Home » News » Perempuan Rentan Menjadi Korban Perdagangan Manusia

Perempuan Rentan Menjadi Korban Perdagangan Manusia

Yuni Camelia Putri

News

Perempuan rentan menjadi korban perdagangan manusia

Bincangperempuan.com- Perdagangan manusia atau human trafficking menjadi salah satu bentuk kejahatan serius, menindas hak orang lain dan praktiknya menggunakan sindikat. Pelaku kejahatan memanfaatkan korbannya dengan cara memanipulasi psikis korban agar dapat diperjualbelikan dan dieksploitasi.

Dalam konteks hukum di Indonesia, human trafficking disebut dengan istilah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sejalan dengan apa yang termaktub dalam KHUP dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Simfoni Kementerian PPA mencatat ada 1.418 kasus TPPO yang terjadi dengan korban 1.581 dalam kurun 2020-2022. Mayoritas korban dari tindak kejahatan ini adalah perempuan dan anak. Perempuan kerap kali menjadi target utama dalam kejahatan TPPO, karena pelaku cenderung menekan korban baik secara fisik dan psikologis.

Penyebab Perdagangan Manusia

Gaut, W (2017) dalam Feminisasi Perdagangan Manusia menyatakan bahwa dalam fenomena human trafficking secara global, perempuan menjadi  kelompok masyarakat yang dinilai lemah dan dipandang rendah dibandingkan kelompok lainnya. Stereotipe ini dianggap sebagai hal yang wajar bagi masyarakat sekitar.

Ada beberapa faktor yang menjadikan perempuan menempati posisi pertama sebagai korban terbanyak dalam kasus TPPO. 

1. Ketimpangan gender dan diskriminasi 

Ketimpangan gender dan diskriminasi terhadap perempuan menjadi  akar masalah yang sampai saat ini belum kunjung tuntas. Menurut Joan Wolski Conn, kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam situasi lingkungan dengan dominasi budaya yang mengedepankan tindakan kaum laki-laki untuk kepentingan kaum laki-laki itu sendiri. 

Hal ini menciptakan konsepsi gender melalui pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok menurut kategori gender sehingga perempuan berada di posisi terbawah, rentan dimanipulasi dan dieksploitasi untuk tujuan tertentu. Menurut Gaut, W (2017), pelaku kejahatan TPPO akan memanfaatkan situasi ini untuk  memanipulasi korban dengan menjanjikan pekerjaan, perlindungan dan kehidupan yang lebih layak. 

2. Tekanan ekonomi dan konflik 

Kondisi perekonomian yang buruk serta tingginya angka kemiskinan menjadi faktor pendorong pelaku TPPO menargetkan perempuan. Ini dipicu semangat perempuan untuk mencari kesempatan kerja dan memperbaiki kondisi hidup. Situasi ini kerap kali dimanfaatkan pelaku TPPO memberikan iming-iming pekerjaan dengan penghasilan menjanjikan. Terdesak kebutuhan ekonomi, membuat para korban cenderung mengabaikan kemungkinan akan dieksploitasi.

Hal yang sama juga dialami korban perang atau imigran yang berusaha mencari kehidupan atau suaka di negara lain. Korban-korban TPPO sering kali  kehilangan akses jaringan sosial dan informasi sehingga rentan untuk dimanipulasi oleh pelaku.

Baca juga: Retno Agustina Ekaputri: Kebijakan Ekonomi Harus Pro Perempuan

3. Kemajuan teknologi 

Pelaku TPPO menjadi lebih mudah menjangkau korban dengan kemajuan teknologi melalui internet dan media sosial. Praktik grooming, pemerasan, modus penipuan hingga pencurian data pribadi marak dilakukan pelaku untuk mendapatkan akses terhadap korban.

Seperti dialami seorang perempuan yang menjadi korban TPPO melalui postingan pekerjaan menjadi telemarketing di Dubai. Korban yang tergiur kemudian mengambil pekerjaan tersebut tanpa berpikir panjang. Setelah terjebak, pelaku kemudian mengirimkan korban ke Myanmar dan memaksa korban untuk mencari korban lainnya.

Modus Perdagangan Manusia yang Sering Ditemukan

Di kawasan Asia Tenggara, ada tiga modus operandi yang banyak digunakan oleh para pelaku TPPO, yakni perdagangan seks komersial, perbudakan domestik, dan perdagangan organ ilegal. 

1. Perdagangan seks komersial

Seks komersial menempati posisi pertama yang sering digunakan oleh pelaku perdagangan manusia. Perempuan yang menjadi korban ini dijual dan dipaksa untuk terlibat sebagai pekerja seks komersial dalam negeri atau lintas negara. Pelaku umumnya menawarkan pekerja seperti model atau entertainer untuk menarik perhatian korban.

Baca juga: Perempuan Pekerja Seni, dan Beban Ganda yang Kerap Diabaikan 

2. Perbudakan domestik

Perbudakan domestik sering kali memaksa perempuan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dengan upah rendah atau tidak  mendapatkan upah sama sekali hingga sulitnya dalam mengakses perlindungan hukum yang memadai. Korban-korban ini kebanyakan berasal  dari orang asing atau migran dengan keterbatasan bahasa dan  budaya lokal. Mereka kerap dipekerjakan dengan waktu yang panjang, sehingga rentan mengalami eksploitasi. Praktik ini melibatkan psikologis  korban dengan cara memanipulasi korban untuk tetap bertahan dalam  kondisi ini. 

3. Perdagangan organ ilegal

Permintaan pasar organ yang tinggi menjadikan pelaku TPPO melakukan praktik pengambilan dan perdagangan organ secara ilegal. Perempuan yang rentan dalam modus ini berasal imigran, pengungsi atau orang miskin. Kebanyakan korban perdagangan manusia melakukan hal ini sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang. Para pelaku biasanya akan merayu atau mengiming-imingi korban dengan bayaran yang tinggi. Pelaku juga memalsukan surat persetujuan  keluarga untuk mengelabui korban.

Baca juga: Perempuan Pembela HAM, Berdedikasi Penuh Namun Minim Pengakuan

Asia Tenggara Kawasan Penyumbang TPPO terbanyak

Jika melihat faktor-faktor tersebut, perempuan yang tidak mendapatkan keadilan gender dan menerima perlakuan diskriminatif rentan menjadi korban TPPO. Asia Tenggara tercatat sebagai kawasan penyumbang kasus TPPO terbanyak. Peringatan yang dikeluarkan Interpol kepada 195 negara pada Juni 2023 mengatakan sebagian besar korban berasal dari negara-negara Asia seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Indonesia. 

Data terbaru yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ribuan orang di Asia Tenggara menjadi korban perdagangan manusia setiap tahunnya. Sayangnya, data yang didapatkan sangat terbatas dan kurang akurat karena berhasil disembunyikan oleh pelaku. 

Pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus TPPO mencapai 100 persen pada tahun 2022. Selain itu, data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat sebanyak 96 persen korban TPPO adalah anak dan perempuan.  Kasus ini menjadi masalah  serius yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius dari negara-negara Asia Tenggara. 

Cara untuk Menghindari Perdagangan Manusia 

Menurut Lela Tolajian dan Alix Nasri dalam podcast “Fighting human trafficking in an era of crisis – how can we do better?” ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus TPPO agar tidak semakin menyebar.

Pertama, meningkatkan perlindungan hukum. Lemahnya perlindungan hukum menjadikan  pelaku TPPO dapat dengan mudah memanipulasi dan mengeksploitasi perempuan yang sedang mencari kerja. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah diminta untuk memastikan para pekerja dilindungi oleh undang-undang yang berlaku dan menjamin hak-hak ketenagakerjaannya secara adil. 

Hal ini bertujuan agar para pekerja yang berstatus imigran, pengungsi atau mereka yang berada dalam kemiskinan dapat terhindar dari eksploitasi selama bekerja. Selain itu, penegak hukum dinilai harus lebih tegas terhadap pelaku TPPO dengan memberikan sanksi yang lebih  berat agar dapat menghilangkan praktik tersebut. 

Kedua, memberikan akses perekrutan pekerjaan yang adil. Ini bertujuan untuk memperkecil kemungkinan jatuh dalam situasi kerja paksa dan eksploitasi. Selain itu, baik perusahaan atau pencari kerja harus memastikan lagi kemungkinan terhadap pungutan liar atau kontrak kerja yang akan mengikat seseorang untuk tetap bekerja sehingga dapat terus dieksploitasi. Akses perekrutan yang adil akan membantu masyarakat terutama perempuan untuk memperbaiki ekonomi dan mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Baca juga: Peran dan Tantangan Perempuan dalam Diplomasi

Ketiga, meningkatkan kesadaran individu atau masyarakat. Meningkatkan kesadaran akan bahaya perdagangan manusia sangat diperlukan untuk mencegah perkembangannya. Mereka yang berpotensi menjadi korban diminta untuk lebih peka tentang tawaran pekerjaan atau modus lainnya yang ditemukan di internet atau di lingkungan sekitarnya. Untuk mendukung hal ini, pemerintah dapat  melakukan kampanye kepada masyarakat, khususnya perempuan tentang bahaya TPPO dan tindakan pencegahannya. 

Selain ketiga cara di atas, pemerintah lokal dan instansi internasional dapat melakukan kerja sama untuk menekan pertumbuhan kasus TPPO. Kerja sama yang kuat melalui koordinasi antarnegara dapat membantu masyarakat dalam menghadapi dan menangani modus perdagangan manusia yang terus diperbaharui. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia bekerja sama secara aktif dengan IOM dalam mengatasi kasus TPPO di Indonesia. 

Selain itu, Indonesia bersama negara di Asia Tenggara lainnya menjalin kerjasama dengan Australia melalui program ASEAN-Australia Counter Trafficking (ASEAN-ACT) dan South East Asia Justice Network (SEAJust) sebagai upaya dalam melindungi korban dan memberantas kelompok perdagangan manusia melalui keadilan hukum. 

Melalui  langkah-langkah seperti meningkatkan kesadaran masyarakat, meningkatkan  perlindungan hukum, penguatan ekonomi dan peningkatan kerja sama internasional diperlukan untuk melindungi perempuan dari eksploitasi dan kasus TPPO. Untuk itu, diperlukan peran aktif untuk bekerja sama dalam mengatasi TPPO melalui edukasi kepada perempuan tentang bahaya serta upaya dalam memerangi TPPO. (Yuni Camelia Putri/eL) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Representasi Perempuan di Media Masih Mencerminkan Masyarakat yang Patriarki

Yayasan PUPA: Membangun Masa Depan Perempuan dan Anak yang Berkeadilan

Artificial Intelligence dan Ancaman Pornografi di Ruang Digital

Leave a Comment