Bincangperempuan.com- Representasi perempuan dalam industri budaya populer kerap kali tidak realistis dan timpang jika dibandingkan laki-laki. Budaya kita yang masih patriarkis ditambah dengan mendominasinya male gaze dalam produksi media turut bertanggung jawab besar terhadap penyematan paksa peran-peran stereotipe dan juga objektifikasi terhadap perempuan, khususnya dalam media.
Padahal, hal-hal yang dikonsumsi dari budaya populer tersebut turut mempengaruhi persepsi kita terhadap apa pun, termasuk dalam bertindak dan bersikap. Dalam konteks ini, ada lagi alat untuk memperkuat ekspektasi male gaze dan merawat pandangan patriarkis terhadap bagaimana perempuan direpresentasikan dalam media, yaitu trope seksis.
Trope seksis adalah pola, ciri khas, atau konvensi dalam narasi yang memperkuat stereotipe serta ketidaksetaraan gender dan seringkali mereduksi kompleksitas karakter perempuan. Dalam industri budaya populer yang sarat entertainment, kita paling sering menjumpai trope seksis dalam media yang berbasis fiksi, seperti film, anime, buku, komik, games.
Setidaknya, ada empat trope seksis yang penting kita ketahui supaya tidak terjebak dalam representasi yang memperkuat ketidaksetaraan gender dalam masyarakat kita, yaitu:
Woman in Refrigerator
Dicetuskan pertama kali oleh Gail Simone, Woman in Refrigerator adalah pola ketika tokoh perempuan, terutama yang berperan sebagai kekasih atau istri, disakiti, dilemahkan secara fisik dan emosional, mengalami kekerasan seksual, hingga dibunuh demi memicu perkembangan cerita yang emosional untuk protagonis laki-laki. Simone menyoroti bagaimana tokoh laki-laki lebih banyak ditampilkan mati dengan mulia sebagai pahlawan, sementara tokoh perempuan sering digambarkan ditemukan oleh tokoh laki-laki dalam keadaan terbunuh. Hadirnya istilah ini dilatarbelakangi oleh cerita dari komik Green Lantern, superhero laki-laki, yang menemukan kekasihnya, Alexandra DeWitt, di lemari es dalam keadaan terbunuh.
Tanpa adanya pendalaman karakter yang signifikan dan sama kuatnya, trope Woman in Refrigerator menjadi seksis dan problematik karena dapat memperkuat stereotip bahwa perempuan hanya ada untuk menjadi penyebab motivasi bagi tokoh laki-laki. Trope ini juga melanggengkan pandangan patriarkis dan misoginis karena menjadikan perempuan sekadar objek penderitaan yang bisa berujung pada normalisasi kekerasan terhadap perempuan. Jika terus-menerus dirawat, trope ini dapat memperkuat ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam media.
Baca juga: Masih Banyak Perempuan Bekerja Tanpa Dibayar
Manic Pixie Dream Girl
Pertama kali dicetuskan oleh kritikus Nathan Rabin, Manic Pixie Dream Girl adalah pola ketika tokoh perempuan digambarkan dengan nyentrik dan misterius hanya untuk memberikan motivasi atau latar belakang supaya tokoh laki-laki mau keluar dari zona nyamannya. Dalam ulasannya terhadap film Elizabethtown (2005), Rabin menyebut karakter Claire, tokoh utama perempuan, sebagai manic pixie dream girl yang diciptakan untuk mengajarkan si tokoh laki-laki mau menerima kehidupannya.
Trope ini menjadi seksis dan problematik ketika si tokoh perempuan, dengan segala sisi eksentrik dan misteriusnya, tidak diberikan pendalaman karakter yang lebih luwes dan kompleks. Dengan kata lain, kepribadiannya hanya sekadar alat untuk mengembangkan karakter dan memberikan warna kehidupan bagi si tokoh laki-laki. Dampaknya juga bisa dirasakan oleh perempuan di dunia nyata, karena trope manic pixie dream girl lewat media mereduksi serta mengecilkan peran perempuan karena eksistensi mereka sebagai individu sekadar menjadi alat penopang dan hanya berpusat untuk laki-laki.
Damsel in Distress
Istilah ini sebenarnya tidak asing dan sudah muncul dalam sastra-sastra abad pertengahan. Trope Damsel in Distress sebenarnya klise dan masih bisa kita temui di latar masa kini, yaitu narasi ketika seorang tokoh perempuan digambarkan sebagai korban yang lemah dan membutuhkan tokoh laki-laki untuk menyelamatkannya, atau ketika tokoh laki-laki diharuskan menyelamatkan tokoh perempuan yang lemah, dan mereka sudah atau akan berakhir jatuh cinta satu sama lain.
Yang cukup membedakan damsel in distress dengan trope-trope sebelumnya, pendapat Studio Binder, meskipun tokoh perempuannya memiliki karakterisasi yang kuat, fungsi utama perannya tetap “diselamatkan” dan “ditolong”. Dengan kata lain, penggunaan trope ini akan selalu terkena “kartu merah” karena melestarikan pandangan bahwa perempuan adalah objek pasif tidak berdaya yang bergantung pada laki-laki. Jika trope ini terus dipertahankan dalam media, dapat menyuburkan persepsi yang merugikan perempuan serta memperkuat ketimpangan kekuasaan dan kontrol antar-gender dalam masyarakat di dunia nyata.
Baca juga: Siti Syawaliyah, Wasit Perempuan Pertama di Aceh
The Career Woman as Villain
The Career Woman as Villain adalah trope yang menggambarkan perempuan ambisius atau sukses dalam karier sebagai karakter dengan sifat-sifat negatif seperti egois, dingin, manipulatif, atau tidak bahagia yang diposisikan sebagai antagonis dalam cerita. Sementara protagonis laki-lakinya tidak hanya memiliki karier yang sukses, tetapi juga seringkali digambarkan sebagai tokoh yang baik dan lebih bermoral. Dengan demikian, perempuan karier sering kali dianggap sebagai ancaman bagi protagonis laki-laki atau sebagai hambatan dalam pencapaian tujuan mereka.
Jika tidak dikembangkan dengan hati-hati, trope ini menyebarkan pesan misoginis bahwa perempuan, terutama yang berkarier atau yang memiliki kekuasaan, tidak dapat membawa kebaikan apa pun sehingga dianggap sebagai musuh atau lawan yang harus dikalahkan. Selain itu, trope ini juga dapat merangkul pandangan patriarkis yang menekankan bahwa perempuan seharusnya tidak ambisius atau terlalu sukses dalam karier mereka karena dapat mengancam status quo yang ditetapkan oleh masyarakat yang didominasi laki-laki. Dampaknya buruk karena hal ini mempengaruhi cara perempuan diperlakukan atau dinilai dalam lingkungan kerja dan masyarakat secara umum.
Selain membatasi peran dan potensi perempuan, penggunaan trope seksis di media sangat merugikan perempuan karena dapat berkontribusi dalam merawat stereotip dan memperkuat ketidaksetaraan gender. Maka dari itu, penting untuk mengkritisi dan menentang penggunaan trope seksis dalam narasi media.
Dengan menyadari dan menyoroti trope-trope yang seksis dalam narasi di media, kita dapat membuka ruang untuk menciptakan representasi perempuan lebih realistis, inklusif, adil, dan bervariasi.