Bincangperempuan.com– “Ada laporan yang masuk, namun di luar kewenangan kami,” kata Ketua Satgas PPKS Universitas Bengkulu, Susi Ramadhani, singkat dalam pertemuan reguler yang diinisiasi Yayasan Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA) bersama tim delapan mitra kerja dengan dukungan Asian Community Trust (ACT) yang berbasis di Jepang.
Kendala lainnya, lanjut Susi, ketika ada laporan masuk, mahasiswa tidak mau terbuka meskipun sudah menceritakan kronologis secara detail, hal ini jelas menyulitkan pihaknya untuk menyelidikan laporan tersebut.
“Mahasiswa melapor hanya menggunakan email sekali pakai lewat google form, akibatnya sudah untuk kita hubungi lagi. Ini juga menjadi menyulitkan,” imbuhnya.
Hal yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Ketua Satgas PPKS Universitas Muhammadyah Bengkulu, Merri Sri Hartati, kurun dua bulan Satgas PPKS berjalan, belum ada satupun laporan yang masuk. Ia mengatakan, masih ada beberapa hal yang harus “dibedah” lagi ketika dilakukan implementasi Permendikbud No 30 Tahun 2021 Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan tinggi dan Permendikbud No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Baca juga: Perempuan Generasi Z: Antara Dorongan dan Beban Ganda
“Ketika dugaan kekerasan seksual terjadi di kos-kosan lantas bagaimana, itu jelas bukan wilayah kewenangan kami (Satgas PPKS,red),” katanya.
Tak hanya itu, lanjut Merri, mengedukasi pencegahan kekerasan seksual di kampus terkadang cukup sulit, karena sering kali kalimat atau ujaran seksis dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau sebuah candaan.
Merespon hal tersebut Direktur Yayasan PUPA, Susi Handayani mengatakan perlu dilakukan sinkronisasi regulasi yang menjadi turunan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yakni Permendikbud No 30 Tahun 2021 Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan tinggi, Permendikbud No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, Peraturan Menteri Agama No 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.
“Karena peraturan turunan tersebut membuka peluang banyak korban yang dapat melaporkan kasus kekerasan yang dialami mereka ke sekolah atau kampus. Sekolah dan Kampus yang tidak memiliki mandat untuk mendampingi secara hukum akan membutuhkan Lembaga layanan untuk merujukkan kasus yang mereka terima,”
Saat ini, dikatakan Susi, lembaga pendidikan yang ada diberikan tenggat hingga Agustus 2024 untuk mempersiapkan prosedur maupun bentuk penanganan korban yang membutuhkan layanan rujukan, termasuk membuat draft pedoman penanganan rujukan antar lembaga layanan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya temuan-temuan siswa yang harus mengundurkan diri dari sekolah dengan alasan demi nama baik sekolah dan temuan-temuan lapangan lainnya.
Susi menilai bahwa dengan adanya rujukan tersebut, lembaga layanan seperti PUPA, Sakti Peksos, LBH Bintang Keadilan, LKSA Aisyiyah, PKBHB, PPHAM Bengkulu, Cahaya Perempuan WCC, dan RPAS harus siap memberikan pendampingan. Apalagi ketiga peraturan tersebut secara terpisah mendukung penanganan kasus kekerasan seksual, kasus perundungan seksual, dan kasus kekerasan berbasis intoleransi.
Baca juga: Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media – Mendobrak Stigma, Mendorong Kuasa
Sebelumnya, sejak April tahun 2021, Yayasan PUPA dengan dukungan ACT telah menjalankan program “Perlindungan Pemuda dari Kekerasan Berbasis Gender Online”. Program ini dimulai dengan kegiatan sosialisasi, audiensi dengan Dinas Pendidikan dan sekolah, sosialisasi KBGO di sekolah, diskusi reguler baik secara online maupun offline, serta penguatan kapasitas melalui pelatihan tidak hanya kepada siswa, satuan tugas Perlindungan dan Pengawasan Anak (PPA) atau Pokja PPA di sekolah, tetapi juga kepada lembaga layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang ada di Kota Bengkulu.
Hasil dari workshop tersebut mengungkap partisipan telah mengenali berbagai bentuk KBGO, upaya pencegahan KBGO, serta kebutuhan penanganan korban KBGO dan mekanisme pengaduan. Mereka menyadari banyaknya korban yang enggan melapor karena tidak tahu kemana harus melaporkan, sehingga diperlukan sebuah aplikasi yang memudahkan mereka untuk terhubung dengan lembaga layanan. Mereka juga memahami bahwa respons terhadap KBGO tidak dapat dilakukan secara sendirian, melainkan membutuhkan dukungan dari lembaga lain. Oleh karena itu, disepakati untuk membangun mekanisme layanan rujukan kasus KBGO yang akan dijalankan secara bersama-sama, sesuai kesepakatan dalam MOU antara Yayasan PUPA dan lembaga layanan rujukan, termasuk UPTD PPA Kota Bengkulu.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, pada akhir tahun 2022, diluncurkan aplikasi online pelaporan bagi korban KBGO dengan nama “MELA LAPOR”, yang telah mencatat 14 laporan kasus sejak Januari 2023 dan memerlukan respon penanganan. Jika layanan korban tidak tersedia di PUPA, mereka akan dirujuk ke lembaga layanan lain yang telah sepakat memberikan layanan. Oleh karena itu, laporan di Mela Lapor akan terhubung dengan lembaga layanan di Kota Bengkulu yang telah menandatangani kesepakatan sebelumnya. Dalam menangani kasus-kasus dan laporan yang masuk, diperlukan mekanisme penanganan korban yang selaras antar lembaga rujukan.