Bincangperempuan.com- Lebih dari 190 negara berpartisipasi dalam Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP CBD 16) di Cali, Kolombia, mulai 21 Oktober hingga 1 November 2024. Kegiatan ini akan mempertemukan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi pemerhati, masyarakat adat, bisnis, kelompok orang muda, masyarakat sipil, dan akademisi.
Ada empat orang perempuan muda yang menjadi delegasi Indonesia dalam konferensi tersebut. Siapa saja mereka yang sudah ikut berjuang demi bumi? Yuk, kenalan!
F. Deliana Winki, Pendiri dan pengajar Sekolah Adat Arus Kualan
Tantangan modern, seperti globalisasi, memunculkan risiko kehilangan identitas budaya. Anak-anak muda Dayak Simpakng cenderung terpapar oleh pengaruh luar yang dapat merusak pengetahuan tradisional.
“Di Sekolah Adat Arus Kualan, semua orang bisa menjadi guru, dan alam raya adalah ruang kelas kami. Tidak ada dominasi, dan semua individu adalah sama. Sekolah ini bertujuan untuk menyatukan anak-anak Dayak, terutama untuk memungkinkan mereka kembali pada nilai-nilai adat, belajar pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, menanamkan rasa identitas yang kuat pada generasi muda Dayak, dan menekankan pentingnya tumbuh sebagai orang Dayak di era modern,” kata Deli, yang pada 2014 mendirikan sekolah tersebut bersama perempuan adat lain bernama Plorentina Dessy Elma Thyana.
Sekolah yang telah mempunyai empat cabang ini membawa banyak perubahan. Salah satunya, menghidupkan kembali pengetahuan tradisional yang telah terlupakan dan terkikis oleh zaman. Dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial, sekolah ini mendokumentasikan pengetahuan para tetua yang diturunkan secara lisan melalui film dokumenter, penulisan, dan penelitian.
“Di samping itu, rasa percaya diri anak-anak terhadap kebudayaan mereka juga meningkat. Sebelumnya, mereka tidak berani tampil di depan umum dan berbicara tentang budaya mereka,” katanya.
Deli juga melakukan advokasi terhadap isu-isu lingkungan, pendidikan, serta hak-hak pemuda dan masyarakat adat. Uniknya, salah satu media utama yang ia gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan positif adalah alat musik tradisional khas suku Dayak bernama sape’.
“Musik sape’ memiliki kekuatan besar, karena mewakili suara alam Kalimantan, mengalun dengan harmoni yang mencerminkan hubungan yang erat antara masyarakat adat Dayak dengan alam dan lingkungannya. Melalui melodi dan alunan sape’ yang dihasilkan, saya dapat menyuarakan keresahan tentang deforestasi hutan Kalimantan, hilangnya hak-hak masyarakat adat, serta ancaman terhadap kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak,” kata Deli.
Baca juga: Monika Maritjie Kailey: Perempuan Adat Penjaga Aru
Novita Ayu Matoneng Oilsana, Pendiri Komunitas BALENTA
Isu yang menjadi fokus kegiatan Komunitas BALENTA adalah pemenuhan hak anak, kesehatan reproduksi remaja, dan kesehatan mental. Mengapa? “Karena, anak-anak termasuk yang paling terdampak, ketika terjadi bencana. Oleh sebab itu, kami fokuskan untuk memberikan pendampingan psikososial dan trauma healing kepada anak-anak,” kata Novita.
Komunitas tersebut berawal saat Novita dan teman-temannya terlibat sebagai relawan untuk memberi pendampingan yang sama bagi anak-anak terdampak bencana siklon tropis Seroja selama sekitar 2 bulan. Ketika itu, mereka membuka donasi di akun media sosial dan juga mendistribusikan bantuan ke beberapa titik lokasi bencana, sambil bermain dan belajar bersama anak-anak di sana.
Novita bercerita, meski komunitas BALENTA saat ini dalam masa transisi, ia dan beberapa teman di Alor masih aktif melakukan edukasi dan kampanye sebagai fasilitator dan pembicara di beberapa kegiatan yang diadakan oleh gereja, serta pusat pengembangan anak dan sekolah. “Kami mengupayakan untuk memberikan pemahaman tentang mitigasi isu dan bencana sesuai kapasitas dan kemampuan kami,” katanya.
Dalam hal isu lingkungan dan sosial, menurut Novita, yang menjadi tantangan adalah kedua isu tersebut tidak dipandang sebagai isu yang seksi oleh orang muda. “Mereka tahu dan paham tetapi tidak tertarik untuk terlibat terlalu jauh, sebab sangat berisiko, terlebih bagi mereka bekerja dalam instansi pemerintahan atau berencana menjadi bagian dari instansi.”
Tak patah arang, Novita dan timnya berkampanye di media sosial, branding gerakan dan kerja mereka, serta berkolaborasi dengan pemuda gereja, pemuda masjid dan sejumlah komunitas akar rumput untuk memperbanyak dan memperluas gerakan aksi BALENTA. “Kami menyadari bahwa isu ini tidak dapat kami suarakan sendiri,” tegas Novita.
Salma Zakiyah, Program Officer MADANI Berkelanjutan
MADANI Berkelanjutan merupakan organisasi yang memelopori kolaborasi lintas sektor dan aktor untuk aksi penyelamatan iklim melalui perbaikan tata kelola sumber daya alam, terkhusus hutan dan lahan. Salma berpandangan, selama ini, pembahasan soal aksi mitigasi dan adaptasi selalu dilakukan secara terpisah. Seakan-akan upaya pengurangan emisi yang dilakukan secara besar-besaran bisa dipisahkan dari upaya menciptakan resiliensi masyarakat.
“Pandangan seperti ini sering kali semakin menyingkirkan masyarakat rentan dari diskusi terkait upaya penanggulangan krisis iklim dan justru meningkatkan kerentanan masyarakat rentan itu sendiri. Karena itu, MADANI bersama organisasi lain berusaha mengadvokasi pentingnya berangkat dari mengakomodasi kebutuhan spesifik masyarakat rentan terlebih dahulu, yang secara tidak langsung akan mengurangi emisi juga,” kata Salma.
Ia mencontohkan, salah satu program pemerintah untuk mengatasi krisis pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim adalah pengembangan food estate. Program ini tidak jarang justru semakin menambah kerentanan masyarakat. “Kami mendorong pentingnya pengakuan, tidak hanya wilayah adat yang telah dikelola masyarakat, tapi juga pengakuan atas pengetahuan pengelolaan lahan, pemilihan bibit dari masyarakat adat untuk menciptakan ketahanan pangan.”
Bagi Salma, salah satu tugas yang paling menantang adalah menjadi salah satu driver utama dalam menjembatani lebih dari 60 NGO untuk sama-sama memberikan masukan terhadap dokumen komitmen iklim Indonesia, supaya berlandaskan prinsip-prinsip keadilan iklim, termasuk mengakomodasi kebutuhan spesifik dari kelompok rentan.
“Tantangan utama dalam membangun kolaborasi tersebut adalah menjadi fasilitator bagi pandangan dan ideologi NGO yang berbeda-beda dan bagaimana mengakomodasi setiap pandangan yang berbeda itu, supaya NGO di Indonesia bisa mengeluarkan pandangan bersama soal keadilan iklim, seperti apa yang ingin dicapai,” kata Salma.
Baca juga: Ekofeminisme, Gerakan Perempuan Perjuangkan Keadilan Lingkungan Hidup
Naomi Waisimon, Social Entrepreneur
Berawal dari Gerakan Menoken di wilayah adat Mamta, Kabupaten Jayapura, Naomi aktif dan belajar memahami pengembangan ekonomi berbasis masyarakat, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal. Sebuah filosofi diangkat dalam Gerakan Menoken, yakni filosofi noken, yang mengandung nilai kelenturan yang berarti fleksibilitas, kerahiman yang berarti kasih, serta kekerabatan. Gerakan Menoken memiliki tiga fokus kegiatan, yakni menanam, memulihkan tanah dan air, serta mengembangkan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).
Naomi berpendapat, masalah lingkungan akan muncul bersama dengan masalah ekonomi. Itulah kenapa gerakan menoken tak hanya berusaha mengembalikan kelestarian lingkungan, tetapi juga berupaya mengembangkan ekonomi masyarakat.
“Tuntutan ekonomi karena perkembangan zaman dan perubahan gaya hidup mengakibatkan bertambahnya kebutuhan ekonomi. Saat menjual hasil kebun atau hasil buruan tidak bisa menutup kebutuhan, maka tawaran konversi lahan dengan kompensasi tertentu akan dipilih oleh sebagian dari anggota komunitas adat.”
Ia juga menemukan masalah dalam literasi keuangan. Saat mendampingi pengembangan BUMMA, ia menemukan bahwa banyak akar masalah bersumber dari kurangnya kemampuan menghitung.
“Banyak dari komunitas adat yang belum mampu mengkonversi harta tanah ulayat, hutan, dan sungai, menjadi aset yang mampu memberikan penghidupan jangka panjang. Jika aset tersebut dijaga dan dikelola dengan bijak bisa lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengelolaan masif dalam jangka waktu yang pendek,” kata Naomi, yang juga mengembangkan noken, tas tradisional Papua dari serat kayu, bersama kelompok mama-mama Noken di Namblong.
Naomi juga gencar mempromosikan ekowisata di Papua bersama Isyo Hills dan BUMMA Namblong, tepatnya di distrik Nimbokrang dan Nimboran, Kabupaten Jayapura. Ekowisata itu berupa birdwatching dan wildlife tour untuk mengamati burung khas Papua dan satwa endemik lain, seperti kanguru pohon, kupu-kupu, soa-soa, dan kus-kus.
“Kami sedang mempersiapkan kegiatan sungai, seperti kayak dengan rakit bambu dan olahraga air, seperti standing paddle board,” pungkasnya.
Selain empat perempuan muda, ada juga Andi Reza Zulkarnain, Co-chair Young People Action Team (YPAT) UNICEF East Asia and Pacific (EAPRO) dan Raja Mulkan Azhari sebagai Campaigner Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA).