Bincangperempuan.com- Nama lengkap saya Wisna Said Ndou. Saya biasa dipanggil Wisna. Saya asli kelahiran Desa Sansarino. Pekerjaan saya sehari-hari adalah petani. Dulu, ayah dan ibu saya juga bekerja sebagai petani. Saya anak kedua dari empat bersaudara. Saya menghabiskan masa kecil saya di Desa Sansarino. Sebagai keluarga petani, keadaan ekonomi keluarga kami pas-pasan. Oleh karena itu, orang tua saya hanya mampu untuk membiayai sekolah saya hingga kelas 2 SMP. Saya ingin sekali melanjutkan pendidikan, tapi saya merasa kasihan dengan kedua
orang tua saya.
Kedua orang tua saya memang tidak pernah menunjukkan rasa lelahnya di depan saya. Mereka selalu terlihat semangat di depan anak-anaknya. Walaupun, saya tahu, apa yang mereka rasakan adalah sebaliknya.
Saya menikah pada usia yang terbilang cukup muda. Melalui pernikahan itu, saya dikaruniai dua orang anak perempuan. Sayangnya, pernikahan itu tidak berjalan sehidup semati. Sesuatu yang tidak bisa saya ceritakan di sini terjadi di pernikahan saya. Kejadian itu cukup membuat saya hancur. Kini, saya harus berjuang menghidupi anak-anak saya seorang diri.
Selain menjadi orang tua tunggal bagi anak-anak saya, saya juga aktif berorganisasi. Saya banyak mengikuti kegiatan yang diadakan di desa atau di manapun. Bagi saya, kegiatan kegiatan tersebut sangat bermanfaat karena bisa menambah pengalaman saya. Selain itu, saya juga rutin mengikuti kegiatan pengajian di desa yang biasa diadakan setiap hari Jumat.
Dengan mengikuti banyak kegiatan, saya mengajarkan kepada anak-anak saya bagaimana cara membagi waktu. Saya memberikan contoh kepada mereka bahwa walau saya sudah sibuk menjadi seorang ibu tunggal, saya tetap meluangkan waktu untuk kegiatan- kegiatan yang bermanfaat bagi pengembangan diri saya.
Baca juga: Ketika Ibu Berjuang Kembali ke Sekolah
Melalui keaktifan ini juga, saya ingin memberi pesan bahwa belajar itu tidak ada ujungnya dan tidak ada batas tempatnya. Saya masih terus belajar sekalipun usia saya sudah tua. Saya juga masih terus belajar sekalipun saya tidak lagi duduk di bangku sekolah.
Beberapa bulan ke belakang, saya dipercaya untuk menjadi Sekretaris pada KUPS, tepatnya KUPS Minyak Cengkeh. Melalui KUPS ini, kami mengolah daun cengkeh untuk dijadikan minyak cengkeh. Daun cengkehnya sendiri kami dapatkan dengan mengumpulkan daun-daun cengkeh yang jatuh di kebun cengkeh milik orang yang berlokasi di desa kami.
Saya dan teman-teman menjalankan usaha ini secara berkelompok. Kami pergi mengumpulkan daun cengkeh di kebun bersama-sama. Lalu, kami membawanya ke tempat penyulingan untuk diproses. Proses penyulingan ini memakan waktu berjamjam. Bahan bakarnya masih tradisional, yaitu kayu bakar.
Tidak hanya sampai tahap produksi, KUPS kami juga ikut terlibat pada proses pemasaran produk minyak cengkeh kami. Dengan dibantu Sikola Mombine, kami belajar untuk menjual minyak cengkeh dalam kemasan kecil-kecil dengan desain kemasan sendiri.
Sejak saya menjadi Sekretaris pada KUPS Minyak Cengkeh, saya ikut membantu Ketua KUPS untuk mendiskusikan rencana rencana agar usaha ini tetap berjalan dengan baik. Saya juga mendapatkan ruang untuk menggerakkan kelompok dengan ide-ide yang bisa mengembangkan usaha kami.
Ini menjadi hal yang membuat saya selalu setia untuk ikut kegiatan Sikola Mombine. Untuk menjalankan KUPS ini, pendamping dari Sikola Mombine turun menggerakkan dan mendampingi setiap kelompok. Kami dibimbing untuk mengadakan pertemuan rutin kelompok. Kami diajarkan untuk membangun kesepakatan di dalam kelompok. Kami juga mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kewirausahaan kami.
Tidak hanya itu, saat proses pemasangan tapal batas hutan desa, kami yang perempuan juga dilibatkan untuk turun langsung mengikuti proses pemasangan tapal batas di hutan yang ada di desa kami. Padahal, selama ini, kami jarang pergi ke hutan.
Kami sekelompok naik ke hutan dengan ibu pendamping dari Sikola Mombine. Kami memasang tapal batas dengan menanam bambu dan memasang spanduk sesuai dengan letak area yang ada di peta.
Selama di hutan, kami menyaksikan berbagai potensi desa yang selama ini belum kami manfaatkan secara optimal, misalnya sumber daya rotan. Kami juga belajar mengidentifikasi mana sumber daya-sumber daya yang bisa dikelola dan yang tidak bisa dikelola.
Perjalanan yang luar biasa kami rasakan selama empat hari tiga malam berada di dalam hutan. Walaupun, medan perjalanan yang kami lalui sangat terjal dan curam. Bahkan, kami juga mendapatkan hal-hal yang sangat mengerikan dan tidak bisa diterima logika. Namun, kami tetap tenang karena kami berusaha menjalankan amanah yang sudah ditugaskan kepada kami dengan baik. Hingga akhirnya, kami berhasil menyelesaikan perjalanan pemasangan tapal batas di hutan dengan baik tanpa ada satu yang kurang. Hal ini yang meyakinkan saya bahwa pekerjaan keluar masuk hutan bisa dilakukan oleh perempuan seperti saya.
Perjalanan empat hari tiga malam itu sekaligus menjadi perjalanan batin bagi saya untuk mengenal hutan lebih baik lagi. Saya merasa memiliki ketergantungan hidup dengan hutan karena banyak sumber kehidupan yang saya dapatkan dari hutan. Misalnya, air yang kami konsumsi setiap hari yang berasal dari mata air dari hutan, daun cengkeh yang minyak hasil olahannya menjadi pemasukan tambahan bagi saya, segala buah-buahan yang saya nikmati selama ini, dan sebagainya.
Saya merasa sangat terbantu dengan adanya akses resmi yang diberikan pemerintah untuk mengelola hutan desa. Meskipun, selama perjalanannya, saya dan teman-teman di KUPS masih menemukan berbagai tantangan. Salah satunya seperti yang terjadi saat ini di mana daun cengkeh dihargai sangat rendah oleh tengkulak. Harga tersebut sama sekali tidak sesuai dengan beratnya usaha yang harus kami lakukan untuk mengumpulkan daun cengkeh itu.
Hal ini kemudian menjadi alasan untuk saya bersama dengan teman-teman di KUPS Minyak Cengkeh untuk mencari cara agar para pengumpul daun tidak perlu bergantung dengan tengkulak lagi sehingga kami bisa mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.
Baca juga: Girl Math, Upaya Mendobrak Stereotip Boros Terhadap Perempuan
Sebelum saya masuk di program Sikola Mombine, saya sebagai pengumpul daun cengkeh sangat merasakan kesusahan. Apalagi kalau sedang musim hujan, kami tidak bisa mengumpulkan daun cengkeh karena basah. Selain itu, masih banyak juga cobaancobaan yang kami rasakan dalam mengambil atau mengumpulkan daun cengkeh. Kami seringkali dimarahi dan dicaci maki oleh pemilik kebun cengkeh karena mengumpulkan daun cengkeh mereka. Sebab, para pemilik kebun cengkeh mengatakan bahwa daun-daun cengkeh yang kami ambil bisa mereka jadikan pupuk.
Di luar itu, saya juga menemukan banyak cobaan-cobaan lain sebagai pengumpul daun cengkeh, utamanya terkait dengan status saya sebagai orang tua tunggal. Saya harus melawan stigma masyarakat yang mengidentikkan status single parent saya dengan stigma negatif sebagai “perempuan tidak jelas”. Saya juga seringkali dipanggil dengan sebutan “mama janda”. Panggilan-panggilan tersebut jelas sekali membuat saya tersinggung dan kecewa.
Tidak jarang, ledekan-ledekan bernada merendahkan seperti itu juga saya terima dari teman-teman saya sesama perempuan. Banyak dari mereka menyatakan ketakutannya jika saya merebut suami mereka saat berkegiatan bersama saya. Mereka khawatir kalau saya menggoda suami mereka. Padahal, saya yang justru banyak digoda oleh suami-suami mereka. Hanya saja, saya sadar, saya tidak mau perempuan lain ikut merasakan apa yang saya rasakan di masa lalu dengan terjebak di dalam godaan para laki-laki itu.
Bertahan dalam situasi seperti ini dan melawan stigma yang ada di masyarakat sesungguhnya hal yang berat untuk saya. Tetapi, saya tetap tidak putus asa dalam semuanya. Panggilan panggilan tersebut tidak menghalangi semangat saya untuk mengumpulkan daun cengkeh dan aktif berkegiatan dengan masyarakat.
Setiap kali saya mengalami kejadian yang tidak mengenakkan seperti itu, saya mencoba untuk meluruskan niat bahwa saya melakukan ini semua demi berjuang untuk anak-anak saya. Saya selalu mengingat kembali bahwa tujuan saya untuk mencari nafkah. Untuk membayar seluruh kebutuhan mereka, termasuk membayar uang sekolah mereka.(**)
**) Tulisan ini direpublikasi dari Kisah perempuan pengelola perhutanan sosial di Sulawesi Tengah : Mengabdikan Perjuangan, Menggapai Kesetaraan yang diterbitkan Yayasan Sikola Mombine dan didukung The Asia Foundation.