Bincangperempuan.com- Perempuan tidak lagi sekadar menambah penghasilan. Banyak di antara mereka justru berperan sebagai kepala keluarga yang menjadi pencari nafkah demi memenuhi segala kebutuhan. Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) menjadi wadah agar mereka bisa semakin meningkatkan taraf hidup sekaligus terlibat aktif dalam kehidupan sosial politik.
Perempuan kepala keluarga yang dimaksud Yayasan PEKKA adalah mereka yang melaksanakan peran sebagai pencari nafkah, penjaga keberlangsungan hidup keluarga, pengelola rumah tangga, hingga pengambil keputusan. Di antaranya adalah perempuan yang bercerai, perempuan yang ditinggal suaminya meninggal, perempuan yang ditelantarkan oleh suami, perempuan lajang yang menafkahi diri sendiri dan/atau keluarganya. Dapat pula perempuan bersuami, tetapi suaminya sakit keras. Perempuan bersuami, tetapi suaminya mencari nafkah di luar daerah maupun perempuan bersuami, tetapi menjadi pencari nafkah.
Baca juga: Perempuan Petani Kopi di Desa Batu Ampar Menghadapi Perubahan Iklim
Organisir semacam ini penting lantaran rumah tangga yang dikepalai perempuan mencapai 11,44 juta keluarga. Survei pada tahun 2020 tersebut dapat dimaknai bahwa 1 dari 4 rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Sayangnya, 48% di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan dan sebanyak 53% berpendidikan rendah.
Berawal dari proyek janda
Yayasan ini digagas pada tahun 2000. Kala itu, Komnas Perempuan memiliki program bertajuk “Proyek Janda” yang bertujuan untuk mendokumentasikan kehidupan para janda di daerah konflik. Tujuan utamanya adalah mendorong mereka agar bisa mengatasi kesulitan ekonomi dan pengalaman traumatis yang dirasakan.
Nani Zulminarni selaku Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita kala itu mengusulkan agar gagasan tersebut ditransformasikan menjadi Yayasan PEKKA sehingga lebih provokatif dan memiliki ideologis. Dengan demikian, janda tidak dilihat dari status perkawinan semata, tetapi menempatkan mereka pada kedudukan sebagai kepala keluarga. Nani sendiri ditunjuk menjadi koordinator.
Anggota yayasan ini banyak bekerja di sektor informal, seperti buruh tani ataupun serabutan. Pendapatan bulanan mereka begitu rendah, yakni dalam rentang Rp1-500.000. Di samping itu, terdapat 298 anggota Yayasan PEKKA yang merupakan penyandang disabilitas. Mayoritas disabilitas tersebut sudah tergolong lansia, yaitu antara 41-50 tahun.
Empat strategi utama
Strategi pertama yang digunakan adalah kepemimpinan perempuan. Hal ini dikembangkan melalui pendampingan teknis maupun pelatihan dan kelas pendidikan tematik. Dengan begitu, para kader bisa mempraktikan peran mereka sebagai fasilitor, penyelenggara acara, dan penggerak aktivitas kampanye ataupun advokasi. Strategi pertama ini dipilih demi menumbuhkan sebanyak mungkin pemimpin perempuan dengan perspektif adil gender.
Strategi kedua yang dipilih adalah penguatan kapasitas. Keterampilan dan pengetahuan para kader ditingkatkan dalam hal pengetahuan dan penerapan elemen-elemen organisasi. Dengan begitu, visi organisasi dapat mengakar kuat dan bisa terus berkelanjutan.
Pengelolaan pengetahuan jadi strategi ketiga. Salah satu instrumen yang digunakan adalah Jurnalisme Warga PEKKA. Instrumen ini menghimpun pengalaman kader sekaligus meningkatkan partisipasi mereka dalam mengkritisi kasus ketidakadilan terhadap para perempuan. Instrumen kedua yang digunakan adalah EnsikloPEKKA. Sebuah kumpulan biografi dari kader-kader Yayasan PEKKA sendiri. Cerita hidup, mimpi, dan nila-nilai kehidupan mereka dituliskan sebagai sumber inspirasi bagi gerakan.
Strategi keempat adalah advokasi kebijakan. Ini diupayakan melalui kampanye dan penyadaran ktitis masyarakat, mengembangkan forum pemangku kepentingan, berpartisipasi aktif pada musyarawadah desa, hingga berbagai aksi kolektif lainnya. Kader paralegal juga ditingkatkan kapasitasnya demi bisa terus memfasilitas penyelesaian kasus hukum. Yayasan PEKKA juga memiliki klinik layanan informasi dan konsultasi untuk menjembatani masyarakat terhadap layanan publik. Harapannya, sistem sosial dan kebijakan dapat menjamin perlindungan maupun pemenuhan hak perempuan maupun masyarakat marginal.
Menciptakan masyarakat yang adil gender
Yayasan PEKKA berupaya untuk menjaga keberlanjutan gerakan perempuan kepala keluarga, mengembangkan sumber daya, dan memperkuat gerakan sosial ekonomi. Misi tersebut dilakukan demi tercapainya masyarakat sejahtera, bermartabat, sekaligus adil gender.
Berbagai program digalakkan. Dalam penguatan gerakan ekonomi berkeadilan, lembaga ini mendampingi koperasi PEKKA agar perempuan kepala keluarga dapat mengakses pendanaan secara cepat, mudah, dan murah. Di sisi lain, mendorong usaha produktif dengan menghasilkan produk berbahan lokal. Gerakan ekonomi ini ditunjang dengan kegiatan daulat pangan dan sandang PEKKA. Kegiatan dimulai dengan memproduksi pangan yang dapat dikonsumsi sendiri atau dijual melalui lembaga PEKKA sendiri. Para perempuan ini juga didorong untuk menerapkan pertanian lestari untuk menanam serat kapas yang dapat dijual ataupun diolah menjadi benang hingga sandang.
Baca juga: Kehamilan Tak Diinginkan dalam Pernikahan
Penunjang lain yang dilakukan adalah menguatkan gerakan sosial budaya. Salah satunya melalui kerangka pendidikan sepanjang hayat. Ini diberlakukan bagi pendidikan anak usia dini, pemberian beasiswa, maupun penyetaraan pendidikan melalui sistem kejar paket. Ada pula program tanggap darurat dan rekonstruksi pasca-bencana/konflik. Rehabilitasi dan rekonstruksi kehidupan jadi dua fokus utama. Sistem penanggulan tersebut dipraktikan dengan pemberian bantuan langsung maupun memfasilitasi proses pemulihan kondisi psikis.
Hadirnya organisasi semacam PEKKA ini tentu bisa memperluas perjuangan keadilan perempuan. Ketika kapasitas organisasi besar, tentu penerima manfaatnya dapat semakin luas. Kualitas layanannya pun akan meningkat dengan diiringi oleh kepercayaan publik.
Organisasi bisa menjadi besar dan kuat tentu melalui kolaborasi. Melalui kerja sama semacam ini gagasan bisa dilahirkan. Masalah juga lebih ringan karena diselesaikan secara bersama-sama. Tidak ada gerakan yang bisa berdiri sendiri. Untuk itu, jaringan kerja sama antara organisasi semacam ini perlu terus digiatkan demi terciptanya kebijakan publik yang berpihak pada perempuan dan masyarakat marginal. (**)