Home » News » Retrospeksi Citradaya Nita: Perempuan & Kepemimpinan

Retrospeksi Citradaya Nita: Perempuan & Kepemimpinan

Bincang Perempuan

News

Retropeksi Citradaya Nita

KEPEMIMPINAN perempuan bukan hal yang asing lagi saat ini. Meski belum banyak, namun di beberapa lini, perempuan mulai menunjukan kemampuannya sebagai leader. Baik di tingkat pemerintahan, core business, hingga satuan terkecil Rukun Tetangga (RT). Ini merupakan sebuah bentuk pengakuan bahwa perempuan mampu.

Banyak tantangan yang diperoleh perempuan untuk meraih kursi pimpinan atau ketika menjadi leader.  Sistem patriarki tidak memberikan ruang yang luas untuk perempuan. Sehingga ketika seorang perempuan menjadi leader, ia akan menghadapi beberapa tantangan. Mulai dari internal domestic hingga ranah yang lebih luas. Seperti kekerasan verbal yang mengandung unsur bullying di ranah kerja sehingga berujung pada ketidaknyamanan dalam melaksanakan pekerjaan. Atau sikap generasi X dan Y yang menolak kepimpinan seorang millennial atau perempuan dengan usia yang lebih muda. Cenderung dianggap “anak kecil”. Sehingga tidak terbentuk support system yang baik.

Executif Director Pusat Perhimpunan Media Nusantara (PPMN), Eni Mulia, mencatat ada tiga point dalam kepemimpinan perempuan. Mulai dari (1) Beban ganda masih menjadi penghalang perempuan menjadi pemimpin, (2) Perlu mempelajari terus perkembangan gerakan dan pemikiran tentang gender dan feminis dan (3) Pemimpin perempuan perlu memiliki kemampuan manajemen dan penganggaran gender.

“Makin ke atas pada tingkat pengambilan keputusan perempuan makin ditinggalkan. Ini tidak hanya di media namun juga pada lini yang lain. Penganggaran gender.  Ini sesuatu yang baru dan belum popular, semua pemimpin harus tahu budgeting, bagaimana penganggaran bisa dilakukan based on gender, contohnya di Kementerian Keuangan, Sri Mulyani sudah menerapkan gender budgeting untuk karyawannya,”

Eni Mulia

Kepemimpinan Perempuan di Tengah Covid-19

KASUS Covid-19 pertama kali muncul di Selandia Baru pada 28 Februari 2020. Saat itu Perdana Manteri Jacinda Ardern langsung menerapkan kebijakan ketat, yakni mengunci Negara Kiwi tersebut. Penguncian dilakukan hingga 7 minggu. Berbeda dengan pemimpin Negara lain, Jacinda Ardern tidak sibuk mencari teori konspirasi. Atau berkutat dengan meratakan kurva. Namun perempuan ini melakukan pendekatan untuk menghentikan penyebaran Covid-19.

Baca juga: Perempuan di Tengah Pandemi, Berdayakan Milenial Sebagai Agen Edukasi Tangkal Covid-19

Serupa juga dilakukan dengan Perdana Menteri Norwegia, Erna Soldberg, Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, Perdana Menteri Finlandia dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Masing-masing melakukan cara-cara pendekatan dengan menunjukan sikap empati.

Dunia pada masa Covid-19 menyambut para pemimpin perempuan yang terbukti berhasil membawa negara-negara mereka keluar dari wabah. Nilai-nilai kepempimpinan yang ‘maskulin’ dianggap gagal justru nilai-nilai ‘feminin’ seperti empati, kelembutan, kehangatan lebih efektif mengatasi krisis. Seperti yang disampaikan Executif Director Pusat Perhimpunan Media Nusantara (PPMN), Eni Mulia saat membuka pelatihan daring bersama 10 penerima fellowship Citradaya Nita angkatan ke-5 tahun 2019-2020, Senin (22/6).

“Berbeda dengan pemimpin laki-laki, ditengah kondisi Covid-19, masih sibuk mencari teori konspirasi. Ini menjadi angin segar untuk perempuan, bahwa dunia melihat kepimpinan perempuan, bahwa ke depan kita akan melihat lebih banyak lagi pemimpin perempuan,” ungkapnya.  

Perempuan di Meja Redaksi

Media memegang peranan yang penting dalam membentuk persepsi masyarakat atas perempuan. Minimnya jumlah perempuan di meja redaksi saat ini menjadi persoalan. Dirilis dari tirto, media di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan.

Minimnya jumlah perempuan di meja redaksi berimbas pada pola pemberitaan. Ketika ini terjadi, maka isu-isu gender yang menjadi ranah pemberitaan menjadi bias. Laki-laki yang sama sekali tidak ramah gender akan menulis  isu-isu perempuan dengan persektif yang dimilikinya. Bahkan perempuan yang minim pengetahuan juga ikut menulis isu perempuan menjadi tidak ramah gender.

Kondisi lain sebagian besar jurnalis perempuan masih mengalami diskriminasi di organisasi tempat bekerja dan saat bertugas di lapangan. Standarisasi jurnalis perempuan di setiap media belum sama. Semua itu tergantung pada kebijakan masing-masing redaksi. Jurnalis perempuan juga minim kesempatan untuk mengembangkan diri sehingga berimbas  pada kurangnya kualitas dan tidak adanya penambahan pengetahuan. Ini mengakibatkan jurnalis perempuan amat sangat jarang bisa berada pada top level akibat stagnannya peran yang diberikan. Ketika posisi jurnalis perempuan sudah berada di level redaktur maka posisinya akan stagnan, atau kemungkinan ditarik ke bagian umum dan iklan. Budaya patriarki juga membuat jurnalis perempuan tidak memiliki ranah yang luas.

Kenyataannya, Susan Goldberg menjadi perempuan pertama yang memimpin ruang redaksi setelah National Geographic berusia 131 tahun. Financial Times di Inggris memerlukan waktu 135 tahun untuk memberikan kursi kepimpinannya pada seorang perempuan, dan koran kompas baru memiliki pemred perempuan pertama kali di usianya yang ke 53 tahun, ini menunjukkan betapa sulitnya perempuan meraih kesempatan memimpin media.

Baca juga: Praktisi Media Perempuan Ikut Ramaikan Local Media Summit 2022

Melalui program Citradaya Nita, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) berhasil memilih 10 jurnalis dari beberapa wilayah di Indonesia, untuk diberikan program leadership sehingga dapat memberdayakan komunitasnya.

Empowerd women empower women. Perempuan yang berdaya bisa memberdayakan perempuan,” pungkas Eni Mulia.

Berikut Fellowship Citradaya Nita angkatan ke-5 tahun 2019-2020

1. Betty Herlina, Bengkulu

Tema: Peningkatan kapasitas jurnalis perempuan tentang gender

Fellowship Betty Herlina

Betty memilih 5 peserta jurnalis perempuan di Kota Bengkulu untuk bekerjasama dengannya selama program. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas jurnalis perempuan dalam menulis berita berbasis gender ”.

Kegiatannya Betty dimulai dengan rekrutment, workshop, talkshow, membuat website dan produksi konten berita untuk dimuat di berbagai platform media termasuk media sosial. Betty membuka ruang bagi jurnalis perempuan di Bengkulu untuk melakukan pendalaman topik tulisan tentang isu perempuan.

Baca juga: Asam Manis, Jadi Jurnalis Perempuan di Bengkulu

Program ini akan membantu pemuatan berita atau tulisan seputar isu-isu perempuan yang selama ini sulit mendapat tempat di dalam pemberitaan, tidak hanya di media lokal, tetapi juga di media nasional.

2. Bhekti Suryani, Yogyakarta

Tema: Kolaborasi liputan jurnalis perempuan tentang dampak pembangunan terhadap meningkatnya kekerasan dan ketidakadilan gender

Fellowship Bekti

Bhekti merancang program pengerjaan peliputan bersama. Acara pertamanya ialah workshop. Bhekti menggandeng Rifka Annisa Women Crisis Center dan UII Jogja. Workshop ini merupakan pengantar awal bagi tiga peserta fellowship peliputan berbasis gender sekaligus sosialisasi tentang pemahaman terhadap isu gender kaitannya terhadap pembangunan infrastruktur.

Tiga peserta yang terpilih menerima fellowship peliputan berbasis gender terhadap perempuan terdampak pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) adalah Pito Agustin Rudiana (IDNTimes), Shinta Maharani (Tempo), dan Dipna Videlia Putsanra (Tirto.id).

Baca juga: Media Berperan Mengedukasi Masyarakat agar Adil Gender

Peliputan bersama yang dikerjakan oleh jurnalis perempuan seperti yang dikerjakan oleh Bhekti adalah ide akan membuka kesempatan untuk transfer pengetahuan dan melatih kemampuan jurnalistik untuk menghasilkan peliputan panjang.

3. Ika Yuniati, Solo

Tema: Pemberdayaan pemahaman gender untuk menekan kekerasan seksual dan kehamilan pranikah di kalangan pelajar

Fellowship Ika Yuniati

Ika memanfaatkan program Citradaya Nita 2019 untuk mendukung program penekanan kekerasan seksual pada remaja di wilayah tersebut. Observasi ke sekolah dan guru dilakukan untuk melakukan wawancara dan menggali data serta membuka komunikasi.

Pemilihan wilayah Girimarto juga dilakukan dengan berdasarkan data yang menunjukkan adanya masalah di wilayah tersebut terkait tingkat kekerasan seksual remaja. Berangkat dari permasalahan ini, Ika mampu merumuskan program yang tepat untuk menekan angka kekerasan seksual remaja tersebut.

Ika juga mampu menyoroti hal lain, yaitu pentingnya peningkatan rasa kepercayaan diri, termasuk untuk remaja perempuan, yang akan membantu perkembangan psikologis dan kemampuan kepemimpinan. Selama program, Ika menyelenggarakan 3x diskusi, membuat mural, talkshow dan produksi konten untuk platform media sosial.

4. Irma Hafni, Aceh

Tema: Peningkatan pemahaman keadilan gender di pesantren

Fellowship Irma Hafni

Kunci dari keberhasilan Irma adalah pendekatan yang sudah dia jalankan bahkan sejak proposal disusun. Irma tahu tantangan tersebut dan dia juga melakukan pendekatan yang baik dengan pengelola pesantren. Masuk dari kegiatan tulis menulis yang sudah ada di pesantren, Irma kemudian menyisipkan pesan tentang kesetaraan gender.

Baca juga: Bagaimana Islam Memandang Perempuan dan Kesetaraan?

Selama program, Irma melaksanakan 7 kali pendampingan dan 1 kali media visit. Hal lain yang juga perlu mendapat apresiasi dari program Irma adalah dia mampu menghadirkan secara langsung sejumlah professional yang dapat menjadi inspirasi bagi para peserta. Tidak hanya mengundang pembicara dalam sesi kelas, Irma juga memboyong para peserta untuk bertemu langsung dan mengunjungi kantor media.

Aktivitas ini dapat membekas di ingatan para peserta dan mampu memotivasi para peserta untuk terus belajar, bersekolah, dan menulis serta mulai menerapkan kesetaraan gender.

5. Kartini Nainggolan, Palu

Tema: Pemberdayaan jurnalis warga di huntara untuk monitoring hak- hak perempuan dan anak pasca bencana

Fellowship Kartini Nainggolan

Untuk menjalankan program, Tini mengajak 6 orang Jurnalis Warga (JW) perempuan dari 3 huntara. JW diupayakan adalah penyintas yang ada di huntara. Pemilihan penyintas untuk menjadi jurnalisme warga sangat tepat mengingat Palu masih dalam masa pemulihan setelah diterpa bencana gempa dan tsunami.

Baca juga: Pemenuhan Hak Perempuan dalam Situasi Bencana Masih Belum Ideal

Program ini sangat kuat baik dari sisi manfaat pemberdayaan perempuan maupun dari perluasan keahlian jurnalistik. Selain menulis untuk majalah dinding, penyintas juga dapat menulis untuk terapi. Dari sisi perencanaan program dan pengelolaan kegiatan, Kartini menunjukkan bahwa dia mampu melibatkan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk NGO untuk menjaring keterlibatan para penyintas.

Kemitraan ini dapat menjadi awal yang baik bagi kolaborasi bersama dari beragam organisasi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan.

6. Robiah Mactumah M, Jombang

Tema: Pemberdayaan mahasiswa di kalangan pesantren untuk produksi konten bermuatan gender

Fellowship Robiah

Melalui program Citradaya Nita, Robiah membuka akses untuk menyalurkan ilmu dan praktik-praktik kesetaraan gender kepada generasi millenial dan generasi Z. Salah satunya mereka yang ada di Dusun Tebuireng Desa Cukir Kecamatan Diwek Jombang. Di dusun tersebut terdapat Kampus Universitas Hasyim Asy ’ ari (UNHASY) yang lekat dengan tradisi-tradisi pesantren. Robiah mengajak mahasiswa kampus Unhasy turut serta memproduksi konten bertema kesetaraan gender.

Baca juga: Merancang Media Kampanye di Media Sosial

Manfaat dari kegiatan upload konten ini juga dirasakan oleh peserta. Peserta menyebutkan bahwa beberapa perubahan yang diperoleh adalah adanya wawasan tentang kesetaraan gender berikut ketidaksetaraan gender, menambah ketertarikan tentang wacana gender, dan mahasiswa dapat memproduksi konten media sosial berbasis gender, khususnya meme dan video youtube.

Robiah juga menyelenggarakan workshop dan talkshow yang menjadi ruang diskusi untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran mahasiswa.

7. Luh de Suriyani, Bali

Tema: Pendampingan dan pemberdayan perempuan ODGJ untuk keadilan akses layanan publik

Fellowship Luh De Suriyani

Media Jurnalisme Warga BaleBengong.id pernah membuat serial liputan mendalam tentang jaminan kesehatan nasional untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Bali. Luhde mendorong perempuan dengan gangguan kejiwaan bersuara lewat sejumlah platform seperti suara (podcast), tulisan tangan, testimoni, artikel, serta pameran. Luhde bersama 5 ODGJ dan 5 relawan membuat karya mendalam untuk menyuarakan kebutuhan dan bantuan terhadap ODGJ.

8. Wati Susilawati, Pontianak

Fellowship Wati Susilawati

Wati meningkatkan kemampuan jurnalis perempuan, penulis, influencer lokal dalam penulisan atau konten yang pro perempuan. Dengan kemampuan yang meningkat, diharapkan timbul keberanian jurnalis perempuan untuk tampil dalam tataran kepemimpinan redaksi di media masing-masing. Ia juga berupaya menambah kepekaan dan melatih pers kampus, penulis, influencer lokal dalam karyanya, baik dalam penulisan buku maupun konten-konten yang pro mendukung kampanye perempuan berdaya.

Melalui workshopnya, Wati juga memberikan pemahaman kepada peserta (jurnalis/penulis, pers kampus, aktivis dan influencer lokal) terkait pentingnya perempuan untuk terlibat dalam politik. Mempelajari politik menjadi upaya kebijakan publik yang berujung dorongan akan kepentingan perempuan dan kesetaraan gender.

Wati membuat FGD, 3 kali workshop, training, video dan majalah berisi artikel yang dibuat oleh peserta programnya. Peningkatan kapasitas jurnalis dan influencer untuk konten tentang perempuan yang berkeadilan gender

9. Maria Andjelin, Bajawa

Tema: Pemberdayaan ibu migran tentang kesetaraan gender

Fellowship Maria Andjelin

Kegiatan pertama yang dilakukan Merlyn adalah membentuk Komunitas Ibu Migran dan menyelenggarakan diskusi media kokal terkait jurnalistik dan kesetaraan gender. Berikutnya, untuk menambah minat dan ketertarikan Ibu Migran dalam mengikuti kegiatan Citradaya Nita, Merlyn menyisipkan materi lain seperti menenun dan pendampingan psikologis. Terbukti, kegiatan ini dihadiri oleh beberapa perwakilan Ibu Migran, media lokal dan komunitas orang muda yang peduli dengan kondisi Ibu Migran di wilayah Langa.

Manfaat pelatihan jurnalistik ini ialah dapat mengasah kemampuan muda lokal dan Pelajar yang juga diantaranya anak migran, agar mengasah kemampuan Ibu Migran serta anak mereka (anak migran), dan pemuda lokal dalam menyampaikan ide, gagasan dan gambaran persoalan lewat tulisan. atau melalui konten media sosial yang bermanfaat bagi masyarakat. Setiap diskusi yang dibuat, Merlyn berusaha membedah berbagai persoalan yang dialami Ibu Migran untuk turut membantu mempublikasikan persoalan Ibu Migran agar mendapat respon Pemerintah dan diketahui publik secara luas. Radio tempat Merlyn bekerja menjadi satu-satunya radio di Bajawa.

10. Khairiah Lubis, Medan

Tema: Peningkatan kapasitas jurnalis dalam liputan perempuan dan anak HIV AIDS

Fellowship Khairiah

Awi mengambil langkah efektif untuk mengedukasi Ibu rumah tangga melalui media, karena media dapat menjangkau ibu rumah tangga, dimanapun mereka berada. Ia membuat pelatihan jurnalis perempuan dan jurnalis kesehatan melalui workshop dan kolaborasi liputan, agar dapat membuat berita-berita yang edukatif dan empati tentang pencegahan penularan HIV AIDS pada ibu rumah tangga dan anak.

Awi menggandeng 5 jurnalis perempuan di Medan sebagai peserta liputan kolaborasi dan liputan mandiri. Ia juga menghadirkan narasumber dari FJPI sebagai pengisi workshop dan website FJPI untuk mempublikasikan kegiatan Citradaya Nita. Selama pandemi covid19, program Awi sempat mendapat kendala, yaitu Ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV/Aids karena termasuk kelompok rentan yang takut untuk diwawancarai, tenaga kesehatan yang menjadi sangat sibuk akibat covid19 dan jurnalis yang membutuhkan gambar. Dengan semua kendala tersebut, Awi dapat menyelesaikan program dengan baik. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Generation Gap

Usia Bukan “Sekadar” Angka

Belum Resmi Diluncurkan, “Mela Lapor’ Sudah Terima 15 Aduan

Perempuan Desa Harus Bisa Inovasi

Leave a Comment