Home » News » Perempuan Menghadapi Ketidakadilan Pembangunan dan Krisis Ekologi

Perempuan Menghadapi Ketidakadilan Pembangunan dan Krisis Ekologi

Cindy Hiong

News

Bincangperempuan.com– “Perempuan dalam tata kelola SDA memiliki peranan yang sangat penting”. Hal ini disampaikan Mia Siscawati, dalam Konferensi Perempuan Berbagi yang digelar Akar Global Inisiatif, 28 Februari – 1 Maret 2024 lalu.

Menurut Kepala Program Studi Kajian Gender di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, pemahaman tentang cara perempuan memanfaatkan agensinya dalam mengelola sumber daya alam dimulai dengan mengidentifikasi tata kelola yang terkait dengan sistem tenurial. Ini mencakup pengenalan terhadap pihak-pihak yang memiliki akses terhadap tanah dan sumber daya alam, bagaimana mekanisme perolehan akses tersebut, siapa yang mengambil keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam, serta tujuan dari hasil yang diperoleh.

Menurut Mia, mayoritas pelaku yang mengelola sumber daya alam di Indonesia dapat disebut sebagai mafia tanah. Mafia tanah tersebut bisa terdiri dari aparat negara atau perusahaan yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan bahkan mengendalikan kepemilikan serta pengaturan terkait tanah atau sumber daya alam. Akibatnya, masyarakat kehilangan hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam yang dimiliki, hak-hak tersebut tidak hanya berupa legitimasi hukum tetapi juga meliputi pengetahuan, pengalaman, dan interaksi mereka dengan sumber daya alam.

Mia juga mengingatkan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di dalam lingkup keluarga inti, keluarga besar, maupun kelompok. Hal ini penting untuk dibahas karena berkaitan dengan tingkat partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang saat ini belum mencapai tingkat partisipasi aktif dan memberdayakan, tetapi perlu didorong menuju suatu perubahan.

Baca juga: Absennya Rumah Aman bagi Korban Kekerasan Seksual di Bengkulu

Kehadiran Perempuan Adat

Sementara itu, Ketua Umum Perempuan AMAN, Devi, menyoroti pentingnya memberikan visibilitas kepada perempuan adat dalam kebijakan. Devi menekankan urgensi untuk memasukkan eksistensi, hak, dan pengetahuan perempuan adat ke dalam dokumen rencana pembangunan di Indonesia. Hal ini menjadi krusial karena terkait dengan regenerasi, perjuangan kembali, dan pembaharuan segala aspek kehidupan perempuan adat dan wilayah adat mereka.

Devi juga menggambarkan dampak perubahan dan kerugian yang dialami perempuan adat terhadap tanah dan sumber daya alamnya. Menurutnya, kerugian ini disebabkan oleh ketidakadanya regulasi yang mengatur hak kolektif perempuan adat. Melalui gerakan solidaritas diharapkan perempuan dapat mendorong kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.

Seperti melakukan legalisasi formal terhadap pengetahuan kolektif Perempuan Adat (Pengetahuan Tradisional) melalui regulasi dan instrumen yang tersedia di tingkat lokal, yang tercermin dalam praktik sehari-hari di masyarakat. Mewujudkan kemandirian ekonomi Masyarakat Adat untuk mendukung agenda Perempuan Adat dengan memperkuat aksi kolektif Perempuan Adat di komunitas dalam mengelola potensi ekonomi dari sumber daya alam di wilayah adat, dengan perspektif keadilan gender. Termasuk mendorong pembentukan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang memperhatikan perspektif gender.

Baca juga: Rita Wati, Inspirasi Perempuan yang Memperjuangkan Hak Atas Hutan

Untuk diketahui, Konferensi Perempuan Berbagi adalah kesempatan bagi kaum perempuan untuk merayakan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) serta kesempatan untuk menyuarakan tuntutan dan agenda mereka kepada pemerintah pasca pemilu 2024, terutama dalam melindungi dan menghormati hak-hak perempuan adat dan lokal dalam mengelola sumber-sumber kehidupan mereka.

Selama tiga hari, Konferensi Perempuan Berbagi menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, antara lain peneliti gender dan pembangunan Titiek Kartika Hendrastiti, Dewan Penasehat Yayasan Kalyanamitra Listyowati, dan Peneliti Feminis Yayasan Inkrispena, Ruth Indiah Rahayu.

Dalam sambutannya Direktur Eksekutif Akar Global Inisiatif, Erwin Basrin, menekankan bahwa salah satu strategi yang telah berhasil dilakukan oleh Akar adalah dengan memasukkan isu-isu perempuan ke dalam ranah politik yang lebih luas, seperti isu pangan dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan jangka panjang dari konferensi ini, mobilisasi gerakan perempuan perlu dilakukan pada tingkat internasional agar gerakan ini memiliki dampak yang signifikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Don't Give Up Girls

Penolakan Tidak Berarti Gagal, Don’t Give Up

WAIPA 2024: Perempuan ASEAN, Kekuatan Politik yang Tangguh dan Terhubung

Cahaya Perempuan Women Crisis Centre

Supporting 23 villages and 9 sub-districts, CP WCC’s efforts to reduce domestic violence rates in Bengkulu

Leave a Comment