konsumsi sumber daya yang lebih rendah. Namun, ada juga sisi gelapnya. Semakin sedikit anak lahir, semakin berkurang tenaga kerja di masa depan. Negara dengan populasi menua seperti Jepang dan Korea Selatan kini menghadapi krisis tenaga kerja dan sistem pensiun yang kewalahan.

Lantas, bagaimana negara-negara menyikapi ini? Banyak yang mencoba berbagai cara agar warganya mau punya anak. Hungaria membebaskan pajak bagi ibu muda, Jepang memberikan subsidi besar untuk biaya melahirkan dan pendidikan, sementara Prancis menawarkan sistem cuti orang tua yang fleksibel. Bahkan, Korea Selatan dan Jepang sampai mengadakan program kencan yang disponsori pemerintah agar lebih banyak pasangan menikah dan memiliki anak.

Tapi apakah solusi ini cukup? Di era sekarang, generasi saat ini tampaknya tak lagi memandang punya anak sebagai kewajiban. Faktor ekonomi, kebebasan pribadi, dan kualitas hidup jauh lebih dipertimbangkan dibanding sekadar meneruskan keturunan. Jika dunia ingin mempertahankan angka kelahiran yang seimbang, solusinya bukan hanya insentif finansial, tapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung keseimbangan antara karier, keluarga, dan kebahagiaan pribadi. Jadi, bagaimana B-pers? Apakah punya anak masih menjadi prioritas dalam hidupmu, ataukah dunia harus mulai beradaptasi dengan realitas baru ini?

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Efektivitas dan Kontroversi Acne Patch

Artificial Intelligence dan Ancaman Pornografi di Ruang Digital

Segera Daftarkan Diri Kamu!

Leave a Comment