Bincangperempuan.com- B’Pers, belakangan kasus child grooming dan eksploitasi seksual terhadap anak semakin sering muncul dalam pemberitaan. Perdebatan pun muncul mengenai batas usia legal dalam sebuah hubungan, kapan hubungan dianggap sah secara hukum, dan kapan dianggap sebagai eksploitasi atau bahkan pelecehan?
Di berbagai negara, usia legal atau age of consent berbeda-beda. Namun, secara umum, kebanyakan negara menetapkan batas minimal di atas 16 tahun. Kenapa bukan lebih rendah? Dan bagaimana hukum menilai hubungan antara orang dewasa dan minor?
Apa Itu Usia Legal dan Bagaimana Penetapannya?
Melansir dari World Population Review, age of consent adalah usia minimum di mana seseorang dianggap secara hukum mampu memberikan persetujuan terhadap aktivitas seksual. Jika seseorang di bawah usia tersebut terlibat dalam hubungan seksual, maka hubungan itu bisa dianggap sebagai pemerkosaan, terlepas dari apakah pihak yang lebih muda menyetujuinya atau tidak.
Batas usia consent berbeda-beda di berbagai negara:
- 12 tahun: Angola, Filipina (terendah di dunia)
- 13 tahun: Jepang, Niger
- 14-15 tahun: Sebagian besar negara Eropa dan Amerika Selatan
- 16-17 tahun: Mayoritas negara di Eropa dan Amerika Utara
- 18 tahun: Negara seperti Malta, Vatikan, Argentina, dan Chile
Beberapa negara, seperti Arab Saudi, Iran, Pakistan, dan Qatar, tidak memiliki batas usia consent tetapi mensyaratkan pernikahan terlebih dahulu.
Selain itu, beberapa wilayah Amerika memiliki aturan “Romeo and Juliet Clause”, yang memberikan pengecualian jika kedua pasangan berusia di bawah batas usia legal dan memiliki selisih usia yang kecil. Misalnya kedua belah pihak masih berusia di bawah 16 tahun dan memiliki selisih usia dua atau atau tiga tahun. Namun, tidak semua negara menerapkan aturan ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, usia consent secara hukum adalah 18 tahun, seperti yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak. Namun, ada perdebatan seputar pernikahan dini dan eksploitasi anak, terutama dalam konteks budaya dan norma sosial.
Baca juga: Waspada, Child Grooming Lewat Game Online
Kenapa Usia Legal Umumnya di Atas 15 Tahun?
Dari segi psikologis Ada beberapa alasan utama mengapa kebanyakan negara menetapkan batas usia di atas 16 tahun:
1. Aspek Psikologis: Otak Remaja Masih Berkembang
Menurut penelitian di bidang neurosains, otak manusia tidak berkembang sepenuhnya hingga usia pertengahan 20-an. Remaja memang bisa membuat keputusan rasional dalam situasi tenang (cool situations), tetapi dalam situasi penuh tekanan sosial atau emosional (hot situations), mereka cenderung impulsif dan mudah dimanipulasi.
Inilah alasan mengapa remaja lebih rentan terhadap grooming, yaitu taktik manipulasi oleh orang dewasa untuk membangun kepercayaan sebelum melakukan eksploitasi.
2. Aspek Hukum: Mencegah Eksploitasi
Batas usia consent dibuat untuk melindungi anak dari eksploitasi seksual. Tanpa batasan ini, individu yang lebih tua bisa memanfaatkan ketidaktahuan atau ketidakmatangan emosional remaja untuk keuntungan mereka sendiri.
3. Aspek Sosial dan Budaya: Mencegah Pernikahan Dini
Beberapa negara menetapkan usia legal yang tinggi untuk mencegah pernikahan anak. Pernikahan dini sering dikaitkan dengan berbagai masalah, seperti putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan risiko kesehatan pada kehamilan remaja.
Baca juga: Mengapa Child Grooming Termasuk Kekerasan Seksual?
Kapan Sebuah Hubungan Dianggap Ilegal?
Tidak semua hubungan dengan perbedaan usia otomatis ilegal. Namun, ada beberapa faktor yang bisa membuat hubungan menjadi eksploitasi atau grooming:
1. Perbedaan Usia yang Signifikan
Jika perbedaan usia terlalu besar (misalnya 15 tahun dengan 25 tahun), maka ada kemungkinan ketidakseimbangan kuasa.
2. Ketidakseimbangan Kuasa
Jika salah satu pihak memiliki kuasa lebih besar (guru-murid, atasan-bawahan), maka persetujuan tidak bisa dianggap setara.
3. Unsur Manipulasi
Jika orang dewasa menggunakan tekanan emosional, hadiah, atau ancaman agar minor setuju melakukan sesuatu.
Beberapa negara memiliki aturan khusus untuk mencegah grooming, termasuk larangan bagi orang dewasa untuk mengirim pesan seksual kepada anak di bawah usia tertentu.
Tantangan dalam Menegakkan Hukum
Menegakkan batas usia legal bukanlah hal yang mudah karena adanya berbagai tantangan:
1. Batasan hukum yang tidak selalu jelas
Di Indonesia, terdapat perbedaan antara usia minimum untuk pernikahan dan usia persetujuan seksual (age of consent). Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Namun, tidak ada ketentuan eksplisit mengenai usia persetujuan seksual dalam hukum pidana Indonesia. Sedangkan di hukum perdata, batasan usia dewasa adalah 21 tahun. Perbedaan ini bisa menjadi celah yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur.
2. Normalisasi dalam masyarakat
Dalam beberapa budaya dan komunitas, hubungan antara orang dewasa dan remaja mungkin dianggap wajar atau diterima. Misalnya, pernikahan anak masih terjadi di beberapa daerah dengan alasan tradisi atau ekonomi. Data dari UNICEF 2023 dilansir dari VOA menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 jumlah pernikahan anak tertinggi di dunia. Normalisasi semacam ini dapat menyulitkan identifikasi dan penanganan kasus eksploitasi seksual atau child grooming.
3. Kurangnya kesadaran tentang child grooming
Child grooming adalah proses di mana pelaku membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan anak atau remaja untuk tujuan eksploitasi seksual. Banyak orang tua, guru, dan remaja sendiri yang belum sepenuhnya memahami atau mengenali tanda-tanda grooming. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menyatakan keprihatinannya terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk melalui modus grooming online. Kurangnya pemahaman ini membuat anak-anak lebih rentan menjadi korban tanpa disadari oleh lingkungan sekitarnya.
Sebab usia legal bukan hanya soal menentukan angka, melainkan upaya melindungi individu dari eksploitasi dan penyalahgunaan. Batas usia ini didasarkan pada pertimbangan hukum, psikologi, dan sosial yang menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja belum memiliki kapasitas penuh untuk membuat keputusan yang matang dalam situasi tertentu.
Oleh karena itu penting untuk menyadari dan mengenali tanda-tanda eksploitasi, memahami risiko child grooming, serta memberikan pendidikan seks dan relasi yang sehat.
Referensi:
- Standard. (2024). Ages of Consent Around the World. Diakses dari https://www.standard.co.uk/news/world/ages-of-consent-around-world-countries-laws-b1061907.html
- Voice of America. (2023, 16 Februari). Konsekuensi perkawinan anak ancam masa depan generasi muda. VOA Indonesia. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/amp/konsekuensi-perkawinan-anak-ancam-masa-depan-generasi-muda/7711517.html
- Vox. (2017). The Teenage Brain and Consent Laws. Diakses dari https://www.vox.com/the-big-idea/2017/11/20/16677180/age-consent-teenage-psychology-law-roy-moore
- World Population Review. (2024). Age of Consent by Country. Diakses dari https://worldpopulationreview.com/country-rankings/age-of-consent-by-country