Home » News » Kenapa Laki-laki Bangga Punya Banyak Pasangan, Tapi Perempuan Tidak?

Kenapa Laki-laki Bangga Punya Banyak Pasangan, Tapi Perempuan Tidak?

Ais Fahira

News

Kenapa Laki-laki Bangga Punya Banyak Pasangan, Tapi Perempuan Tidak

Bincangperempuan.com- Baru-baru ini, pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai tentang memiliki tiga pacar sukses membuat heboh media sosial. Sadar jadi bahan perbincangan, ia buru-buru mengklarifikasi bahwa ketiga pacar tersebut tidak ia miliki dalam waktu yang bersamaan. Dari berita ini muncul pertanyaan menarik, kira-kira bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan yang punya banyak pasangan? 

Ternyata masyarakat cenderung mempunyai pandangan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang punya banyak pasangan lebih sering dianggap “keren” atau menarik, sementara perempuan yang punya banyak pasangan malah dicap sebagai “murahan” atau “tak tahu malu.” 

Mengapa demikian? Apa yang membuat masyarakat membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini? Kenapa norma sosial semacam ini bisa berkembang? Nah, untuk lebih memahami itu, kita perlu menggali lebih dalam bagaimana norma-norma ini terbentuk, dan apa saja yang memengaruhi pandangan kita terhadap seksualitas laki-laki dan perempuan selama ini.

Baca juga: Mengapa Pendidikan Seks Inklusif Itu Penting?

Peran Budaya Populer

Dalam banyak film atau acara televisi, sampai dalam novel-novel, karakter laki-laki dengan banyak pasangan sering digambarkan sebagai sosok yang karismatik dan menarik. Mereka disebut-sebut memiliki daya tarik alami yang membuat mereka sering “bermain-main” dengan banyak perempuan. Di sisi lain, perempuan dengan perilaku yang sama cenderung mendapat stereotip negatif. Karakter perempuan yang terlibat dalam hubungan dengan banyak laki-laki dalam film sering digambarkan sebagai sosok yang “murahan” atau “nakal”.

Fenomena ini mencerminkan adanya double standard dalam masyarakat dalam menyikapi perilaku seksual laki-laki dan perempuan. Secara sosial, laki-laki sering dianggap sebagai pemimpin yang bebas mengeksplorasi hasrat seksual mereka, sementara perempuan dipandang sebagai sosok yang seharusnya menjaga moral dan kehormatan diri. Pandangan ini mengakar dalam konstruksi sosial yang telah berkembang sejak zaman dahulu.

Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Seksualitas Perempuan dalam Budaya Patriarki (Fujiati, 2016), budaya patriarki menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Seksualitas perempuan sering kali dilihat sebagai sesuatu yang harus dikendalikan untuk melindungi kehormatan keluarga. Sebaliknya, laki-laki diberi kebebasan untuk mengekspresikan seksualitas mereka tanpa takut dihakimi. Representasi ini terus direproduksi oleh media, yang akhirnya memperkuat standar ganda yang ada dalam masyarakat.

Kenapa Perbedaan Ini Ada?

Selain dipengaruhi media, dari segi biologis, berbagai teori dalam bidang evolusi mencoba menjelaskan mengapa ada perbedaan besar dalam cara kita memandang perilaku seksual laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan evolusionis, laki-laki secara biologis cenderung lebih banyak menjalin hubungan seksual untuk meningkatkan peluang mereka dalam menyebarkan gen mereka. 

Sebaliknya, perempuan lebih selektif karena peran mereka dalam reproduksi memerlukan sumber daya yang lebih besar. Perempuan juga memiliki peran yang lebih besar dalam proses reproduksi dibandingkan laki-laki. Proses kehamilan, kelahiran, dan pengasuhan anak membutuhkan investasi fisik dan emosional yang signifikan. 

Di sisi lain, laki-laki yang tidak mengalami proses tersebut, secara evolusioner, lebih banyak berfokus pada penyebaran gen mereka melalui banyak pasangan. Oleh karena itu, Strategi reproduksi laki-laki berfokus pada kuantitas, sementara perempuan lebih cenderung selektif, mengingat investasi biologis mereka dalam proses reproduksi yang jauh lebih besar.

Namun, Sarah Hrdy, seorang antropolog evolusioner, yang menolak pandangan bahwa monogami adalah sifat alami perempuan. Dalam kuliahnya di Harvard Gazette, Hrdy menjelaskan bahwa perempuan juga memiliki kecenderungan untuk mencari pasangan lain sebagai strategi reproduksi, meskipun budaya patriarki sering membatasi kebebasan ini. Pandangannya menyoroti bahwa perempuan tidak semata-mata “terikat” pada pasangan tertentu hanya berdasarkan peran biologis, tetapi lebih kompleks dari itu.

Baca juga: Pernikahan Bukan Sekadar Objek: Menyikapi Tren Unboxing Pengantin

Faktor Sosial yang Membentuk Norma Kesucian

Selain faktor biologis, banyak pengaruh sosial yang membentuk norma kesucian perempuan. Norma-norma yang mengikat perempuan untuk menjaga “kemurnian” tubuh mereka lebih banyak dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang membentuk peran gender dalam masyarakat. Sering kali ungkapan seperti “jaga harga dirimu” atau “jaga kesucianmu” ditekankan kepada perempuan. Mereka harus setia dengan satu pasangan dan apabila memiliki lebih dari satu pasangan dicap buruk. Nilai-nilai ini memiliki dasar untuk menjaga dan melindungi perempuan, tetapi sebenarnya hanya melanggengkan konstruksi sosial yang patriarkis.

Sebuah artikel di Vice menjelaskan bahwa norma sosial tentang seksualitas memberikan tuntutan bagi perempuan untuk menjaga kemurnian keturunannya sedangkan laki-laki tidak. Norma tersebut berakar pada budaya patriarki yang ini memperkuat ketidaksetaraan gender. Budaya ini secara mendalam memengaruhi norma-norma yang diterima oleh masyarakat. Norma tentang kesucian perempuan menjadi alat untuk mengontrol dan mengatur perilaku seksual, bukan hanya untuk tujuan reproduksi, tetapi juga untuk mempertahankan struktur sosial yang telah ada. Struktur sosial yang dimaksud di sini adalah struktur patriarki di mana laki-laki melanggengkan kekuasaan dan dominasi mereka. 

Apa yang Dapat Dilakukan?

Oleh karena itu, seiring berkembangnya kesadaran akan kesetaraan gender dan kebebasan individu, relevansi norma kesucian dalam konteks modern semakin dipertanyakan. Meskipun alasan biologis sempat digunakan untuk membenarkan pembatasan terhadap perilaku seksual perempuan, kini banyak orang mulai menyadari bahwa hak untuk menentukan seksualitas dan hubungan adalah hak individu yang harus dihormati, tanpa memandang jenis kelamin.

Penting untuk memahami bahwa norma sosial ini tidak hanya merupakan masalah perang gender “laki-laki versus perempuan,” tetapi juga bagian dari konstruksi sosial yang perlu dipertanyakan dan dikritik. Judith Butler, seorang ahli teori gender dalam bukunya Gender Trouble (1990), identitas gender dan perilaku seksual seharusnya tidak ditentukan oleh norma sosial atau budaya, melainkan oleh pilihan dan kebebasan individu. Butler menekankan bahwa gender bukanlah sesuatu yang melekat atau alami, tetapi sesuatu yang dibentuk oleh interaksi sosial dan budaya yang ada dan sifatnya cair. Artinya seksualitas dan perilaku gender seharusnya tidak dikekang oleh norma-norma yang sudah usang.

Mengubah pandangan sosial tentang standar ganda dalam hubungan dan seksualitas bukanlah hal yang mudah. Norma-norma ini sudah mengakar lama dan butuh waktu serta usaha untuk dilonggarkan, apalagi jika banyak pihak masih nyaman dengan cara lama. Maka dari itu, kesetaraan gender yang belum penuh ini adalah tugas kita bersama. Pada akhirnya, yang kita perjuangkan adalah kebebasan bagi semua orang untuk menentukan pilihan mereka sendiri tanpa harus takut pada stigma usang yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Kekerasan dalam Pacaran Fenomena yang Terus Diabaikan (1)

Kekerasan dalam Pacaran: Fenomena yang Terus Diabaikan

Skincare Mix & Match 15 Kandungan yang Aman Digunakan Bersamaan

Skincare Mix & Match: 15 Kandungan yang Aman Digunakan Bersamaan

windy cantika, Atlet Perempuan Indonesia yang Mencatat Sejarah di Olimpiade

Atlet Perempuan Indonesia yang Mencatat Sejarah di Olimpiade

Leave a Comment