Bincangperempuan.com- Perempuan secara historis terpinggirkan dari meja perundingan kepemimpinan iklim. Penting menyerukan lebih banyak perempuan untuk duduk bersama sehingga akan menguntungkan semua orang yang memerangi krisis iklim.
Contohnya saja dalam KTT iklim global COP29 yang akan diselenggarakan di Baku, Azerbaijan pada tanggal 11 hingga 22 November akhir tahun ini. Diketahui 28 orang komite penyelenggara adalah laki-laki. Baru setelah mendapatkan kecaman yang meluas, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev kemudian menambahkan 12 perempuan ke dalam komite tersebut.
Namun, banyak pihak yang berpendapat penambahan yang singkat hanya karena menghadapi kecaman dan bukan bentuk kesetaraan gender maupun perubahan struktural yang diperlukan untuk mengubah sikap dan mencapai dampak jangka panjang. Di COP28, hanya ada 15 dari 140 pembicara yang perempuan. Sedangkan tahun sebelumnya hanya tujuh dari 111 pembicara.
Baca juga: Menghadapi Perubahan Iklim, Perempuan Petani Kopi Ajukan Ranperdes
Norma gender yang mengakar, bias bawah sadar, dan hubungan kekuasaan turut melanggengkan kurangnya representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan. Hanya sedikit orang yang menyukai perubahan, terutama mereka yang diuntungkan oleh ketidaksetaraan kekuasaan. Namun, jika tidak ada perubahan, ketidaksetaraan gender akan semakin meluas dan kemampuan untuk merespons tantangan global saat ini, termasuk krisis iklim, akan terganggu.
Selain kesetaraan, kehadiran perempuan dalam kepemimpinan iklim sangat penting karena banyak alasan. Pertama, krisis iklim tidak hanya berdampak pada laki-laki. Partisipasi perempuan sangat penting karena perempuan memiliki pengalaman yang berbeda terkait dengan krisis iklim dan kebutuhan yang terkait dengannya.
Sangat penting bagi perempuan untuk berpartisipasi di tingkat tertinggi pengambilan keputusan untuk memastikan pengalaman dan kebutuhan ini diketahui dan ditangani. Kepemimpinan perempuan menjadi signifikan karena perempuan lebih sering terkena dampak krisis iklim secara tidak proporsional. Hal ini disebabkan oleh ketidaksetaraan struktural yang membuat perempuan memiliki lebih sedikit sumber daya, lebih sedikit pengaruh atau status untuk melindungi diri mereka sendiri, serta pulih dari dampak bencana akibat iklim. Perempuan juga lebih rentan terhadap kerawanan pangan terkait iklim.
Di masyarakat miskin, perempuan dan anak perempuan sering kali menjadi yang pertama yang tidak makan ketika makanan langka. Peran tradisional perempuan di banyak tempat pengambilan air, bertani, membuat mereka lebih rentan terhadap dampak krisis iklim. Pengambilan air dan pemindahan tempat tinggal, misalnya, membuat perempuan terpapar penyakit menular yang muncul dan menyebar akibat perubahan iklim. Perempuan juga lebih mungkin daripada laki-laki untuk terlantar akibat bencana iklim. Perempuan mungkin juga lebih rentan terhadap kecemasan iklim dan masalah kesehatan mental lainnya.
Kekerasan berbasis gender terlihat meningkat selama dan setelah bencana akibat iklim, dengan penelitian yang menunjukkan perempuan hingga 14 kali lebih mungkin mengalami kekerasan tersebut selama bencana.
Selain dampak tidak proporsional yang sering dialami perempuan, salah satu alasan utama mengapa kepemimpinan perempuan di bidang iklim sangat penting adalah karena tindakan terhadap krisis iklim tidak cukup untuk menghindari bencana. Apa yang telah dilakukan sejauh ini jelas tidak berhasil – setidaknya tidak secepat dan selengkap yang dibutuhkan.
Bukti menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan mengarah pada kebijakan yang lebih kuat tentang iklim dan lingkungan serta kebijakan yang diikuti dengan tindakan. Dorongan dan komitmen ini dibutuhkan lebih dari sebelumnya.
Ide dan pendekatan yang berbeda juga dibutuhkan. Ini lebih mungkin ditemukan ketika keterampilan, pengetahuan, dan kapabilitas yang beragam dimanfaatkan. Mempersempit kumpulan bakat dengan meminggirkan perempuan adalah kesempatan yang hilang untuk mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh krisis iklim, dan mengatasinya dengan cepat dan efektif.
Baca juga: Perempuan Petani Kopi di Desa Batu Ampar Menghadapi Perubahan Iklim
Jika kepemimpinan beragam, kepemimpinan lebih mungkin untuk mencari, mendengarkan, memahami, dan menanggapi kebutuhan berbagai kelompok dan, yang terpenting, lebih mungkin untuk mendapatkan kepercayaan dan keyakinan mereka. Kepercayaan dan keyakinan pada kepemimpinan sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim dan upaya tanggap yang efektif.
Kepemimpinan perempuan tidak bisa menjadi simbolis: agar benar-benar representatif, perempuan harus mewakili keragaman perempuan, serta ditampilkan dalam jumlah yang signifikan dan memiliki pengaruh dan sumber daya untuk melakukan perubahan.
Ini berarti struktur, proses, dan praktik yang ada mungkin perlu diadaptasi untuk memastikan representasi perempuan yang setara dan bermakna.
Kepemimpinan perempuan di bidang iklim membantu menggeser relasi kuasa gender yang telah berfungsi untuk mempertahankan, bahkan memperburuk, ancaman global – termasuk krisis iklim.
Pesan kesetaraan khususnya dirasakan di sektor ini, mengingat dampak krisis iklim yang tidak setara dan bagaimana hal itu memperkuat ketidaksetaraan tersebut. Ada seruan yang semakin keras agar terjadi perubahan dan setidaknya ada beberapa indikasi bahwa struktur politik menerima seruan tersebut.
Tapi itu harus datang sebelum terlambat. (Eleanor Gordon*, Monash University)
*) Dr Eleanor Gordon telah menghabiskan lebih dari 25 tahun bekerja di bidang keamanan, keadilan, dan hak asasi manusia pascakonflik, termasuk lebih dari 10 tahun bekerja dalam operasi perdamaian PBB dalam peran manajemen dan penasihat. Saat ini beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Perdamaian dan Keamanan Global Monash dan Dosen Senior di Monash University, di mana penelitian, pengajaran, dan praktiknya berfokus pada pendekatan inklusif dalam membangun keamanan dan keadilan setelah konflik.
Artikel ini diterjemahkan dari More women in climate talks helps everyone yang sudah tayang terlebih dahulu di 360info.org