Bincangperempuan.com– Cita-cita kemanusiaan adalah menjadikan setiap makhluk sebagai subjek penuh dalam kehidupan. Perempuan dan laki-laki harus dilihat sebagai manusia yang utuh. Tidak satu pun menjadi standar bagi pihak lainnya. Untuk itu, dalam merumuskan keadilan dan kebijakan, harus bersumber dari pengetahuan valid setiap subjek. Bagi perempuan, melahirkan adalah salah satunya.
Untuk memperoleh keturunan, perempuan mesti mengalami pengalaman yang berdarah-darah. Mulai dari haid, nifas, sampai melahirkan. Meski terjadi bencana alam atau peperangan, perempuan tetap mengalami sakit berlipat-lipat ini.
Sayangnya, perempuan adalah anak kandung dari sistem patriarki. Ini menjadikannya manusia kelas dua. Suami, orang tua, bahkan anak laki-laki jadi pihak yang seakan dianugrahi kekuatan. Sedangkan pihak yang lemah, mesti tunduk secara mutlak. Kekuatan tersebut adalah alasan untuk mewajarkan tindakan sewenang-wenang.
Urusan ini tentu bukan hanya milik perempuan. Namun, bagi bangsa dan setiap anggota masyarakat. Bayangkan ketika seluruh perempuan menolak untuk hamil. Manusia tentu akan mengalami kepunahan. Beberapa negara sudah mengalaminya, bukan? Mereka akrab menyebut kondisi ini dengan resesi seks.
Bayang-Bayang Keguguran
Indah (30) adalah perempuan asal Lamongan. Saat ini ia sedang bekerja di Taiwan. Sebuah usaha untuk menghidupi putri semata wayangnya. Perlu diketahui, Indah adalah Ibu tunggal. Suaminya pergi dan tak lagi memberi nafkah.
Ia menikah dengan kakak kelas SMA yang lama menjadi pacarnya. Usianya masih 18 tahun. Menikah dan memiliki anak tidak benar-benar dipikirkan. Bermodal nekat dengan uang dari orang tua serta hasil berutang, mereka sah menjadi suami istri.
“Pokoknya apapun dilakuin demi beli susunya anak. Pait banget masa-masa itu, Mba. Aku masih bisa hidup sampai sekarang aja udah bersyukur banget,” ujarnya dalam sambungan telepon.
Ujian berat datang ketika keguguran anak pertamanya. Kala itu, ia tengah bekerja sebagai pelayan sebuah resto di Jakarta. Indah merasa seperti sedang menstuasi. Namun, dengan rasa sakit yang tak biasa. Perutnya melilit seakan ditusuk-tusuk.
Ketika telah menyerah dengan rasa sakitnya itu, Indah memutuskan untuk pergi ke bidan. Di sanalah ia mengetahui jika ternyata dirinya tengah hamil. Bidan menyarankan ia rujuk ke rumah sakit. Saran itu tak kunjung dia patuhi. Menunggu waktu libur kerja menjadi alasannya.
“Masih anak baru. Engga enak kalau izin,” kata Indah.
Keputusan itu melahirkan risiko tersendiri. Dua hari setelah dari bidan dan belum sampai waktunya libur, sakit yang begitu hebat ia rasakan. Ia memutuskan untuk langsung ke rumah sakit.
Baca juga: Mendobrak Stigma Negatif Masyarakat Terhadap Aborsi
Ternyata janinnya telah berusia 6 minggu. Akan tetapi, tidak berkembang sehingga harus diangkat agar tidak menjadi kista. Ia harus menjalani penguretan. Segera ia pesan tiket pulang ke Lamongan. Dengan demikian, ia bisa diurus oleh keluarganya. Namun, keputusan ini membawanya pada risiko lain. Ia mengalami pendarahan di kereta.
“Petugas keretanya sampai bingung. Aku sempat mau diturunin di salah satu stasiun buat di bawa ke RS, tapi aku engga mau. Terus aku ditungguin sama penumpang di sampingku, dikipasin. Ketika sampai langsung digendong sama kakak iparku. Udah keringat dingin, lemes, mau pingsan,” ujar Indah bercerita.
Gumpalan-gumpalan darah yang keluar ketika di kereta ternyata adalah tanda ia keguguran. Bayinya tak bisa diselamatkan.
Beratnya Melalui Operasi Caesar
Adis Noviyanti (29) tinggal di Sumatera Selatan. Lima tahun pernikahan menjadikannya Ibu dari dua anak. Anak pertamanya berusia empat tahun. Sedangkan yang kedua, masih 19 bulan. Dua buah hati yang membuatnya melewati dua kali operasi caesar.
“Sebenarnya agak bergejolak waktu itu, tapi demi kebaikan anak. Ya sudah ngikutin saran dokter. Ternyata cukup menyeramkan,” ujar Adis.
Baca juga: Jalan Panjang Perjuangan Perempuan Hadapi PCOS
Tentu ia menginginkan kelahiran normal seperti ibu-ibu pada umumnya. Terlebih, bius setengah badan yang membuatnya masih sadar ketika menjalani operasi juga membuatnya ngeri.
Dalam prosesi persalinan ini, ia memiliki cerita tersendiri. Setelah anaknya lahir, gerakan tubuhnya tidak terkontrol sehingga harus dibius total hingga dokter melakukan penjahitan. Operasi dimulai jam 11 malam dan ia baru sadar pukul 3 pagi dalam kondisi muntah-muntah.
“Aku cuma denger anak nangis beberapa detik. Belum ketemu anak yang baru dilahirkan itu traumanya luar biasa. Gelisah. Anak belum kesentuh jadi ada rasa kangen,” keluh Adis.
Perjuangannya tidak selesai sampai di situ. Operasi caesar memang membutuhkan waktu penyembuhan lebih lama. Menurut Adis, salah satu yang paling berat adalah perih yang mesti ditanggung. Dari posisi tidur berubah ke duduk saja sakit. Belum lagi bekas disuntik anastesi yang terasa berat.
“Paling sebel kalau ada hal yang lucu. Aku susah nahan ketawa. Itu sakit,” jelasnya.
Ketika saya tanya alasannya mau memberanikan diri untuk memiliki anak lagi, bahkan melalui operasi caesar kedua kali, Adis menjawab tegas, “Kebahagiaan.” Baginya, membesarkan anak dan melihatnya bertumbuh kembang setiap hari adalah hal yang begitu menyenangkan.
Melahirkan Normal Itu Rasanya Seperti Mau Meninggal
Alvina Rossa (22) adalah Ibu asal Yogyakarta. Saat ini kesibukkannya adalah merawat anaknya yang masih bayi. Meski begitu, ia tetap berkenan menanggapi wawancara saya.
“Kalau telepon saya engga bisa karena masih repot merawat anak. Apa bisa lewat pesan? Nanti kalau banyak yang mau ditanyakan santai saja. Saya jawab selagi bisa,” kurang lebih begitu isi pesannya pada saya.
Salah satu yang diceritakan Alvina adalah soal masa-masa mengidam. Ia mengirimkan beberapa Tweetnya terdahulu soal pengalaman ini. Ia menginginkan bakso bakar dari pedagang yang harus berjualan dengan motor keliling sampai makan soto dengan sendok tertentu. Dalam Tweet tersebut ia menuliskan, “Emang ibu hamil itu maunya aneh-aneh. Kalau engga dituruti bakal sedih banget rasanya.” Mual-mual yang identik dengan ibu hamil justru tidak ia rasakan.
“Pernah ngidam mangga kuweni tapi cuma mau baunya aja. Jadi cuma ditaruh gitu aja di sudut rumah,” jelas Alvina.
Melahirkan juga membawa pengalaman luar biasa sakit. Ia mesti merasakan 12 kali jahitan. “Rasanya seperti udah mau nyerah aja. Kaya mau meninggal.”
Baca juga: Perempuan dan Beban Kontrasepsi
Hari perkiraan lahirnya adalah 10 Oktober. Namun, baru tanggal 15 ia mulai merasakan kontraksi. Ketika hari menjelang sore, sakit yang ia rasakan sudah tidak terkontrol meski sang suami mengompres perutnya. Ketika akhirnya dibawa ke puskesmas, ternyata ia sudah masuk pembukaan satu.
“Sama dokter di puskesmas disuruh pulang lagi. Katanya masih dua hari lagi sampai bukaan lengkap. Sejak pulang, saya engga bisa tidur. Saya udah nangis-nangis karena rasanya sakit banget,” Alvina bercerita.
Namun, sekitar jam 23.30, ia sudah tak tahan. Hingga akhirnya kembali ke puskesmas. Ia sudah masuk pembukaan empat. Satu jam berada di ruangan puskesmas, ia memasuki bukaan tujuh. Jam dua pagi baru bertambah satu bukaan lagi.
“Mungkin saya engga sengaja ngeden. Jadi waktu dicek, jalan lahir saya bengkak sehingga harus diberi obat agar kempes. Saya udah engga kuat. Itu saya engga berhenti nangis sembari megangin mertua dan suami. Saya jambak, gigit, tarik. Sudah seperti KDRT,” lanjutnya.
Dirinya sempat bergurau soal kondisi puskesmas yang sepi. Ia beruntung menjadi satu-satunya pasien saat itu sehingga merasa bebas dan tidak malu jika berteriak-teriak.
Kira-kira pukul 2.30, jalan lahirnya sudah kempes. Pukul 03.00, ia masuk pembukaan 9. Perlu diketahui, jika ada 10 tahap pembukaan dalam proses persalinan. “Disitu saya sudah beneran engga tahan. Saya engga peduli apapun, saya mau mati atau apa. Saya cuma mau ngeden terus ketuban saya pecah.”
Anaknya berhasil lahir pukul 03.35 dengan berat 3.5 kg dan panjang 52 cm. Dalam proses persalinan itu, ia harus mengejan selama 35 menit. “Saya pesimis banget sebenarnya bisa lahiran normal karena membayangkan anak saya yang besar di perut.”
Anak Adalah Kekuatan bagi Ibunya
Indah sudah tujuh tahun tak pulang ke Indonesia. Terakhir kali melihat anaknya adalah kala usianya masih satu tahun. Ia baru merencanakan untuk pulang tahun depan. Indah juga ingin lanjut merantau ke Hongkong. Hal ini karena anaknya masih duduk di bangku SMP jika batasan kerja di Taiwan selama 14 tahun telah habis.
“Aku itu pernah stres banget. Bapak dan Ibu sakit-sakitan. Engga ada uang sama sekali. Sawah sama tanah udah kejual semua. Sertifikat rumah juga udah masuk bank. Motor udah kejual buat lahiran,” ujarnya mengenang masa lalu.
Ia beruntung dan beryukur bertemu dengan orang baik yang menawarkan pekerjaan. Selain itu, kenal dengan teman yang menyarankan untuk berkonsultasi dengan psikolog.
“Kalau capek kerja terus video call anak itu buat semangat. Yang penting aku sehat. Cari duit terus buat dia dan banyakin tabungan untuk masa depannya. Udah cukup. Engga perlu apa-apa lagi,” ujar Indah.
Adis juga tidak jauh berbeda. Anak adalah salah satu motivasinya untuk kembali memulai kegiatan akademis sebagai mahasiswa S1 Jurusan Psikolog. Sebelumnya, ia adalah Sarjana Teknik.
Baca juga: Kartini di Sekitar Kita: Perjuangan Gia dan Lita Memaknai Kerja Domestik Perempuan
“Anak aku yang pertama agak spesial karena sempat didiagnosa speech delayed, autis ringan, dan lain-lain. Ini yang bikin ibunya banyak belajar hingga akhirnya memutuskan daftar perkuliahan secara digital,” jelas Adis.
Di akhir wawancara, ia menambahkan jika lingkungan yang mendukung dan memahami kondisi ibu itu sangat penting. Ini menjadi bekal menghadapi tantangan yang terkadang tak terduga. Terlebih, seringkali perhatian hanya tercurah pada anak yang baru dilahirkan.
Alvina juga demikian. Menikah pada usia 20 tahun dan sekarang telah menjadi ibu satu anak tentu memberinya banyak kisah. Walau demikian, ia mengaku masih ingin menambah satu momongan.
“Anak tidur aja saya kangen. Buat saya, engga ada lagi yang lebih berharga daripada anak dan suami. Melihat anak sakit itu dunia seperti runtuh saat itu juga,” jelasnya.
Selama hamil, berat badannya bertambah hingga 22 kg. Perut yang tadinya rata, sekarang menjadi buncit. Kulitnya juga kusam karena tidak pernah melakukan perawatan. Ia khawatir itu akan memberi dampak ke janinnya. Baginya, perjuangan ini sebanding dan terbayar dengan kebahagian yang ia rasakan.
“Kalau engga ada suami, saya juga engga kuat. Engga mau nikah dan hamil tadinya, Mba,” jelas Alvina pada saya. (Delima Purnamasari)