Home » Kesehatan » Kesehatan Reproduksi » Pernikahan dan Keturunan: Apakah Hanya Urusan Perempuan?

Pernikahan dan Keturunan: Apakah Hanya Urusan Perempuan?

Pernikahan dan keturunan apakah hanya urusan perempuan?

bincangperempuan.com- Pada masyarakat yang melanggengkan budaya patriarki, anak adalah lambang kejantanan bagi laki-laki, ia dianggap sebagai gambaran soal kekuatan dan kapasitas seksual mereka. Karena anggapan itu, ketika sebuah rumah tangga kesulitan untuk memiliki keturunan maka perempuan jadi pihak yang cenderung akan disalahkan.

Menurut Kementerian Kesehatan, kemandulan/infertilitas di Indonesia terjadi sebanyak 10-15% dari seluruh pasangan usia subur. Kondisi ini bukan hanya persoalan medis dan psikologis, tetapi masalah sosial. Karena dilihat sebagai mesin penghasil keturunan, umumnya perempuan akan mendapat banyak pertanyaan sekaligus cercaan. Lingkungan selalu lebih peduli untuk mencari-cari kesalahan dari tubuh perempuan sebab laki-laki dianggap sebagai kubu yang suci.

Bias gender yang menganggap tabu persoalan ini juga menghambat pasangan untuk mendapat layanan kesehatan. Belum lagi kendala biaya yang membuat banyak dari mereka tidak mendapat penanganan yang semestinya.

Melangkahi Kuasa Tuhan adalah Hal yang Mustahil

“Nanti kalau masmu mau nikah lagi, diikhlasin ya. Kan laki-laki itu boleh nikah sampai empat kali.” Ini adalah ucapan mertua Amel (26) yang masih melekat kuat diingatan. Nama narasumber kami samarkan demi kenyamanannya.

Amel tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Ia adalah lulusan S1 Kebidanan dan sempat bekerja. Profesi itu ia lepas setelah memutuskan menikah. Mereka telah berpacaran selama empat tahun. Meski sempat berhubungan secara jarak jauh sejak ia berkuliah dan bekerja di Jakarta, sayang rasanya jika harus kandas.

Ia tidak menyangka jika kehidupan rumah tangganya bertolak belakang dengan masa-masa pacaran yang begitu harmonis. Amel mesti berjuang melawan sindrom polikistik ovarium (PCOS). Kondisi yang menyebabkan sel-sel telurnya sulit berkembang sehingga gagal dilepas secara teratur. Belum lagi persoalan tuba falopi kirinya yang tidak berfungsi. Di sisi lain, hari-harinya justru diisi oleh perdebatan dengan suami dan cemooh dari mertuanya.

Obrolan pra-nikah sebenarnya sudah mereka lakukan. Termasuk soal anak. Amel ingat betul jika mantan suaminya adalah sosok yang memberi usul soal bayi tabung. Laki-laki yang berjarak tujuh tahun lebih tua itu mengaku tidak keberatan.

“Aku seperti ketipu luar dalem. Bukan kaget lagi, asli,” keluh perempuan yang mengaku sibuk bertani ini.

Baca juga: Akhiri Stigma ‘Perawan Tua’ pada Perempuan Lajang

Amel sebenarnya sempat hamil. Sayangnya, ia tidak mengetahui kondisi itu. Perutnya sempat kram ketika ribut dengan suaminya di pinggir jalan. Kala itu, ia ingin kembali ke rumah orang tuanya. Suaminya mencegah. Sakit yang ia rasakan membuatnya mengalah. Amel dibopong dan dibonceng pulang oleh suaminya. Adegan itu dilihat oleh orang-orang.

“Sehari setelahnya, waktu sujud buat salat zuhur kerasa ada yang keluar seperti menstruasi. Darah udah di mana-mana. Aku udah lemes. Suamiku kerja,” tutur Amel.

Mertua yang berulang kali ia panggil juga tidak kunjung datang. Ketika kembali sadar setelah sempat pingsan, perlahan ia bereskan perkara ini. Beruntung pendidikannya sebagai bidan bisa membantunya. Ia menghubungi keponakannya agar ke apotek untuk membeli obat-obatan. Sehari setelahnya ia pergi ke klinik untuk diperiksa.

“Waktu itu aku tahu kalau yang keluar udah lengkap. Ketuban segala macem. Ketika USG juga sudah bersih jadi engga perlu kuret,” jelasnya melalui sambungan telepon.

Sayang, dalam setiap perjuangan memperoleh keturunan ini suaminya tidak selalu ada. Pijat di perut, rukiah, bekam, dan berbagai pengobatan lain telah ia jalani meski sering kali harus pergi sendiri. Mengapa tanggung jawab untuk memiliki dan mengasuh anak terus dibebankan kepada perempuan? Ketika hal tersebut seharusnya adalah usaha bersama dari setiap pasangan.

Di sisi lain, permasalahan Amel semakin rumit. Perselingkuhan, utang, sampai sekadar persoalan masak-memasak semakin menambah kerunyaman. “Ya namanya jodoh itu enggak ada yang tahu. Engga tahu juga umur pernikahan sampai kapan. Toh, kami juga belum punya anak,” ungkap Amel mengulangi ucapan suaminya ketika bertemu dengan sahabat mereka.

Baca juga: Perempuan dan Jerat Diskriminasi Saat Mengalami Keguguran

Hingga akhirnya, Amel memilih untuk bercerai pada Oktober 2022 lalu. “Kalau namanya masalah anak ya aku mau gimana? Masak aku melangkahi kuasa Tuhan,” keluh Amel.

Keluarga sering kali justru jadi tempat relasi gender diproduksi dan terus direproduksi untuk mendomestifikasi peran perempuan. Kerja mereka kerap dianggap tidak produktif karena tak masuk dalam nilai perekonomian. Ini bukan persoalan individu semata. Namun, lebih kepada struktur sosial yang telah tertanam dengan begitu kuat.

Kedaulatan Perempuan atas Tubuhnya

Aniati Tokomadoran (27) adalah Koordinator Program dari Solidaritas Perempuan Kinasih (SP Kinasih). Organisasi ini bergerak pada isu seksualitas, krisis iklim, kedaulatan pangan dan tanah untuk perempuan.

“Dari remaja aku punya kegelisahan tentang berbagai kekerasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan. Tapi bayangan aku, isu ini engga kesentuh,” jelas Aniati soal motivasi awalnya bergabung di SP Kinasih.

Bergabung selama dua tahun di SP Kinasih membuatnya paham jika isu-isu feminis sebetulnya amat dekat. Karena itu, perjuangan semacam ini bukan hanya bagi perempuan di perkotaan atau negara-negara barat.

Menurutnya, memang banyak stigma yang harus ditanggung perempuan. Termasuk dalam memperoleh keturunan. “Sering kali enggak terpikir kalau itu bisa terjadi karena kesehatan reproduksinya laki-laki,” tutur perempuan asal Ambon ini.

Laki-laki sebagai pihak yang memegang kapital memiliki keegoisan untuk memberikan warisan hanya pada keturunannya. Untuk memastikan itu, lahirlah lembaga keluarga. Anak dianggap sebagai pihak yang paling berhak menerima dan menjaganya.

Baca juga: Perceraian dan Stigma Negatif tentang Status Janda

Aniati menjelaskan jika perempuan memang menyandang tanggung jawab biologis untuk menstruasi, hamil, hingga melahirkan. Namun, memiliki anak adalah sebuah pilihan. Siapa pun bisa memilih untuk tidak memiliki keturunan. “Perlu membangun kesadaran tentang sistem patriarki yang secara tidak langsung merenggut kedaulatan tubuh perempuan,” ungkapnya.

Ia turut menuturkan jika pertanyaan mengenai kapan punya anak atau kapan menikah adalah obrolan yang tidak perlu. Ada banyak pembahasan lain yang lebih penting. Namun, banyak perempuan menjalani kehidupan yang diyakini sebagai sebuah kodrat. Tidak menikah atau tidak memiliki keturunan membuat mereka yakin jadi sosok yang gagal.

“Kalau belajar feminis, tujuannya cuma satu. Tahu kalau ternyata kita punya pilihan lain,” jelas Aniati.

Harapan itu Terus Ada

Amel bercerita jika sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena persoalan rumah tangga ini. “Orang yang aku cintai udah enggak mau sama aku. Ya apa yang mau aku pertahanin?”

Namun, keajaiban datang melalui jalan yang tak ia sangka. Seorang psikolog merespons curhatannya di Twitter. Sosok itu memberikan semangat sekaligus memberikan konseling secara gratis. Ia didampingi hingga akhirnya bisa berpikir secara jernih.

“Aku sangat-sangat bersyukur karena di dunia ini masih banyak orang yang sayang aku. Banyak yang tidak kenal juga ikut mendoakan kebahagiaanku. Untung aku nggak jadi mati,” ucap Amel sembari tertawa.

Dirinya juga mengaku bahagia dan ikhlas. Keputusan bercerai telah ia pertimbangkan secara matang. Ia bahkan sempat mendatangi ustaz dan tokoh agama untuk meminta pertimbangan. Saran untuk salat istikharah, tahajud, sampai salat hajat telah ia lakukan. Petunjuk untuk kembali ke suaminya tidak ia dapatkan. Karena itu, ia semakin yakin telah memilih jalan yang tepat.

Saat ini, Amel telah bertemu dengan sosok yang baru. Laki-laki yang bisa lebih memahaminya. Keluarga yang bisa menerimanya. Amel kembali diyakinkan meski belum masuk ke jenjang pernikahan.

Baca juga: Marital Rape: Bingkai Hukum di Indonesia

Perlu diketahui jika, tidak semua perempuan bisa seperti Amel. Dalam laporan “Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent it?” yang dirilis PBB, setidaknya 40 persen responden menganggap perempuan harus rela menerima kekerasan demi mempertahankan keutuhan keluarga.

Lepas dari pemikiran mayoritas adalah hal yang sulit. Ini juga yang diungkapkan oleh Aniati. Terlebih, bagi mereka yang sulit memperoleh akses pengetahuan. Karena itu, ia menuturkan harapan sederhana.

Ia minta setiap perempuan bisa tahu apa yang mereka inginkan. Meski terkesan mudah, tak jarang membutuhkan waktu yang panjang untuk menggapainya. Aniati juga menekankan pentingnya menerima diri sendiri secara utuh.

“Aku merasa pertanyaan ini buat aku pribadi ya karena aku sendiri masih proses. Tapi yang terpenting adalah paham bahwa stigma yang melekat itu bukan kamu. Ada sistem yang membuat perempuan seperti ini,” pungkas Aniati. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Marie Antoinette: Bias Patriarki dalam Penghakiman Publik

Stretch Mark

Stretch Mark: Kenali Penyebab dan Perawatannya

Apa itu femisida?

Femisida: Memahami Kekerasan Berbasis Gender dan Tindakan Pencegahannya

Leave a Comment