Home » News » Semangat KPPL Maju Bersama Jadikan Minuman Sari Bunga Kecombrang dari Hutan TNKS Sebagai Ikon Rejang Lebong

Semangat KPPL Maju Bersama Jadikan Minuman Sari Bunga Kecombrang dari Hutan TNKS Sebagai Ikon Rejang Lebong

Bincang Perempuan

News

Minuman olahan kecombrang

BILA menyebut Kabupaten Rejang Lebong, mungkin yang diingat hanya hawa pegunungan dan sayur-sayuran segar. Potensi Rejang Lebong sebagai daerah penghasil sayur memang sudah cukup dikenal. Namun nyatanya, Rejang Lebong punya potensi lain dan layak dijadikan ikon, yakni minuman berbahan baku bunga kecombrang (Etlingera elatior). Hanya bermodal pengetahuan lampau, serta uji coba berkali-kali, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama berupaya mengembangkan produk olahan bunga kecombrang ini, sehingga layak menjadi ikon Rejang Lebong.

Baca juga: Melihat Aktivitas Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama

PAL VIII Bermani Ulu Raya- BETTY HERLINA

IKON suatu daerah tak lepas dari produk olahan berupa makanan atau minuman. Bila Medan dikenal dengan sirup markisa, Rejang Lebong pun sebetulnya juga potensi serupa yakni minuman sari bunga kecombrang. Produk olahan ini sudah dikembangkan oleh Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama.

Bunga kecombrang
Bunga kecombrang

Umumnya, kecombrang diolah sebagai sayuran di meja makan. Dikombinasikan dengan ikan panggang atau gulai santan lainnya. Kecombrang juga bisa menjadi penambah aroma masakan serta pelengkap sambal, khususnya sambal mentah. Perlakuan tersebut sudah lazim di masyarakat. Berbeda dengan yang dilakukan KPPL Maju Bersama, kelompok ibu-ibu ini mengolah kecombrang dari hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) menjadi minuman. Perlakuan berbeda tersebut memberikan nilai tambah bagi kecombrang, yang bila ditinjau dari sisi ekonomis membuat kecombrang menjadi bernilai lebih.

Tak hanya minuman, mereka juga mulai memikirkan produk olahan kecombrang lainnya, yakni dodol. Untuk memaksimalkan hasil dengan pengolahan yang memenuhi kelayakan sebuah usaha industri rumahan, kelompok ibu-ibu ini belajar dengan para dosen sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas produk sehingga diharapkan betul-betul menjadi ikon Rejang Lebong.

Seperti kegiatan yang dilaksanakan, Rabu (8/9) lalu, KPPL Maju Bersama mendapatkan suntikan ilmu langsung dari Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Bengkulu (Unib). Yakni Dra. Devi Silsia, M.Si, Yessy Rosalina, STP, M.Si dan Tuti Tuturima, S.TP, M.Si, dalam workshop singkat yang diinisiasi Pusat Perkumpulan Media Nusantara (PPMN) melalui program Citradaya Nita 2018.

Baca juga: Misha Atika, Pelestari Padi Kuning dan Tradisi Perempuan Memanen Secara Bergotong-royong

“Jika sebelumnya, ibu-ibu menggunakan bunga kecombrang yang baru untuk pembuatan dodol, maka dari workshop ini kita ajarkan untuk menggunakan ampas bunga kecombrang.  Sehingga tidak ada bahan sisa,” tutur dosen jurusan TP Unib, Tuti Tutuarima.

Minuman sari buah adalah minuman yang diperoleh dengan mencampur air minum, sari buah atau campuran sari buah yang tidak difermentasi, dengan bagian lain dari suatu jenis buah atau lebih dengan atau tanpa penambahan gula, bahan pangan lainnya, bahan tambahan pangan yang diizinkan (SNI 3719:2014). Mengolah kecombrang menjadi minuman atau pun dodol bukan perkara yang sulit. Namun juga tidak bisa dianggap mudah. Bila pengolahannya salah maka hasil yang didapatkan tidak maksimal. Pengolahan sendiri, dimulai dengan memilih bahan baku yang tepat.

“Agar warna dan hasilnya bagus, penggunaan bunga kecombrang merah jauh lebih baik. Khususnya untuk pembuatan minuman. Karena kita tidak menggunakan pewarna tambahan. Namun mengandalkan warna alami dari bunga kecombrang itu sendiri. Ini jauh lebih bagus untuk kesehatan,” ungkap Tuti.

Cara pengolahan yang dilakukan juga relatif mudah. Untuk satu kilogram bunga kecombrang yang sudah dicacah-cacah, diblender terlebih dahulu sebelum direbus dengan tiga liter air. Ditambah gula putih sesuai dengan selera manis yang diinginkan. Serta garam halus secukupnya. Perebusan dilakukan hingga air mendidih. Lalu disaring untuk memisahkan antara air dan ampas bunga kecombrang. Nah, ampas yang dihasilkan, diolah lagi menjadi dodol. Tentunya dengan menambahkan santan, gula merah dan tepung beras dan ketan.

Dalam pengolahan juga harus memperhatikan mutu gula, mutu air yang digunakan, suhu pemasakan (70-80ºC), penggunaan bahan tambahan, serta kebersihan peralatan yang digunakan. Termasuk pemilihan bahan mentah yang baik, penggunaan bahan tambahan pangan yang tepat, penanganan sanitasi pada proses, serta tampilan produk akhir (bentuk dan desain kemasan).

Hal itu penting karena produk olahan bermutu tinggi hanya dapat dihasilkan dari bahan mentah/bahan baku yang bermutu tinggi pula. Dalam hal ini pemilihan bahan baku berupa buah kecombarang juga harus memenuhi syarat. Diantaranya, buah sudah tua (mature), sudah matang (lunak), belum mulai membusuk, bau harum dan tidak cacat fisik (pecah atau diserang hama).

Baca juga: Urban Farming, Ringankan Beban Perempuan Kota

Terkait pengemasan, ditambahkan Tuti, baik dilakukan saat masih panas. Namun jika ingin langsung diminum bisa didinginkan terlebih dahulu. Baru disajikan.  “Untuk menjaga sterilisasi, pengemasan dilakukan pada saat air rebusan masih panas. Tujuannya agar minuman ini bisa bertahan lama dan terjaga dari pengaruh bakteri atau mikroba yang bisa merusak daya tahan minuman ketika akan di pasarkan,” ujarnya.

Yessy Rosalina menambahkan, dengan pengolahan sederhana oleh KPPL Maju Bersama, minuman sari kecombrang yang dihasilkan cukup menjanjikan. Bahkan tak menutup kemungkinan ke depan dapat menjadi ikon Rejang Lebong. “Ini terlihat dari penampilan awal  yang sudah bagus. Warnanya pink muda. Ini cukup menarik dan menjual,” nilainya.

Tak hanya itu, meskipun bukan penyuka kecombrang namun Yessy mengakui jika kecombrang memiliki aroma unik yang dapat menjadi daya tarik pembeli. “Taste kecombrang unik dan memiliki nilai rasa yang khas. Ke depan kita mungkin perlu menambahkan bahan-bahan tambahan makanan dengan formula pengolahan yang lebih tepat. Sehingga produk ini bisa bertahan lama. Ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut,” kata Yessy. (**)

*) Tulisan ini didanai Pusat Perhimpunan Media Nusantara (PPMN) sebagai program Citradaya Nita 2018 dan sudah tayang terlebih dahulu di Harian Rakyat Bengkulu dengan judul serupa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

KPPL

Artikel Lainnya

Dekonstruksi Maskulinitas dalam Dunia Kerja yang Kompetitif

Interseksionalitas yang Berpengaruh Terhadap Perempuan

Desa ramah perempuan dan anak

Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak,Upaya Memutus Mata Rantai Kekerasan

Leave a Comment