Home » News » Konstruksi Sosial dan Tantangan Kebijakan Pekerjaan Perawatan di Indonesia

Konstruksi Sosial dan Tantangan Kebijakan Pekerjaan Perawatan di Indonesia

Yuni Camelia Putri

News

Bincangperempuan.com- Jika membicarakan pekerjaan perawatan, siapakah yang seharusnya terlibat didalamnya? Apakah perempuan, laki-laki, atau kedua belah pihak? Kamu tentu akan berpikir jika pekerjaan perawatan merupakan tanggung jawab perempuan, kan? 

Yups, inilah kenyataannya, perempuan kerap dibebankan dengan pekerjaan perawatan dengan embel-embel “kodrat perempuan”. Pekerjaan perawatan telah melibatkan perempuan di kegiatan yang memproduksi layanan dan barang untuk pemenuhan kesejahteraan fisik, psikologis, sosial individu untuk menciptakan kenyaman dan keamanan seseorang.

Dalam praktiknya, pekerjaan perawatan terbagi atas perawatan secara langsung dan tidak langsung. Pekerjaan perawatan langsung seperti mendampingi makan, memberikan obat, atau menemani anak selama belajar. Sementara itu, pekerjaan perawatan tidak langsung seperti membersihkan rumah, mencuci baju, dan mengambil air.

Ironinya, perempuan yang bekerja di bidang perawatan kerap dianggap sepele dan tidak dibayar dengan layak. Dalam hal ini, ibu rumah tangga atau anak perempuan yang tidak dibayar dan dibebankan 3-4 kali tugas perawatan daripada laki-laki. Padahal, standar statistik ketenagakerjaan internasional telah menetapkan bahwa pekerjaan perawatan yang dilakukan di rumah telah dikategorikan sebagai pekerjaan yang memiliki nilai produktif. Lantas, bagaimana penerapannya di Indonesia? 

Early Dwi Nuriana, project officer of Care Economy & HIV prevention in the world of work di International Labour Organization menemukan bahwa telah banyak laki-laki yang menyadari tanggung jawabnya untuk tugas rumah tangga dan perawatan anak.

“Di Indonesia, sudah ada riset yang menyatakan bahwa 79 persen sebenarnya laki-laki ini sudah mulai berperan ya,” kata Early beberapa waktu lalu.

“Namun, ya tetap 76 persennya masih menganggap perempuan punya double burden ini. Jadi perempuan di mata masyarakat harus menjadi ibu dan istri yang baik,” tambahnya.

Baca juga: Rasisme dan Patriarki: Beban Ganda yang Dipikul Perempuan Timur

Kontruksi sosial yang buruk terus mengakar

Beban ganda yang dihadapi perempuan yang bekerja dibidang perawatan tidak membuatnya sadar akan ketidakadilan yang dihadapinya. Sebagi perempuan memandang, jika pekerjaan perawatan merupakan kewajiban yang tidak perlu diperhitungkan. Sebuah riset yang dilakukan oleh ILO dan katadata menemukan bahwa perempuan menyadari jika mereka melakukan tugas perawatan tetapi mereka tidak merasa jika pekerjaannya menjadi lebih banyak.

“Ternyata sebagian perempuan itu mengakui bahwa dia melakukan tugas perawatan, tetapi tidak merasa bahwa pekerjaan itu lebih banyak,” ungkap Early.

Hal ini menandakan bahwa kontruksi sosial yang membebankan pekerjaan perawatan kepada perempuan telah mengakar. Fakta ini semakin didukung oleh survei yang dilakukan oleh magdalene yang menemukan bahwa perempuan bekerja di bidang perawatan selama 200 sampai 400 jam dalam sebulan.

Sementara itu, munculnya bias gender dari sudut pandang laki-laki yang masih mengakar hingga saat ini. Meskipun terdapat perubahan positif, masih banyak laki-laki yang memandang jika pekerjaan perawatan merupakan kewajiban utama seorang perempuan yang harus dilakukan sendiri. Mirisnya lagi, kebanyakan dari mereka menolak untuk menggunakan pekerja rumah tangga atau meminta bantuan orang terdekat yang dapat meringankan beban perempuan. Menurut Early, kedua faktor ini tidak dapat disalahkan karena buruknya konstruksi sosial yang telah terbentuk sejak lama. 

Baca juga: Dilema Ketika Ibu Memutuskan Sekolah Lagi

Masih banyak tantangan dalam penerapan cuti

Penerapan cuti maternitas dan cuti ayah masih menghadapi banyak tantangan. Meskipun banyak kemajuan terkait kedua cuti ini, upaya untuk mencapai kesetaraan gender di sektor perawatan anak masih dipertanyakan. 

Di indonesia, pemberian cuti maternitas dan cuti ayah kerap dihadapkan dengan minimnya kesadaran akan pentingnya peran orang tua dalam perawatan anak. Kondisi ini semakin diperparah dengan hambatan yang didapatkan dari kebijakan perusahaan yang seakan menghalangi cuti ini.

Pada cuti maternitas, perempuan mendapatkan tunjangan tunai melahirkan sebanyak 100% dari penghasilan sebelumnya. Tunjangan ini dibayarkan oleh pemberi kerja. Hal ini justru menjadi tantangan yang berujung kepada ketidakadilan.

“Yang menjadi tantangan di Indonesia itu ada cuti melahirkan tetapi 100% manfaat tunainya, ya. Tapi masih jadi tanggung jawab dari pemberi kerja dan itu yang menjadi tantangan karena tidak bisa dinikmati oleh semua perempuan,” ungkapnya.

Meskipun demikian, pemerintah telah menciptakan RUU KIA dengan merencanakan untuk menambahkan jumlah minggu dengan cangkupan manfaat yang belum pasti.

“RUU KIA menjadi proses buat kita dengan adanya penambahan jumlah minggu. Nah, yang jadi pertanyaan, cangkupan manfaatnya gimana? apakah pekerja kontrak juga bisa dapat?” kata Early.

Lantas, bagaimana dengan penerapan cuti ayah? Penerapan cuti ayah di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Sebelumnya, cuti ini diterapkan hanya untuk menemani istri yang melahirkan saja. Saat ini, cuti ayah diberikan agar laki-laki tidak hanya menemani istri melahirkan saja, melainkan turut serta dalam perawatan. 

Sama halnya dengan cuti maternitas, penerapan cuti ayah masih menghadapi berbagai tantangan karena beberapa pemberi kerja menolak untuk memberikan asuransi sosial dan manfaat lainnya dari cuti tersebut. Akibatnya, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hanya ada sekitar 1% dari total pekerja yang memanfaatkan cuti ayah.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, konstruksi sosial pekerja perawatan

Artikel Lainnya

Menghadapi Perubahan Iklim, Perempuan Petani Kopi Ajukan Ranperdes

Memaknai Keterwakilan Perempuan 30%, Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender

Bincang Perempuan, Terpilih Mengikuti  Training Advance AMSI Didukung Internews-USAID MEDIA

Leave a Comment